Kebanyakan pemerhati lingkungan dan pertanian modern -- ladang berpindah pasti merusak lingkungan. Namun, masyarakat Papua justru sebaliknya untuk melestarikan alam. Dibuktikan di provinsi 70% bukit dan pegunungan itu jarang sekali terjadi peristiwa tanah longsor dan banjir yang besar. Alam tetap lestari. Di sinilah Papua adalah paru-paru yang mensuplai oksigen dunia. Memang pernah terjadi banjir bandang di Wasior Papa Barat tahun 2009 lalu, tapi bukan disebabkan oleh perladangan berpindah.
Ladang berpindah atau mereka klaim berkebun tradisional adalah mata pencaharian utama dan masa depan kehidupan keluarga mereka. Bayangkan kalau tidak memiliki pengetahuan lokal (local wisdom) Â tentang tata kelola lahan, maka selain alam Papua rusak, juga ketersediaan pangan mereka terganggu.
Berkebun cara Papua sungguh unik. Tiap keluarga memiliki hingga empat lokasi berkebun, bahkan lebih. Satu lahan digarap 4 -- 6 tahun, kalau terlihat pruduksi kurang maka mereka membuka lahan baru. Dan seterusnya secara siklus, kembali ke lahan pertama setelah 30 tahun.
***
Penulis mengambil contoh kearifan lokal masyarakat Pegunungan Arfak di  Manokwari Papua Barat. Alasan mereka melakukan ladang berpindah adalah pertama, bila tanah tersebut terus-menerus digarap akan menjadi tandus yang mengakibatkan longsor dan tidak subur. Perubahan struktur fisik tanah akibat penggerusan oleh air menyebabkan unsur-unsur hara hanyut terbawa air mengakibatkan tanah kurang subur. Kedua, tanah yang dimiliki secara turun temurun harus digarap oleh keturunan langsung dalam satu klen atau marga sehingga tidak diambil alih oleh orang lain. Kebun lama dibiarkan (masa bera/istirahat) selama 3-10 tahun. Apabila pohon-pohon Alnov atau Weimu(Dodonea viscose Jack) dan Bikiwom(Homolanthus populnius) bila tinggi mencapai 2-4 meter, lumut-lumut sudah banyak menempel, maka lahan tersebut sudah  subur untuk digarap kembali.
[Arti Tanah bagi Orang Papua]
Antara tanah dan kehidupan orang Papua tidak bisa dipisahkan. Tanah bagi masyarakat Arfak adalah "ibu" yang memberikan mereka "air susu" atau kehidupan. Istilah mereka, "kalau mama diolah terus, air susunya akan habis, maka mama akan mati." Menurut pandangan kosmologi pada zaman Yunani Kuno sampai dengan masyarakat yang masih kuat mempertahankan adat istiadatnya membagi fungsi alam semesta menjadi dua yaitu langit atau angkasa diibaratkan sebagai "bapak" yang mengeluarkan "air mani" yaitu dalam bentuk air hujan yang jatuh ke bumi atau tanah yang diasosiasikan sebagai "ibu" sebagai penghasil "susu" yang menyuburkan atau menghidupkan isi bumi. Air susu adalah unsur hara esensial yang akan menyuburkan tanaman masyarakat Arfak. Unsur hara tanah suatu saat berkurang apabila terus menerus lahan pertanian digunakan, oleh sebabnya menurut pandangan petani Arfak kebun harus diberakan atau diistirahatkan. Secara naluri bertani masyarakat Arfak akan berpindah ladang bila hasil kebun sudah nampak berkurang, diambil hasilnya selama 2-3 tahun.
[Pengetahuan Melestarikan Alam]
Mereka mengenal pembagian wilayah tempat mereka mencari kehidupan sehari-hari dalam empat kawasan (dari puncak sampai ke lembah), yaitu pertama yang disebut Bahamti adalah hutan asli (primer) yang tidak bisa diganggu untuk berladang atau berkebun. Kawasan ini sangat dijaga ketat oleh masyarakat, tidak diperbolehkan menebang kayu, berburu, membuat rumah, hanya diperbolehkan mengambil kulit kayu, daun untuk atap rumah, dan rotan.
Kedua, kawasan Nimahanti adalah bekas kebun yang ditinggalkan (masa bera) selama 10 -- 20 tahun, pohonnya sudah besar mendekati kawasan Bahamti. Pada kawasan ini boleh mengambil kulit kayu, rotan, daun, berburu serta boleh membuka kebun tetapi tidak boleh membuat rumah.
Ketiga, kawasan Sustiadalah kawasan pengelolaan yang bisa digarap sebagai ladang atau kebun; dan keempat disebut kawasan Situmti,adalah bekas kebun betatas, dekat dengan perkampungan atau halaman rumah. Dicirikan dengan tumbuhan rerumputan, ditanami sayuran terutama komoditi yang laku di pasar seperti daun bawang dan saladeri.Â