Link and Match dipopulerkan olehg Mendikbud Wardiman Joyonegoro pada tahun 1990-an. Pada era Wardiman ini, Link and Match betul-betul menjadi mantra di setiap diskusi pendidikan. Tidak mengutip dua kata itu, berarti tak tahu dunia pendidikan, meskipun Anda sudah bergelar profesor doktor di IKIP. Sehingga konsep link and match terus menggerus inti dari dunia pendidikan.
Apa yang dimaksud dengan konsep "link and Match"?
Problema pendidikan waktu itu dan hingga kini adalah tak adanya keberkaitan dan keberpadanan dengan dunia kerja. Seakan-akan, pendidikan dan kerja adalah dua dunia yang berbeda dan tak pernah saling menyapa. Pendidikan berjalan pada dunia sendiri yang tak jelas. Di sisi lainnya, dunia kerja selalu berteriak bahwa ia harus bekerja keras menyiapkan kebutuhan akan tenaga kerja yang diinginkannya.
Dalam republik yang seperti itu, muncullah mantra "link and match". Menghentakkan dan menyadarkan semua pengamat dan peminat dunia pendidikan akan arti keberkaitan dan keberpadanan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Sehingga, orientasi pendidikan menjadi semakin jelas yaitu mencipta manusia yang "siap pakai". Di sisi lain, pengusaha juga tak lagi terlalu dibebani dengan pelatihan menyiapkan tenaga kerjanya karena setiap lulusan sudah siap kerja bukan lagi hanya siap latih.
Sudah betulkah jalan mantra yang didengungkan para teknokrat itu? Pada saat itu, kritik juga sangat bertubi-tubi. Terutama dengan istilah "siap pakai" yang menyertai paradigma "link and match" yang didengungkan kemdikbud saat itu. Haruskah generasi muda kita dibuat menjadi "generasi tukang" oleh dunia pendidikan kita? Kalau demikian halnya, maka dunia pendidikan sudah turun derajatnya menjadi dunia pertukangan. Pendidikan turun menjadi arena pelatihan keterampilan belaka. Para pencinta pendidikan itu mengkhawatirkan kembalinya penjajahan dalam bentuk yang lain. Mengapa? Karena pendidikan hanya mencipta pelayan-pelayan perusahaan-perusahaan multinasional.
Tak ada benang penyambung. Dua kubu yang bersikukuh dengan pendiriannya. Kengototan kedua kubu justru tak bisa menyelesaikan masalah. Pendidikan terus berada dalam dunia tak jelas. Bahkan kurikulum baru, kurikulum 2013, lebih banyak disoroti sebagai bermuatan politis persaingan mereka-mereka menuju pemilu 2014 daripada upaya besar bangsa ini menyiapkan generasi baru yang siap bertarung di arena global.
Betulkah "link and match" itu telah mendegradasikan pendidikan menjadi dunia pelatihan? Kalau "link and match" hanya dimaknai sebagai penyiapan sebuah generasi menjadi pekerja, ya pasti jawabannya: betul! Aklan tetapi, harusnya jangan dipahami seperti itu. Karena masalah kesenjangan antara lulusan dunia pendidikan dengan dunia kerja memang tampak di depan mata.
Maka harus ada upaya pemahaman yang lebih baik dalam memaknai paradigma "lin and match" dalam dunia pendidikan. Bagaimana caranya?
Pertama, jangan memahami "lin and match" sebagai penyiapan tukang. Kenapa? Tak akan mungkin, sampai kapan pun, dunia pendidikan bisa mengikuti kecepatan kemajuan dunia kerja. Dunia kerja akan selalu berada di depan dunia pendidikan. Artinya? Setiap kali perubahan terjadi dalam dunia kerja dan segera diikuti oleh dunia pendidikan, pada saat yang sama perubahan baru dalam dunia kerja sudah muncul kembali. Akibatnya? Dunia pendidikan akan berada satu langkah di belakang dunia kerja. Dan ini selalu dan selalu terjadi. Upaya untuk menerkaitkan dan menyepadankan tak akan terjadi sampai kiamat menjumpai kita semua.
Sehingga "link and match" harus dipahami sebagai penerkaitan dan penyepadanan dalam hal menyikapi kemajuan. Perubahan akan menjadi sesuatu yang abadi. Tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Sehingga, kearifan menghadapi perubahan adalah sikap paling bijaksana dalam pelaksanaan pendidikan. Apa yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan?
Perubahan yang akan semakin dasyat di era mendatang harus dihadapi dengan kemampuan berpikir. Sehingga pendidikan harus menyiapkan kemampuan berpikir ini yang bisa meliputi (1) kemampuan berpikir kritis. Apa yang dimaksud dengan berpikir kritis? Kemampuan menganalisis permasalahan di lapangan. Banyak sarjana yang bengong atau bolak-balik keluar masuk kantor hanya untuk menjadi buruh. Mereka sama sekali tidak tertarik atau tidak tahu bagaimana menjadi pencipta kerja. Kenapa? Karena mereka tak terbiasa untuk berpikir kritis. Sehingga dunia seakan sudah selesai dan tak perlu pemikiran baru. Padahal, kemampuan berpikir kritis inilah yang akan menjadikan seseorang sebagai wirausahawan sejati atau pekerja yang bukan sekedar buruh tapi pekerja masa depan. "link and match" harusnya dimaknai dalam bentuk kemampuan untuk berpikir kritis sehingga lulusan pendidikan bukan siap pakai tapi siap mikir. Dan"siap mikir" inilah ciri dunia kerja modern.