Presiden Jokowi berlatar belakang rakyat jelata. Pada masa kecilnya tinggal di bantaran kali. Tapi ia berhasil menamatkan pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM. Lalu ia bekerja sebentar di sebuah perusahaan swasta di Aceh. Ia kembali pulang ke Solo dan merintis usaha mebel atau furniture. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya usahanya berkembang menjadi eksportir mebel ke sejumlah Negara.
Tapi nasib mengantarkannya menjadi walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan sekarang menjadi Presiden RI ketujuh. Pada hal tampangnya betul-betul wajah rakyat jelata, tinggi sekitar 1,7 m tapi kurus krempeng, karena beratnya hanya 53 kg. Ia juga bukan seorang orator, ia berpidato dengan datar saja, kurang lancar berbicara karena seringkali tersendat mencari kata-kata yang tepat.
Barangkali itulah sebabnya, pada waktu mulai menjabat Presiden, hampir tidak ada  pengamat ekonomi dan politik yang percaya Jokowi dengan segala kekurangannya itu  mampu menyelesaikan beban masalah ekonomi yang sangat berat. Pada waktu mulai menjabat sebagai presiden, perekonomian Indonesia dihadapkan pada beban subsidi BBM yang sudah mencapai 16% dari APBN. Pada waktu bersamaan, Indonesia menghadapi defisit infrastruktur ekonomi yang sangat parah.
Ia menerima warisan Indonesia yang serba kekurangan dalam infrastruktur ekonomi dan APBN yang cukup hanya untuk biaya rutin pemerintah. Pada saat yang sama perekonomian Indonesia digerogoti oleh para mafia di segala sektor ekonomi yang bekerjasama dengan para pejabat pemerintah. Bahkan raja mafia minyak misalnya adalah pengusaha yang sangat dekat dengan  presiden sebelumnya dan menteri perekonomian waktu itu.
Tekanan terhadap perekonomian Indonesia semakin diperberat oleh faktor eksternal. MIsalnya  kebijakan moneter Cina yang menurunkan nilai tukar yuan. Akibatnya nilai tukar berbagai mata uang merosot.  Kurs rupiah bahkkan melorot mendekati Rp 15.000 per USD.
Tetapi Presiden Jokowi sudah mempunyai solusi, meskipun menyakitkan banyak pihak, terutama lapisan masyarakat menengah dan rakyat kecil. Ia mengubah ancaman menjadi peluang. Beban keuangan berupa beban subsidi BBM dijadikan kunci untuk memecahkan  tekanan keuangan. Presiden menghapus sebagian besar subsidi BBM yang selama ini dinikmati masyarakat golongan menengah yang umumnya punya mobil. Maka belum sampai satu bulan menjabat, Presiden Jokowi mengumumkan penghapusan sebagian besar subsidi BBM.
Sebuah tindakan yang berani. Presiden Jokowi memahami sebagian besar rakyat marah dan mencelanya habis-habisan. Tapi ia yakin pada akhirnya rakyat  memahaminya karena penghapusan subsidi BBM itu akan berganti wujud berupa infrastruktur ekonomi. Pemerintah akan mengalihkan subsidi BBM itu dengan  membangun jalan tol dan non tol, rel kereta api, pelabuhan, bandara,  bendungan dan waduk, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya.
Dengan menghapus subsidi BBM maka Pemerintah memiliki dana segar sekitar Rp 300 Triliun. Dana itu dengan segera digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi. Dengan demikian ada banyak uang yang beredar. Industri yang memproduksi berbagai jenis barang untuk keperluan konstruksi bisa bernafas lagi. Perekonomian Indonesia secara bertahap mulai menguat.
Pada waktu bersamaan Presiden Jokowi bisa memenuhi janjinya kepada rakyat miskin, menyediakan layanan kesehatan secara gratis. Maka BPJS Kesehatan digenjot untuk bisa memberikan pelayanan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat yang tidak tergolong miskin memang diharuskan membayar iuran bulanan semacam premi asuransi, tetapi nilainya murah sekali, hanya Rp 25.500 untuk pelayanan kelas 3, Rp 45.500 untuk pelayanan kelas dua dan Rp 59.500 untuk pelayanan kelas satu.
Tentu ada rakyat yang masih mencak-mencak karena tidak terbiasa membayar iuran bulanan dan maunya semua disediakan gratis 100% oleh Pemerintah. Tapi tidak kurang dari 150 juta rakyat Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan.