Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wayang Sang Dalang

7 Juni 2017   03:24 Diperbarui: 7 Juni 2017   03:43 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak paham sama sekali.  Seharusnya ini kan tidak terjadi.  Para penari itu tidak menyelesaikan tariannya.  Oleh sebab sebab yang tak bisa dimengerti.  Padahal gamelannya terus mengalun.  Para penonton juga masih setia berduyun duyun.  Ujar hati sang dalang sambil terus berupaya menggerak gerakkan wayangnya di panggung dari tubuh pisang mati.

Wayang wayang itu sebetulnya ingin berteriak.  Bertukar peran sekali saja.  Biarkan kejahatan menguasai dunia sebentar saja.  Kami ingin tahu apakah manusia masih berpaling dariNYA.  Sang dalang batinnya tersentak.  Bukan tugasnya untuk mengganti ganti peran.  Kisah ini sudah lama berpakem begini.  Tidak bisa berganti hanya karena teriakan wayang berotak mati.

Sang Dalang memberi isyarat para niaga.  Percepat irama kendangnya.  Wayang wayang ini mulai berulah.  Semua bisa menjadi salah kaprah.  Aku tidak ingin para penonton menyumpah nyumpah.  Aku akan tancapkan semua wayangnya.  Lalu hentikan semua perbincangannya.  Aku adalah dalang.  Tak selayaknya mereka mempertanyakan peran.

Suara kendang menimpali sinden yang sedari tadi berdiam.  Menunggu perintah dalang yang sepertinya lupa kepadanya.  Apakah karena dia sekedar pelengkap saja.  Atau barangkali karena dia tak lagi ranum dan muda.  Tembangnya mengambang sejenak di udara.  Kemudian berangkat membawa serta.  Jiwa jiwa yang seringkali lupa pada kodratnya.

-------

Wayang wayang tergeletak dalam kotak.  Menunggu saat perintah bangkit dari sang dalang.  Ini waktunya peperangan.  Semestinya para raksasa mulai memunculkan taringnya.  Namun sang dalang sedang berubah pikiran.  Para raksasa akan dibuatnya menjadi selembut wadam.  Bukan memangsa namun hanya mencela.  Keributan kecil pun hanyalah pura pura.  Ini memang untuk menipu para penonton saja.

Goro goro membelah langit.  Saat peperangan tiba.  Para ksatria bersiap siap dengan segala senjata kebajikannya.  Dan pongahlah mereka.  Sang dalang mendadak galak.  Bajik tidak boleh pongah!  Aku akan menghukum kalian!  Menjadi para ksatria yang mati di tangan para raksasa yang tengah berperan wadam.

Kericuhan terjadi seketika.  Para wayang kebingungan terhadap tingkah sang dalang.  Lelakon ini menjadi kisah berbalik arah.  Persis sesuai dengan keinginan mereka di awal cerita.  Tapi sekarang mereka tak mau.  Tetaplah saja kebaikan yang menang.  Begitu amanat para wali yang menciptakan cerita ini untuk mensyiarkan pesan.

Sang dalang kembali berubah pikiran.  Ini terlalu rumit dan berbahaya.  Perpecahan bisa bisa mendongkel kekuasaannya. Para ksatria bisa membidikkan panah ke jantungnya.  Para raksasa bisa menancapkan taring di lehernya.  Sebenarnya akan lebih mirip pada pemberontakan.  Sedangkan sang dalang masih haus akan kekuasaan.

Kalau begitu aku akan memanggil wayang wayang yang bisa aku percaya saja.  Yang khianat, biar mati dalam kotak saja.  Ini akan langgeng selamanya.  Dalang dalang lain biar menonton saja dulu.  Ini adalah panggungnya.  Negara kecilnya.  Kelak ada saatnya dia akan ditinggalkan.  Oleh para sinden.  Para niaga. Dan para wayangnya.  Menjadi dalang tua mendekati mati.  Seperti panggung yang dia buat dari batang pisang mati.

Jakarta, 7 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun