Mohon tunggu...
margono margono
margono margono Mohon Tunggu... -

pns, tinggal di sleman-yogyakarta; yang mendapat anugerah pendamping hidup setia-baik hati, dan mendapat amanah tiga jagoan yang memiliki banyak cita-asa; yang menjadikan hidup senantiasa penuh warna.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wayang: Ajaran Moral Luhur?

19 Desember 2009   12:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:52 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada saat usia sekolah dasar, saya sering menemani Ibu nonton wayang orang di Sriwedari-Solo. Sebagai anak kecil saya tidak begitu paham alur cerita. Ibu yang memberi tahu ceritanya, dan menyebutkan tokoh-tokoh baik serta tokoh-tokoh jahatnya. Saya hanya senang kalau adegan perang, dan juga munculnya para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong).

Saat bercerita, Ibu senantiasa mengingatkan untuk mencontoh tokoh-tokoh Pandawa (yang lima orang, 'Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa' serta tokoh-tokoh di sekeliling mereka), yang diyakini sebagai tokoh baik. Para jagoan ini adalah pembela kebenaran, pembasmi para angkara, para penjahat. Sebagai anak yang baik (menurut Ibu, saya anak yang baik), saya mendengarkan dan mengiyakan. Ibu senantiasa berpesan, ada ajaran moral yang patut dipelajari dalam cerita wayang.

Setelah dewasa, mulai membaca dari sumber-sumber yang bervariasi (kalau dulu hanya mendengar dari para dalang wayang kulit, dan mengikuti cerita saat menyaksikan wayang orang), maka saya menjadi ragu. Ragu untuk mengikuti pendapat bahwa wayang dapat dijadikan sebagai sarana ajaran moral luhur. Mengapa? Dalam alur cerita wayang, penuh dengan adegan perang, bunuh-membunuh (bahkan dengan cara yang amat sadis), saling dendam, saling licik.

Dari yang saya baca, perilaku sadis itu juga dilakukan oleh tokoh Pandawa (yang nota bene dianggap dapat dijadikan panutan perilaku luhur, begitu menurut para dalang wayang). Kalau semua tokoh yang bermusuhan, baik tokoh 'baik' maupun tokoh 'jahat', memiliki cacat-cacat yang nyata, bagaimana wayang dapat dijadikan ajaran moral luhur?

Contoh perilaku sadis itu, misalnya yang dilakukan ksatria Pendawa, Bima (disebut juga Sena, Werkudara, Jagalabilawa) saat membunuh lawan dengan cara: memukul dengan gada kepala musuh hingga hancur-berantakan, mematah-matahkan anggota badan, menguliti, mewadahi darahnya.

Kalau saya pribadi, ya, nonton wayang, sebagai tontonan saja. Dalang wayang kulit saya amati bagaimana bagus sabetannya atau kalau wayang orang, para pemainnya yang terampil menari dan mampu berdialog dengan lancar dan berisi. Juga para penabuh gamelan, para pesinden, serta tata panggung, tata lampu.

Para pembaca yang pernah melihat wayang, penikmat wayang, atau bahkan yang lebih paham tentang wayang minta pendapatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun