Mohon tunggu...
sidik pamungkas
sidik pamungkas Mohon Tunggu... -

Guru SD, suka membaca dan selalu mendambakan kehidupan damai sejahtera di jagad raya ini. Meyakini Tuhan sendirilah yang akan menata kembali dunia manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menerawang Pilpres 2014 dengan Kacamata Wayang

15 Mei 2014   07:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau tulisan ini kurang pas, harap maklum karena saya mencoba menerawang Pilpres 9 Juli 2014 mendatang dengan kacamata lain, yakni kacamata pewayangan.  Menurut pengamatan saya, Megawati adalah sosok politisi yang paling concerned dengan Pancasila, maka dalam terawangan ini Bu Mega saya anggap sebagai Ibu Kunthi dengan Pendawa-limanya.  Selain Pendawa-lima, Kunthi juga berputerakan lagi seorang ksatria bernama Karna, yang dalam terawangan saya ya Capres-Gerindra. Menjelang perang besar bharata-yudha, Kunthi mencoba membujuk Karna untuk masuk dalam satu barisan dengan Pendawa-lima menghadapi pasukan Kurawa, tetapi tidak mau.  Akhirnya, Karna dan Pendawa-lima harus berhadapan di Tegal Kurusetra.  Dalam kisah peperangan itu, terjadilah hal-hal berikut :

Prabu Salya dari Mandraka yang berangkat bersama pasukannya hendak membantu Pandawa, salah jalur dan masuk barisan Kurawa.  Mengetahui hal itu, Salya akhirnya memutuskan untuk tetap membantu Pandawa, meskipun berada di barisan Kurawa.  PPP tampaknya memerankan pasukan Salya, yang setelah berdebat sengit dalam rapatnya menentukan siapa yang mau didukung, dan memutuskan mendukung Capres Gerindra harus menelan pil-pahit karena cawapresnya jatuh ke PAN.  Dan itu pas dalam terawangan saya karena PAN dengan simbol mataharinya identik dengan Dewa Surya, ayah dan pelindung Karna.  Kalaun terawangan ini pas, berarti dukungan PPP ke Gerindra ya hanya setengah hati, karena wadagnya mendukung Gerindra tapi sukmanya tidak demikian.

Sebenarnya, Karna adalah ksatria sakti putra Dewa Surya.  Sayangnya, Karna terkena kutukan Rsi Parasurama, Sang Guru yang konon ditipunya.  Dalam kutukannya Rsi Parasurama berkata bahwa kelak dalam perang besar bharatayuda, semua ilmu kesaktian yang diajarkannya akan lenyap meninggalkan dirinya.  Dan dalam pewayangan benar terjadi demikian.  Bahkan panah sakti Kuntawijayandanu pun telah dilepaskan untuk menghadapi Gatotkaca putra Bima yang mengamuk membantu Pandawa (konon, panah sakti ini hanya bisa digunakan sekali).

Kalau terawangan ini pas (atau setidaknya mendekati pas), Pilpres 2014 adalah perang Bharatayudha, perang yang konon digariskan untuk memisahkan antara yang baik dan yang jahat, perang antara dharma dan adharma.  Dalam perang ini, kebenaran menang dan semua harus ngunduh wohing pakarti.  Dalam perang inilah semua punagi harus diselesaikan.  Artinya, sapa nandur ngunduh, sapa nggawe nganggo.  Melihat gerak KPK yang makin nyata, tampaknya periode ngunduh wohing pakarti sudah sampai waktunya.  Benar atau tidak, mari kita tunggu bersama dan harapan saya semoga babak wayang-purwa segera selesai bersama dengan lahirnya Parikesit.  Mengapa?  Karena setelah wayang-purwa berakhir sambungannya adalah Wayang-Menak, suatu babak baru dalam kehidupan baru, dan semoga hidup kita semua pun jadi "menak".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun