Mohon tunggu...
uzi ne
uzi ne Mohon Tunggu... -

mengisi waktu luang,,, berkelana di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secuil Kisah Tentang Aktivis HAM Munir

12 April 2015   21:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428848703530380234

[caption id="attachment_360401" align="alignnone" width="659" caption="(sumber gambar:www.naviculamusic.com)"][/caption]

Tak hanya dari budaya wayang, batik atau makanan dari rendang, nasi goreng hingga pulau Bali saja Indonesia dikenal ke mancanegara. Para tokoh-tokohnya pun banyak dikenal dan begitu diapresiasi di luar sana. Apresiasi itu bermacam rupa bentuknya baik penghargaan medali, gelar kehormatan, atau berupa penamaan nama jalan sekalipun. Sebuah rasa gembira tentunya, akan bermacam apresiasi tersebut yang telah diberikan untuk tokoh dari negeri kita.

Segala rupa apresiasi untuk para tokoh itu kadang juga bisa menimbulkan pro kontra yang selalu mengiringi baik ketidaksetujuan maupun syak wasangka terhadap negeri pemberi apresiasi yang akan terus timbul dalam berbagai pertanyaan. Menarik untuk diikuti segala pendapat yang mengiringi yang terkadang menggelikan, ketika di negeri sendiri terabaikan justru di negeri orang diperhatikan kita malah kadang suka sewot tak jelas.

Sebuah kabar terbaru dari negeri kincir angin yang telah memberikan bukti apresiasi yang mampu menyentuh hati seorang Suciwati istri almarhum Munir. Nama sang suami yang telah berpulang sejak 7 September 2004 dalam perjalanannya dengan pesawat Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam Belanda untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana diabadikan menjadi nama jalan di negara tersebut.

Bukan jalan utama memang yang akan diabadikan jadi Jalan Munir. Karena hanya sebatas jalan sepeda di kota Den Haag, kota dimana lokasi pengadilan HAM Internasional berada. Namun menjadikannya istimewa juga karena jalan ini masih dalam satu kawasan dengan jalan bernama para tokohpembela HAM, macam Bunda Theresa, Luther King, atau Nelson Mandella. Bukan nama pertama pula tokoh Indonesia yang diabadikan jadi nama jalan di negeri Belanda karena sebelumnya telah ada tokoh RA. Kartini, Ir. Soekarno, Moh. Hatta sampai Sutan Sjahrir.

Suciwati begitu menyambut antusias sebuah apresiasi untuk sang suami dengan mengatakan hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa. “Ironis ya, negara lain memberi penghargaan sedangkan negaranya sendiri memberi ruang buat pelaku yang diduga membunuh Munir. Ini harus terus didorong bahwa keadilan untuk Munir adalah keadilan untuk semua” (sumber: Tribunnews).

Pernah juga saya membaca sebuah buku yang membahas tentang sosok pejuang HAM yang satu ini. Digambarkan sosok yang berani kepada siapaun termasuk pemerintah kala itu (Kepolisian & TNI) dengan bendera Kontras (Komite Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan). Sikap dan perjuangannya dalam HAM menjadikannya terpilih sebagai Man of The Year 1999 versi Majalah Ummat, The Right Livelihood Award di Swedia (2000), beserta penghargaan lainnya.

Diceritakan pula bagaimana peran ayah-ibu, kakak-kakak, lingkungan, sekolah, guru, istri, anak-anak dan para sahabatnya membentuk kepribadiannya, merekalah yang jadi silent heroes Munir selama hidupnya. Dituliskan tentang sifat masa kecil Munir bukan anak yang nakal, tapi kalau diganggu tak keberatan untuk diajak berkelahi. Memiliki sifat berani apapun resikonya walau itu tak seimbang sekalipun. Sang adik juga menceritakan tentang sosok kakaknya yang berani berantem dengan profesional dan spesifik, karena Munir tidak bisa melihat sesuatu yang tidak benar menurut dia.

Dengan segala kenangan yang telah dilalui bersama, tentu Suciwati sebagai seorang istri merasa kehilangan akan sosok suami dan ayah bagi anak-anaknya. Karena semasa hidup bersama sosok Munir, begitu akrab dengan anak-anaknya. Ikut memandikan, menyuapi dan bercanda bersama anak-anak adalah hal yang sering dilakukan dimasa hidupnya. Di setiap hari liburnya diisi dengan berjoget bersama dan memutar musik keras-keras, hal yang sudah tidak mungkin dilakukan lagi sekarang. Yang paling Munir sukai adalah memeluk dari belakang baik istri ataupun anaknya.

Nama Munir yang harum di Belanda dengan dijadikan nama jalan yang sejajar dengan tokoh terkenal pembela HAM dapat menjadikan sumber semangat kembali untuk Suciwati terus mencari keadilan bagi sang suami. Walaupun kemungkinan itu nampak kecil sekali. Pollycarpus pilot Garuda yang telah ditetapkan menjadi tersangka atas kasus pembunuhan Munir telah di vonis penjara 14 tahun pada 2005 namun mendapatkan bebas bersyarat pada November 2014 tahun kemarin. Dan Muchdi telah di vonis bebas oleh pengadilan tanggal 31 Desember 2008. Tak pernah diungkapkan dengan terang benderang sekalipun, siapa dalang sesungguhnya atas kasus kematian itu setelah kasusnya terjadi bertahun-tahun

Telah berganti pucuk pimpinan negeri namun tak pernah ada kejelasan. Nasib keadilan untuk para pembela HAM yang selalu terkatung-katung tidak jelas layaknya Munir ini. Generasi selanjutnya akankah hanya terus disuguhi untuk melihat poster Munir dengan sebuah kalimat “Menolak Lupa” tiap tahunnya. Ataukah cukup dengan memaafkan saja karena sejatinya kita, konon katanya terkenal sebagai bangsa yang pemaaf untuk apapun itu.

Terlepas dari semua yang menyelimuti segala misteri tentang kematian Munir, dia bisa jadi contoh tokoh yang berjuang dengan keberanian. Menyuarakan keadilan dalam membela kebenaran yang diyakininya. Sebagai seorang manusia biasa ia juga mempunyai ketakutan layaknya orang lain namun mampu mengendalikan rasa takut yang menghinggapinya. Inilah kalimat yang diucapkan Munir semasa hidup tentang rasa takut itu “Aku harus bersikap tenang walaupun takut...untuk membuat semua orang tidak takut. Normal sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasikan rasa takut...”

SALAM KOMPASIANA!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun