Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbuat Untuk Indonesia Dimulai dari Bermanfaat Bagi Masyarakat

17 Agustus 2017   19:12 Diperbarui: 24 Agustus 2017   17:19 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu potret masyarakat miskin di Buleleng, Bali. www.bali.tribunnews.com

Sudah berbuat apa untuk Indonesia? Sebagai seseorang yang bukan pejabat pemegang kebijakan atau pengusaha besar saya tentu tidak akan menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang hebat. Bagi saya yang hanya butiran debu ini berbuat untuk masyarakat di lingkungan sekitar kita sudah cukup sama dengan berbuat untuk bangsa dan negara.

Sebagai seorang jurnalis dan seseorang yang gemar menulis saya selalu berusaha bermanfaat bagi masyarakat melalui peran saya. Bagi saya bermanfaat bagi masyarakat yang kita temui merupakan bagian dari kontribusi untuk bangsa yang kita cintai ini, bangsa Indonesia. Menjadi bermanfaat bagi orang lain sudah membuat perasaan saya bangga sebagai manusia.

Salah satunya ketika membuat sebuah tulisan di Kompasiana dua bulan lalu sekira pertengahan Ramadan. Tulisan yang berjudul "Sepucuk Surat Takmir Masjid untuk Majelis Gereja di Malang" itu menjadi viral dan membanggakan karena pesan saya mengenai toleransi antar umat beragama tersampaikan kepada masyarakat. Saat membuat tulisan itu saya hanya berpikir bahwa dua tempat ibadah agama berbeda itu cukup menarik karena lokasinya yang saling berdampingan. Saya lalu mencari angle untuk dijadikan sebuah tulisan dan didapati fakta menarik kalau solat Ied kemarin bertepatan dengan hari Minggu, yang sesuai rutinitas waktunya umat Kristiani untuk melaksanakan Misa.

Kebesaran hati pengurus gereja yang merelakan waktu Misa pagi diundur beberapa jam untuk memberikan kesempatan umat Islam melaksanakan solat Ied patut diapresiasi. Begitupula pengurus masjid yang dengan kesadaran bertoleransi mengirimkan sebuah surat permakluman kepada tetangganya itu. Tulisan itu kemudian dibagikan sampai belasan ribu kali di sejumlah media sosial. Sebagian besar memberikan respon positif terhadap dua pengurus tempat ibadah atas kebesaran hatinya saling bertoleransi.

Tidak saja di Malang, di Bali beberapa kali saya juga menulis mengenai keberagaman. Salah satunya mengenai Desa Pegayaman di Buleleng, Bali. Desa itu cukup unik, sebagai Desa Islam mereka memiliki nama hasil akulturasi antara nama Bali dengan nama Islam, misal saja I Nengah Solikhin, Ni Ketut Aisyah dan sebagainya. Saat Maulid Nabi SAW desa ini setiap tahunnya menggelar hajat besar dengan menggelar ritual dan parade budaya. Dan mereka juga mengundang desa tetangga yang Hindu untuk ikut memeriahkan dengan kesenian Hindu Bali seperti seni gambelan Bali. Mereka juga saling berbagi makanan kepada tetangga yang beragama Hindu begitu sebaliknya.

Semangat bertoleransi antar umat beragama ini menunjukkan kalau Indonesia merupakan satu bangsa yang heterogen, terdiri dari beragam suku, agama, budaya dan bahasa. Meskipun beragam, bangsa ini tetap utuh dalam satu kesatuan sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah merawat keberagaman melalui peran masing-masing.

Sementara itu di sisi lain, masih banyak masyarakat, terutama di pelosok pedesaan yang kurang beruntung dan belum mendapat perhatian. Berkeliling ke desa-desa dengan sepeda motor butut, kadang sendiri atau dengan seorang, dua orang teman adalah satu hobi menarik. Di pelosok desa yang seringkali harus melalui jalan terjal banyak kita jumpai fenomena yang kemudian bisa ditulis menjadi satu karya tulisan berita. Fenomena yang seringkali luput dari perhatian karena keterbatasan akses informasi ke kota atau terbatasnya sumberdaya aparat desa setempat.

Salah satu fenomena di pedesaan adalah tentang kemiskinan yang tidak kunjung usai. Meskipun semakin banyak sekolah gratis tetap saja masih banyak anak-anak kurang beruntung yang tidak bisa bersekolah. Di satu desa di Buleleng, Bali saya pernah menjumpai seorang remaja yang terancam tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA setamat dari SMP. Karena kedua orangtuanya tidak sanggup membayar uang seragam sampai Rp 2 juta sebagai syarat wajib masuk salah satu SMK negeri.

Orangtuanya yang hanya bekerja sebagai buruh tani berpenghasilan tidak lebih dari Rp 100 ribu sehari untuk menghidupi kedua anaknya menganggap uang pangkal itu sangat besar. Jangankan untuk membayarnya, untuk makan sehari-hari saja seringkali mereka kekurangan. Seragam SMP anak itu lusuh, dan saat ditemui di rumahnya buku-buku pelajarannya yang sudah lusuh hanya disimpan di sebuah kardus bekas makanan. Ia yang sebenarnya punya niat tinggi untuk melanjutkan sekolah hanya bisa pasrah dengan nasibnya.

Saya yang hanya memiliki kemampuan menulis, menuliskan kisah anak ini menjadi sebuah berita dengan mengkonfirmasi sejumlah pihak. Beberapa hari kemudian Gubernur Bali menemui anak itu di rumahnya dan mengajaknya sekolah di sebuah SMK negeri gagasannya setelah membaca kisah anak itu. Sedikitnya ada lima anak yang bernasib sama, tidak bisa melanjutkan sekolah yang saya temui dari hasil berkeliling ke desa-desa. Mereka memiliki beragam masalah yang semuanya bersumber dari kemiskinan.

Sebenarnya masih banyak permasalahan lain di masyarakat yang kalau dituliskan satu-satu di sini akan menjadi panjang. Mengenai orangtua tanpa keluarga yang tinggal di gubuk reyot, anak cacat yang tidak mendapatkan haknya sebagai penerima bantuan dana dari pemerintah, yang entah kemana sampai konflik perebutan lahan antara petani miskin dengan investor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun