Menulis itu mudah, demikian kalimat Mas Pebrianov membuka tulisannya. Persoalannya adalah pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis itu sendiri, atau yang disebut diksi.
Oalaah, Mas Pebri iki ora empati sama sekali dengan penderitaan kami para penulis pemula di Kompasiana ini. Diksi sudah seabreg-abreg mengisi setiap ceruk di otak ini, baik yang engandung gaya supernya Mario Teguh, gaya pengamat politik canggih (padahal tinggal copy paste dari Google...hehe), gaya humor nan garing sampai gaya sastra abal-abal, semua ada. Tapi sewaktu akan dituangkan jadi tulisan, jari jemari saya kok jadi seperti malu dan takut untuk menari di atas tuts keyboard.
Yang pertama, setiap jari saya ini mau dipake ngetik, jari tangan ini malah kayak senyum-senyum ngeledek, hayoo .... mau bikin artikel apa mau bikin daftar belanjaan? Haalaah, wedus!
Kemudian yang kedua, terbayang komentar-komentar sarkasme nan nyinyir yang mungkin akan memaki-maki tulisan saya ini nanti karena dianggap opini dalam artikel saya itu gak ada bener-benernya di mata mereka. Haduuh, saya dimaki-maki supir angkot aja bawaannya pengen nangis.
Padahal banyak sekali yang ingin saya brojolke dari kepala ini untuk saya tuangkan. Syukur-syukur bisa mencerahkan diri saya sendiri aja dulu, apalagi kalau bisa menginspirasi orang lain, woow, keren kan saya . Tapi setidak-tidaknya, dengan rajin menulis saya sih berharap dan yakin bahwa yang saya lakukan ini dapat mencegah saya dari kepikunan dini. Jadi nantinya walaupun sudah tua gak o’on-o’on amat. Hehe ...
Saya ingin sekali menuliskan opini pada setiap fenomena yang saya temui dalam keseharian. Misalkan hari ini, Pakde saya telpon, disamping mengabarkan kondisinya bahwa ia sehat-sehat saja di kota tempatnya tinggal, dia juga menuturkan bahwa tahun ini gak bisa berkurban. “Mbok Lastri dapurnya mau rubuh, Ra. Jadi tabungan pensiunan Pakde yang rencananya untuk berkurban idul adha tahun ini ya dipakai dulu buat bantu si Mbok.”
Mbok Lastri adalah orang yang mengurus rumah Pakde selama puluhan tahun.
Penuturan Pakde itu membuat sebuah pergulatan spiritual dalam pikiran saya. Dan saya ingin sekali menuliskannya,tapi saya ragu. Saya sadar diri, hanya seorang emak-emak empat anak yang pemahaman agamanya masih cetek dan nulispun masih lompat-lompat gak jelas. Bagaimana kalau ada yang lebih ahli tentang agama kemudian mempertanyakan dalil dari opini saya itu? Bagaimana kalo ada yang bilang tulisan saya mirip tulisan anak TK, “Sana bersihin WC aja dulu, baru nulis!”. Uuh, sakitnya kan pasti disini.
Sejuta kalimat tanya yang diawali dengan kata ‘bagaimana’ telah menciptakan monster menakutkan di kepala ini. Itulah yang membuat jari tangan menjadi kelu (lidah kalee...kelu) untuk menari-nari di atas tuts menghasilkan kata-kata indah mengundang pikir. Padahal kalau ditulis pergulatan yang ada dalam diri saya ini menarik lho. Hehe ... muji dikit.
Pergulatan spiritual yang mau coba saya tuliskan terkait penuturan Pakde itu mengingatkan saya juga pada ceramah Pak ustaz yang sering mengisi pengajian jamaah di mesjid komplek kami. Menurutnya, filosofi dari berkurban adalah memahami secara keimanan tentang kepatuhan seorang Ibrahim kepada perintah Tuhan untuk menyembelih Ismail, anaknya. Akan tetapi, ada sisi lain juga yang harus kita pahami melalui kacamata keimanan kita, yakni: digantinya Ismail dengan seekor hewan oleh Tuhan. Hal itu merupakan wujud kecintaan Tuhan kepada manusia. Manusia adalah makhluk yang derajatnya paling tinggi di mata Tuhan, sekaligus makhluk yang paling dikasihiNya, sehingga tak layak untuk disembelih atau dikurbankan, demikian penjelasan Pak Ustaz.
Cinta kepada manusia seharusnya menjadi tujuan dari setiap ritual agama. Jadi hablum minannas dulu baru hablum minallah. Berkurban memang anjuran agama, karena berkurban adalah sebuah bentuk pendekatan manusia secara sempurna kepada Tuhan. Tapi mendekatkan diri kepada Tuhan bukan hanya dengan berkurban saja, masih banyak cara-cara lain yang dianjurkan agama. Pakde disini hanya memilih prioritas. Bagi Pakde, Mbok Lastri jauh lebih membutuhkan uang untuk menembok dapurnya ketimbang daging kurban yang hanya untuk memuaskan selera konsumtif semata.