Tiongkok jelas ingin menguasai kekayaan gas di Natuna yang berpotensi menghasilkan duit Rp. 6.000 triliun. Bagi Tiongkok yang juga telah mengklaim kepulauan Spratly sebagai miliknya, letak geografis Natuna sangat strategis dan berada tidak jauh dari halaman depan rumahnya.
Dibandingkan dengan Afrika, Natuna jauh lebih gurih dan menarik. Dalam dua dekade terakhir, Tiongkok sudah menancapkan kukunya di belahan Afrika untuk menguasai tambang-tambang minyak di benua hitam itu.Â
Tetapi itu tidak pernah cukup bagi mereka yang sudah rakus meniru kerakusan negara barat terhadap dunia ketiga. Tiongkok ingin mendikte negara-negara tetangganya meniru kesuksesan Jepang sebelumnya.
Dengan anggaran belanja pertahanan yang meningkat 12,3% atau senilai 188 miliar USD pada tahun 2014, dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya, maka Tiongkok ingin menjadi kekuatan militer terhebat di dunia. Tujuannya tidak lain untuk melindungi kepentingan ekonominya yang sekarang sudah menyalip negara-negara G-20 dengan menempati urutan kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Tiongkok yang memiliki kemampuan dan pengalaman dalam berbagai medan pertempuran berdasarkan catatan sejarah panjang militer Tiongkok, mulai dari perang melawan imperialis Jepang pada saat Perang Dunia II (1937 – 1945), perang saudara Korea Utara dan Korea Selatan (1950 – 1953), perang Vietnam (1957 – 1975), invasi militer ke Tibet (1950 – 1951), dan perang singkat antara China dan India (1962) telah memberikan pengaruh kepercayaan diri bagi militer Tiongkok.
Dalam kalkulasi para pejabat tinggi militer Tiongkok, jika terjadi konfrontasi dengan militer Indonesia dalam upaya merebut wilayah kepulauan Natuna, maka kekuatan militer Tiongkok akan dengan mudah menekuk kekuatan militer Indonesia.Â
Kekuatan pertahanan Indonesia pada 2014- 2019 diketahui hanya mampu menanggulangi seperlima dari kekuatan Tiongkok pada tahun yang sama. Ini berarti mereka cukup menggelar 20% kekuatannya di sekitar kawasan Indonesia, dan itu sudah setara dengan kekuatan militer Indonesia.
Rasa bangga atas pencapaian Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia setelah Amerika, diikuti juga dengan kekuatan militer nomor tiga dunia setelah Amerika dan Rusia, telah membuat para pejabat elit negeri itu gatal dan terus gatal  untuk pamer kekuatan kepada tetangganya. Tiongkok sudah mulai bergaya sebagai negara adidaya baru.
Dengan satu kapal induk besar bernama Liaoning, yang telah sukses diluncurkan dan akan menyusul kapal induk kedua, Tiongkok bisa unjuk kekuatan di belahan lautan Pasifik dan menggertak negara-negara Asia Tenggara yang kaya akan kandungan minyak namun masih lemah secara ekonomi dan militer.
Tiongkok yang mulai agresif kemudian memanfaatkan sepuluh tahun filosofi mantan Presiden SBY ‘seribu kawan dan nol musuh’ berhadapan dengan negara lain.Â
Ketika itu pada tahun 2009, awal periode kedua SBY memerintah, Tiongkok yang membaca keraguan Presiden SBY langsung secara sepihak menggambar Sembilan titik titik (Nine-Dashed Line)Â yang ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut Tiongkok Selatan hingga mencakup wilayah Natuna, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.