JAKARTA, KOMPAS.com - Isu agama yang diangkat dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu ternyata berdampak sampai ke dunia pendidikan. Ada siswa yang menolak dipimpin Ketua OSIS yang berbeda agama. Hal ini menjadi potret intoleransi yang terjadi sampai ke remaja.
"Pilkada DKI Jakarta ini, satu momentum, yang imbasnya kemana-mana," kata Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Henny dalam sebuah diskusi peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Henny mengatakan, beberapa pekan lalu ia sempat berkunjung ke sebuah agenda dengan guru-guru dan orang tua murid di Bandung. Di sana, kata Henny, beberapa orang tua mengatakan kondisi politik hampir serupa dengan kejadian tahun 1998.
(Baca: Jokowi: Jangan Takut Melawan Intoleransi dan Kekerasan)
"Mereka terbuka mengatakan bahwa mereka korban '98. Mereka bilang bisa melewati itu semua, tetapi tidak bisa membayangkan bagaimana dengan anak-anaknya," kata Henny.
Politik praktis, tidak secara langsung mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Namun, lanjut Henny, hal itu berdampak terhadap kemerdekaan berpikir anak-anak.
Henny juga menyampaikan, beberapa waktu lalu ia mendapatkan laporan penelitian dari Kemendikbud di sekolah-sekolah di Singkawang dan Salatiga mengenai toleransi, kesetaraan dan kerja sama.
"Ada keengganan anak dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama," kata Henny.
(Baca: Siapa yang Diuntungkan dari Isu Intoleransi pada Pilkada DKI?)
Sementara itu berkaitan dengan pengabaian hak jender, Henny mengkritisi sekolah-sekolah yang tidak memberikan kesempatan bagi siswinya yang hamil untuk menyelesaikan pendidikan.
Henny juga menyoroti kebijakan salah satu universitas negeri yang meminta orang tua mahasiswa untuk menjamin bahwa anaknya tidak masuk dalam kategori LGBT. Walaupun, pada akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan oleh pihak universitas.