Mohon tunggu...
Susmiana
Susmiana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pelibatan Anak dalam Kampanye Politik, Latah atau Lalai?

23 April 2019   12:51 Diperbarui: 23 April 2019   13:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Melihat pesta demokrasi yang telah lalu, kedua kandidat selaku pemeran utama dalam kontestasi politik, selalu masif pergerakannya demi memungut suara. Telah kita saksikan pula tumpah ruah masyarakat pada kampanye terbuka dalam menunjukkan dukungan kepada pilihannya.

Perlahan, laporan pelanggaran pasca kampanye terbuka mulai muncul ke muka publik. Yang paling dominan adalah pelibatan anak oleh simpatisan, maupun peserta kampanye terbuka. Setelah semua berlalu, hak anak harus masuk dalam evaluasi kampanye demi perbaikan sistimnya di masa mendatang.

Memang tidak selayaknya anak dilibatkan dalam kegiatan politik apapun, terlebih pada kampanye terbuka. Mengingat secara fisik, anak memiliki daya tahan yang tidak sama dengan orang dewasa. Demikian halnya dengan psikis, suasana panas, riuh dan tidak kondusif, jelas mempengaruhi di kemudian hari. Spontannya, anak akan lebih mudah menangis dan takut keramaian.

Hiruk pikuk kampanye terbuka sebenarnya hanya sebagai pengantar terkuaknya pelanggaran hak anak dalam menyambut pesta politik. Sadar atau tidak, berbagai faktor mulai bersinergi mencemari hak anak jauh-jauh waktu ketika musim kampaye tiba.

Tempo hari, saya mendengar segerombolan anak-anak pulang dari sekolah seraya meneriaki nama petahana. Di tempat berbeda, banyak anak-anak yang kini lebih memilih menunjukkan isyarat nomor dua dengan ibu jari dan telunjuknya, daripada harus menggunakan telunjuk dan jari tengahnya, seperti sebelum kampanye merajalela.

Beredar pula foto di laman facebook maupun whatsapp group, meme anak dengan orang tua yang berbeda pilihan. Atau, lebih parah lagi video anak usia belajar bicara yang kata pertamanya di arahkan oleh orang tua adalah representasi pilihan para dewasa. Maka anak-anak yang terlibat dalam kampanye terbuka beratribut kampanye, dan mengibarkan bendera partai, adalah kenyataan yang mendukung pengalaman indera tersebut.

Entah latah atau lalai, orang dewasa lupa bercermin dari perilaku anak-anak negeri. Berbagai pihak tentu yakin bahwa apa yang mereka lakukan tidak sepenuhnya mereka pahami. Terlihat sepele memang, melibatkan anak dengan ranah poitik disertai candaan dan lelucon. Namun dari sinilah dimulainya pencemaran terhadap kealamian aliran hak anak yang tidak seharusnya dikotori keasliannya.

Mungkin para dewasa perlu diingatkan lagi tentang kesepakatan bahwa anak-anak adalah peniru yang handal. Maka setiap komponen yang ada di lingkungannya siap di copy-paste. Anak kemudian mulai merekam topik apa yang sering dibicarakan orang tuanya. Iklan apa yang sering muncul dalam tontonannya.

Sehingga ketika ia meniru apa yang mengisi dunianya--yang tidak seharusnya ada dalam dunia bermainnya ini, orang dewasa bersikap salah jika menyalahkan perilaku anak-anak. Sayangnya, orang tua dan dewasa lainnya tidak melihat hal ini sebagai sebuah kesalahan terlebih pelanggaran terhadap hak anak.

Ketika orang tua dan dewasa mulai mengalami konflik dan pertengkaran karena perbedaan pilihan, anak menerimanya sebagai sebagai sebuah perilaku yang lambat laun akan diterapkannya. Tentu jika hal ini tidak diiringi penjelasan sesuai logika anak oleh para orang tua. Maka jangan heran jika dikemudian hari anak bersikap arogan dan tidak dapat menghargai perbedaan dalam berpendapat.

Belum lagi semerbak black campaign yang menyerang orang dewasa. Tingkah maju tak gentar membela yang bayar terus terang dilakukan oleh para pemilik suara. Maka jangan bingung jika anak dikemudian hari bermental korupsi atau mudahnya berucap  "wani piro".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun