Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membongkar Strereotip Kiprah Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan

20 April 2024   21:18 Diperbarui: 20 April 2024   21:18 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peran Kaum Perempuan di Ranah Politik dalam Tinjauan Historis | The Columnist 

"Dapur, sumur, dan kasur" -- tiga kata yang  meliputi tiga aktivitas utama yang sering kali diidentikan dengan tugas seorang perempuan. Dalam bahasa Jawa, istilah "masak" (memasak), "macak" (berdandan), dan "manak" (melahirkan) juga menyiratkan konsep yang serupa.  Stereotip tersebut  telah lama mengikat perempuan dalam peran domestik yang terbatas. Namun, zaman telah berubah, dan perubahan itu juga menyentuh ranah politik dan pemerintahan.

Berdasarkan penelusuran media, saat ini ada 114 caleg perempuan yang diprediksi terpilih dan melenggang ke Senayan di Pemilu 2024. Jumlah itu setara dengan 19,65 persen total 580 kursi DPR.
Memang perolehan angka turun  dari hasil Pemilu 2019. Lima tahun lalu, ada 120 caleg perempuan atau 20,87 persen dari total anggota DPR terpilih.

Sejumlah nama calon anggota legislatif perempuan dari partai-partai politik diprediksi lolos ke parlemen di antaranya para politisi senior, yakni Puan Maharani dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P dan Nurul Arifin dan Atalia dari Partai Golkar. Tak hanya itu, para politisi muda, seperti Pinka Haprani dari PDI-P dan Hillary Brigitta Lasut dari Partai Demokrat, juga berpotensi besar masuk ke Senayan.

Dalam sejarahnya, perempuan sering kali dianggap sebagai kaum kelas dua, dengan hak-hak politik yang terbatas. Di Amerika Serikat, hak pilih bagi perempuan baru diakui pada tahun 1920, setelah berabad-abad lamanya merdeka. Begitu pula di banyak negara Barat lainnya, hak pilih perempuan diakui secara resmi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Namun, kesadaran akan pentingnya kesetaraan hak perempuan mulai berkembang seiring dengan politisasi perempuan pada abad ke-19 di Amerika dan Eropa.

Di Indonesia, sosok Kartini menjadi salah satu tokoh sentral dalam gerakan emansipasi perempuan. Gerakan tersebut tidaklah hilang begitu saja, melainkan berkembang dan menemukan wujudnya dalam perayaan Hari Perempuan Internasional, yang ditandai dengan Women's March -- unjuk rasa perempuan untuk menyuarakan aspirasi kesetaraan hak.

Perjalanan panjang menuju kesetaraan tersebut tidaklah mudah. Dalam politik dan pemerintahan, perempuan seringkali dihadapkan pada tantangan yang unik. Meskipun kini telah ada kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterlibatan perempuan, seperti kuota 30% perempuan dalam partai politik dan pencalonan legislatif, masih terdapat hambatan dalam mencapai kualitas yang diharapkan.

Perempuan dalam politik dan pemerintahan, meskipun telah memperoleh akses, sering kali terjerumus dalam kasus korupsi. Data dari KPK dan ICW menunjukkan bahwa banyak pemimpin perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. Masalahnya bukan terletak pada gender, melainkan pada sistem politik yang rentan terhadap praktik korupsi.

Dalam realitas politik yang masih dipenuhi oleh stereotip gender, perempuan sering kali dianggap kurang mampu atau kompeten. Namun, penelitian menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya memiliki kecenderungan korupsi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Namun, masuknya perempuan ke dalam politik yang didominasi oleh laki-laki dapat memperbesar kemungkinan terlibatnya perempuan dalam kasus korupsi.

Dinasti politik juga menjadi faktor yang menyulitkan perempuan. Meskipun dinasti politik tidak selalu buruk, namun jika pemilihan pemimpin hanya didasarkan pada hubungan keluarga, bukan kapabilitas dan kompetensi, maka ini dapat memperbesar risiko korupsi.

Terkait dengan peningkatan kasus korupsi yang melibatkan perempuan, terdapat stigma negatif dari masyarakat terhadap pemimpin perempuan. Ini mengindikasikan bahwa kehadiran perempuan dalam politik dan pemerintahan tidak memberikan perbedaan yang signifikan, bahkan perilaku koruptif masih melekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun