Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iman Vs. Logika: Dikotomi Ngawur Pecundang Filsafat

18 Juni 2011   08:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 2466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Banyak sekali postingan di lapak filsafat ini yang mengajak untuk meyakini adanya perbedaan antara iman dengan logika. Sering dikatakan bahwa iman adalah ranah hati, sedangkan logika adalah ranah otak.Ditambahkan pula bahwa hati itu berkaitan dengan hal-hal spiritual (ruhani) sedangkan otak hanya bertemali dengan hal-hal fisik (jasad) saja.

Argumen dikotomis itu acap dijadikan senjata pemungkas oleh kalangan yang merasa/menganggap dirinya religius ketika kehabisan stok argumen saat dituntut oleh lawan debatnya (atheis atau skeptic) untuk menunjukkan data-data empiris atau fakta-fakta logis tentang kebenaran konsep, prinsip, dan ritual-ritual yang dianut dan diimaninya.

Kalimat-kalimat klise yang sangat popular dikutip adalah:

“Otak manusia tidak akan mampu menjangkau/memahami eksistensi Tuhan

“Tuhan hanya bisa dipahami lewat iman, tidak (cukup) oleh logika”

Nalar tidak akan bisa mengurai sesuatu yang gaib, hanya batin yang bersihlah yang bisa memahaminya”

Berbedakah iman dengan logika?

Tiga contoh kutipan argumen dikotomis di atas jelas-jelas ingin menyatakan bahwa pada diri manusia itu terdapat dua ”perangkat keras” yaitu hati dan otak yang mengolah program (perangkat lunak) yang berbeda. Hati khusus mengolah informasi keyakinan spiritual (agama, mistik, mitos, tahayul) sedangkan otak terbatas mengolah informasi material (ilmu dan teknologi). Pandangan ini melahirkan anggapan bahwa berfilsafat hanya menjangkau kulit luar kebenaran (dangkal sifatnya) sedangkan beragama mampu menjangkau hakikat (inti) kebenaran itu. Benarkah?

Ketika seseorang berkata “Nalar tidak akan bisa mengurai sesuatu yang gaib, hanya batin yang bersihlah yang bisa memahaminya”, maka pertanyaannya adalah: perangkat keras mana pada diri orang tersebut yang digunakannya, hati atau otak? Lantas mengapa orang yang terserang penyakit stroke (tergantung keparahannya, tentu saja), jangankan untuk berargumen , untuk mengingat nama anggota keluarganya sendiri saja dia mengalami kesulitan. Apa yang rusak pada penderita stroke, hati atau otak?

Ketika seseorang berkata “Tuhan hanya bisa dipahami lewat iman, tidak (cukup) oleh logika”, maka pertanyaanya: perangkat lunak mana pada diri orang tersebut yang berfungsi (sedang on), spiritual atau akal? Lantas mengapa orang yang hilang ingatan (gila?) tidak wajib beragama/beriman? Apa yang salah/ rusak pada diri orang yang hilang ingatan, hati atau otak?

Dikotomi hati vs otak, iman vs logika, spiritual vs akal sungguhmerupakan pemisahan yang sangat naif. Naif karena mengabaikan unsur paling berharga pada diri manusia sendiri yaitu otak. Otaklah yang melahirkan kemampuan berpikir sehingga seseorang bisa memberi nilai benar atau salah, baik atau buruk. Bahkan, sekedar untuk menjawab atau mengomentari suatu pendapat, seseorang perlu berpikir. Ketika itu terjadi (berpikir) berarti otaklah yang bekerja. Itu sebabnya orang gila tidak dituntut kewajiban moralnya, karena otaknya tidak dapat menjalankan fungsi bernalar.

Nalar pulalah yang dijadikan dasar oleh manusia (egoism) untuk “secara sepihak” mengklaim bahwa dirinyalah spesies makhluk paling beradab di muka bumi ini. Binatang dikategorikan tak beradab, karena tidak memiliki/menggunakan akal. Ketika akal tidak digunakan maka sumirlah batas (perbedaan) antara peradaban manusia dengan peradaban binatang.

Hanya akal

Berdasarkan kenyataan bahwa akal/nalar/logika tidak bisa ditanggalkan saat manusia dihadapkan pada situasi harus membuat keputusan apakah menerima atau menolak, meyakini atau menyangkal, mengamini atau mengkritisi sesuatu, maka sesungguhnya iman dan logika itu adalah satu kesatuan fungsi.

ØTanpa akal, tidak akan ada keyakinan spiritual.

ØTanpa nalar, tidak akan ada iman.

ØTanpa logika, tidak akan ada dogma/agama.

ØTanpa pikiran, tidak akan ada Tuhan.

Hanya pikiranlah (hasil kerja otak) yang menjadikan manusia eksis sebagai makhluk beradab (social) sekali gus sebagai makhluk spiritual. Aku berpikir maka aku ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun