Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haruskah Percaya dengan Hasil Survei?

22 Februari 2012   03:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:21 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selama ini kita acapkali disuguhi berbagai macam hasil survei, misalnya, popularitas tokoh atau partai politik tertentu, kepuasan rakyat terhadap suatu lembaga negara dan kinerja pemerintahan saat ini, dan yang terbaru adalah hasil survei mengejutkan dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta: sekitar 76 persen warga Muslim Jakarta menginginkan hukum Islam ditegakkan (Republika, 21/02/2012).

Pertanyaannya kemudian, apakah berbagai hasil survei yang selama ini disuguhkan kepada kita bisa dipercaya begitu saja sebagai suatu kebenaran, bukan kebetulan? Haruskah kita menelan bulat-bulat semua hasil survei itu, tanpa melakukan cross verification dan menerima begitu saja sebagai gambaran utuh tentang populasi?

Mengapa survei dilakukan?

Kita selalu memilki keterbatasan dalam memahami segala hal tentang populasi. Dalam konteks ilmu statistik (Statistika), segala hal ini disebut parameter, yakni karakteristik populasi yang─seringkali ─tidak diketahui secara pasti nilainya, terutama ketika unit yang merupakan anggota populasi sangat besar jumlahnya.

Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui nilai-nilai parameter populasi. Pertama, dengan melakukan sensus. Lewat sensus, semua unit yang merupakan anggota populasi diamati untuk memperoleh nilai parameter yang ingin diketahui. Contoh kegiatan sensus adalah Sensus Penduduk yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu (SP210).

Pada SP2010, populasi yang dimaksud adalah semua penduduk yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada saat sensus dilakukan, tanpa terkecuali. Dari SP2010 kemudian diperoleh sejumlah parameter populasi (penduduk Indonesia pada Mei 2010), misalnya, jumlah penduduk menurut karakteristik tertentu: jenis kelamin, umur, pendidikan yang ditamatkan, dan wilayah.

Karena semua anggota populasi diamati, gambaran mengenai parameter populasi yang diperoleh lewat sensus sangat akurat. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk itu, yakni biaya yang sangat mahal dan sumber daya manusia (tenaga) yang tidak sedikit. SP2010, misalnya, telah menghabiskan hampir 4 triliun duit negara dan melibatkan sekitar 500 ribu orang petugas sensus. Selain itu, keharusan untuk mengamati semua anggota populasi mengakibatkan varian parameter populasi yang dapat dipotret menjadi sangat terbatas

Untungnya, sejumlah kelemahan sensus di atas dapat diatasi melalui cara yang kedua, yakni survei. Lewat survei, kita hanya perlu mengamati sebagian─ kecil ─anggota populasi untuk memperoleh gambaran mengenai parameter populasi yang ingin diketahui. Sebagian kecil anggota populasi yang diamati ini disebut sampel, yang karakteristiknya dapat mewakili parameter populasi.

Gambaran mengenai parameter populasi yang diperoleh berdasarkan karakteristik sampel pada prinsipnya hanyalah estimasi atau perkiraan. Dengan lain perkataan, dipastikan tidak akan sama persis dengan nilai parameter yang ingin diketahui, maksimal mendekati.

Penting untuk diperhatikan, gambaran mengenai populasi yang diperoleh, baik itu melalui sensus maupun survei, pada dasarnya, adalah kondisi pada saat sensus atau survei dilakukan. Setelah sensus atau survei hasilnya kemungkinan besar bisa berubah. Seberapa besar perubahannya? Hal ini tergantung pada jeda waktu (lag) antara saat hasil survei/sensus dirilis dan waktu pelaksanaan survei/sensus, serta karakteristik yang dipotret, persepsi dan preferensi, misalnya, sangat cepat dan mudah berubah.

Agar gambaran yang diperoleh mengenai─parameter─populasi betul-betul akurat, pemilihan sampel harus mengikuti kaidah atau metodologi tertentu. Tidak asal pilih. Secara garis besar, sampel dapat dikatakan layak untuk merepresentasikan populasi jika didasarkan pada metode pencuplikan sampel berpeluang (probability sampling method). Dengan metode ini, ada jaminan bahwa setiap anggota populasi memiliki peluang untuk terpilih sebagai sampel. Dan, dari sinilah sejatinya hasil survei itu dinilai kevalidan atau keterandalannya dalam memetrot kondisi populasi yang ingin diketahui. Karena itu, siapa saja yang merilis hasil sebuah servei─lembaga atau perorangan─wajib menyertakan secara gamblang, jelas, dan terbuka penjelasan mengenai metodologi yang digunakan. Tanpa penjelasan mengenai hal itu, hasil sebuah survei tidak ada bedanya dengan info atau gosip semata yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keakuratannya.

Penggunaan metode penarikan sampel berpeluang, mengharuskan ketersedian sebuah kerangka sampel (sample frame) yang betul-betul lengkap untuk menjamin keterwakilan semua anggota populasi. Kerangka sampel merupakan daftar semua anggota populasi yang akan dijadikan dasar penarikan sampel. Dalam kasus di mana unit populasi sangat besar, keharusan untuk menyediakan frame yang betul-betul lengkap dapat disiasati dengan melakukan pencuplikan sampel secara bertahap (multistage sampling)─biasanya dua tahap. Dengan desain pencuplikan sampel secara bertahap, ketersedian frame yang betul-betul lengkap hanya perlu dipenuhi pada penarikan sampel tahap akhir.

Terkait survei penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan saat ini (baik, buruk, atau biasa-biasa saja), misalnya, semua yang disebut ‘publik’ adalah populasinya─bisa dibayangkan betapa besar jumlahnya (ratusan juta penduduk Indonesia), dan proporsi/persentase publik yang menilai kinerja pemerintahan saat ini baik, buruk, atau biasa-biasa saja adalah parameter yang ingin diketahui/estimasi. Dalam kasus ini, metodologi dan desain sampel yang digunakan harus betul-betul mengahasilkan sampel yang karakteristiknya bisa merepresentasikan semua yang disebut publik (rakyat Indonesia), sesuatu yang tentu tidak mudah. Defenisi mengenai publik dan batasan-batasannya juga harus jelas, begitupula dengan referensi waktunya. Ketersidaan frame yang lengkap, yakni daftar identitas mereka yang akan dijadikan dasar penarikan sampel, juga sebuah keharusan.

Harus skeptis

Sayang nya, publik acapkali tidak terlalu memerhatikan hal-hal di atas, atau juga mungkin tak tahu. Padahal, hasil sebuah survei─terutama yang dipublish di media, walaupun bisa saja didasarkan pada metodologi yang goyang (shaky method)─memiliki magnitude yang sangat kuat dalam mengarahkan dan memengaruhi opini publik.

Singkat kata, diperlukan sikap skeptis dari masyarakat terhadap hasil suatu survei. Kita tidak boleh langsung percaya dan menelan bulat-bulat hasil yang disuguhkan. Harus ada sikap kritis terhadap kevalidan dan keterandalan metodologi survei yang digunakan. Saya pribadi, sebagai seorang statistisi, tidak gampang percaya begitu saja dengan berbagai hasil survei yang dipublish di media selama ini, kecuali setelah benar-benar yakin dengan kevalidan dan keterandalan metodologi yang digunakan. Bagaimana dengan Anda?(*)

Salam Statistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun