Mohon tunggu...
siregar akhmad junaedi
siregar akhmad junaedi Mohon Tunggu... -

Suka mencari keindahan di sela-sela alam tropis. Baginya keindahan itu terpaut di alam liar, termasuk di kutil-kutil katak licin, hingga di antara gigi solenoglipha ular viper. Dia senang mengajak hunting foto, dan rupanya banyak yang menghindar karena takut pantatnya dientup, mau....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Katak Pohon Mulai Dikenal di Sumatera

3 Maret 2010   16:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Amfibi mulai dilirik di Pulau Sumatera. Sebagai satwa yang hidup di dua alam, awalnya amfibi memiliki reputasi yang cukup buruk di masyarakat awam. Secara umum, amfibi dinilai terkesampingkan dari dunia penelitian maupun khalayak ramai. Memang jenis-jenis amfibi di Indonesia hanya terdiri dari dua bangsa (ordo) yang kedua-duanya dinilai satwa yang menjijikkan terutama dari bangsa Anura (katak dan kodok) dan bangsa Gymnophiona (katak tidak berkaki).

[caption id="attachment_85600" align="alignleft" width="214" caption="Incai (Mahasiswa USU) sedang memotret katak pohon, foto oleh Juned"][/caption]

Katak pohon (Rhacophoridae) merupakan katak yang paling eksotis dari enam suku katak yang ada di Pulau Sumatera. Secara berurutan suku lainnya yang hidup di pulau besar terbarat di Indonesia ini yakni Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae, Microhylidae dan Ranidae. Keenam suku tersebut mempunyai ciri khas perbedaan signifikan yang memisahkan suku ini secara taksonomi. Rhacophoridae umumnya hidup arboreal (hidup di tegakan hutan) menuntut katak ini menjadi satwa yang bermorfometri khas, yakni berpostur tubuh agak gepeng dan mempunyai bantalan penempel di setiap ujung jari katak.

Pulau Sumatera diketahui memiliki lima marga katak pohon yaitu Nyctixalus, Philautus, Polypedates, Rhacophorus dan Theloderma. Jumlahjenis-jenis dari setiap marga masih labil, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan untuk merampungkan kemungkinan penambahan jenis-jenis dari katak.

Pulau Sumatera merupakan pulau “akomodasi” eksklusif bagi katak-katak pohon Sumatera. Hutan-hutan lindung Sumatera berupa Hutan Register, Taman Nasional, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa dan Taman Buru merupakan luasan hutan tropis sebagai habitat tersisa di Pulau Sumatera, khususnya amfibi.

Berbagai penelitian amfibi telah dan sudah dilakukan dari berbagai intansi. Katak pohon semakin familiar bagi para peneliti yang di antaranya adalah mahasiswa Strata I dari berbagai Universitas di Sumatera maupun di luar Sumatera, maupun peneliti senior amfibi, LSM maupun dinas terkait dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) masing-masing propinsi sebagai otoritas konservasi.

Hal nyata adalah munculnya beberapa komunitas pecinta katak pohon. Di Universitas Sumatera Utara, Medan sebagai universitas terbesar di pulau ini, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Dept Biologi FMIPA USU telah melakukan puluhan ekspedisi untuk melakukan herpetofauna, yakni kegiatan inventarisasi dan monitoring amfibi yang di antaranya katak pohon. Selain itu, dalam universitas yang sama berjamur juga kelompok fotografi yang objek utamanya termasuk katak pohon. Fotografer ini ternyata bukan hanya sekedar mengambil fotogenik atraksi katak pohon, tetapi sekaligus belajar taksonomi katak pohon. Studi klasifikasi katak sangat menstimulasi tantangan karena perjumpaan langsung di alam tergolong langka. “Saya akan lupa waktu jika menjepret Nyctixalus pictus, selain langka, katak merah bertotol putih di setiap badannya itu adalah katak paling indah di dunia yang pernah kulihat”, seru Chairunas, salah satu anggota Bengkel Fotografi Sains Dept Biologi FMIPA USU dalam satu ekspedisi.

Dewasa ini, isu konservasi katak meningkat semenjak dicetuskannya Year of Frog tahun 2008. Penetapan “Tahun Katak” merupakan bentuk nyata kekhawatiran dunia akan keberadaan amfibi dari penilaian para herpetolog (ilmuan amfibi dan reptil) dunia mengalami kemunduran nyata. Pengrusakan habitat dan global warming disebut sebagai faktor besar kemunduran populasi katak di alam bebas. Katak adalah vertebrata darat yang paling sensitif dengan perubahan lingkungan. Katak pohon menjadi korban utama jika hutan terus dibabat para illegal logger. Saat ini, katak pohon sudah mulai dikenal. Diharapkan katak pohon yang lainnya yang belum teridentifikasi para ilmuan yang masih hidup liar di hutan tropis Sumatera juga akan dikenal sebelum terlebih dahulu punah seperti anggapan banyak para ahli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun