[caption id="attachment_192122" align="alignleft" width="300" caption="Penerbit besar biasanya menghargai penulisnya."][/caption]
Penerbit adalah sebuah badan atau lembaga yang memproduksi dan atau mengedarkan sebuah produk cetakan. Oleh karena itu, penerbit termasuk sebuah perusahaan yang berorientasi kepada pemerolehan keuntungan. Penerbit memeroleh keuntungan dari selisih biaya produksi, distribusi, dan pembayaran royalty kepada penerbit. Karena memiliki tanggung jawab pembayaran yang tinggi, banyak penerbit pun berulah. Penerbit-penerbit itu mengakali para penulis agar kewajiban pembayaran royalty dapat digugurkan. Maka, saya menyebutnya sebagai penerbit nakal.
Kebetulan saya pun pernah mengalami peristiwa itu. Sekitar akhir 2010, saya pernah dihubungi penerbit yang lumayan terkenal. Penerbit itu memintaku agar menulis sebuah naskah yang akan digunakan sebagai buku proyek. Karena terbius oleh keterkenalan penerbit tersebut, saya pun mengiyakannya dan tidak berpikir panjang. Selama sekitar seminggu, saya menulis dan berusaha menyelesaikan naskah tersebut. Akhirnya, naskah pun terlesaikan.
Selanjutnya, saya mengirimkan naskah tersebut dalam bentuk email.Tentunya saya menuliskan beberapa catatan yang harus diperhatikan penerbit. Tak lama kemudian, saya mendapatkan balasan bahwa naskah tersebut sudah diterima. Tentunya saya gembira sekali mendapat kabar tersebut. Terbayang saya akan mendapatkan royalty secara cepat karena buku itu akan menjadi buku proyek. Namun, saya harus menanggung kekecewaan yang teramat sangat. Hingga kini, saya belum pernah mendapatkan hakku sebagai penulis meskipun saya sering menanyakannya. Oleh penerbit, saya hanya diberikan jawaban, “Bukunya belum diterbitkan, Pak.”
Menurutku, jawaban itu teramat terkesan dibuat-buat. Bukankah dahulu penerbit itu sudah memberitahukan bahwa buku itu akan disertakan proyek? Akhirnya saya berusaha menjadi penulis yang mengikhlaskan sebuah naskah buku. Ada tiga pelajaran yang teramat berharga bagiku. Pertama, saya tidak meminta bukti asli penerimaan naskah. Itu adalah kebodohan pertamaku. Seharusnya saya meminta bukti penerimaan naskah secara hitam-putih. Kebodohanku muncul karena saya terlalu percaya kepada penerbit tersebut.
Kedua, saya mengirim naskah dalam bentuk softcopy. Seharusnya saya mengirimkan naskah itu dalam bentuk hardcopy agar tidak dibohongi. Karena penerbit itu berada nun jauh di “sana”, saya berusaha berlaku efisien. Namun, justru saya sangat dirugikan karena kesalahan yang saya perbuat tersebut. Memang saya tidak memerhitungkan akibat buruk karena terlalu percaya.
Ketiga, saya belum mengetahui alamat penerbit secara jelas. Saya hanya mengenal penerbit itu berdasarkan informasi dari buku-buku yang pernah diterbitkan. Jadi, saya belum pernah berkunjung ke penerbit tersebut. Mestinya saya bertanya kepada penulis senior yang pernah bekerja sama dengan penerbit itu. Namun, agaknya saya berlaku teledor. Sulit bagiku untuk melacak alamat penerbit dan melakukan complain atas kebohongan yang dilakukannya kepadaku.
Berdasarkan pengalaman pribadiku di atas, tentunya saya berharap agar para sahabat tidak mengalaminya. Oleh karena itu, saya dapat memberikan deskripsi singkat tentang cirri-ciri penerbit nakal. Pertama, penerbit itu tidak memberikan penjelasan secara detail tentang hak dan kewajiban kedua pihak. Karena akan terjalin kerja sama antara dua pihak, mestinya kedua pihak mengadakan perjanjian hitam di atas putih. Perjanjian itu memiliki kekuatan hokum yang sama dan mengandung hak serta kewajiban kedua pihak. Namun, banyak penerbit enggan memberikannya kepada penulis. Sering penerbit nakal itu berkata, “Apakah Anda tidak percaya kepada kami?”
Kedua, penerbit itu tidak memberikan laporan secara detail tentang pencetakan dan penjualan buku. Jika penulis dan penerbit bekerja sama dengan perjanjian royalty penuh, mestinya penerbit memberikan laporan kepada penulis secara detail. Berapakah buku dicetak? Berapakah buku terjual? Berapakah buku digudangkan? Dan berapakah buku digunakan sebagai promosi/ iklan? Sering penerbit nakal itu berkata, “Wah, penjualannya seret, Pak. Untunglah kami masih bisa memberikan “sedikit” royalty kepada Bapak?”
Ketiga, penerbit tidak melayani penulis dengan baik. Secara berkala, penulis kadang memerlukan bantuan penerbit. Mungkin penulis memerlukan buku-buku yang pernah diterbitkan. Lalu, penulis memerlukan surat keterangan dan beragam produk yang pernah diterbitkan. Namun, penerbit enggan membantu penulis, terlebih penulis itu berhubungan secara on line atau via telepon. Mestinya penerbit itu melayani penulis dengan baik jika penulis memang memerlukan bantuan penerbit. Bahkan, penerbit nakal itu justru berkata, “Wah, kami sedang repot. Silakan Bapak datang ke kantor jika memerlukan bantuan kami.”
Atas pengalaman demi pengalaman yang pernah saya alami, hendaknya kita berhati-hati jika ingin bekerja sama dengan penerbit. Jangan sampai Anda sudah bekerja dan menyerahkan naskah, tetapi penerbit itu tidak memberikan hak-hak penulis. Kedua pihak (penerbit dan penulis) mestinya bekerja sama dan saling menguntungkan. Penerbit itu dapat menjadi perusahaan besar karena bantuan penulisnya. Maka, biasanya penerbit besar merupakan cermin kebesaran penghargaan yang diberikan kepada penulisnya. Jadi, berhati-hatilah jika Anda diajak penerbit yang belum terkenal. Selamat menulis…!!!
Teriring salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H