Gender dapat diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai, pekerjaan (role) dan perilaku. Secara umum, gender digunakan sebagai indentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi dari segi anatomi biologis jenis kelamin semata.
Berdasarkan uraian di atas maka konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan. Misalkan, sifat kelemah-lembutan yang dimiliki oleh perempuan ternyata juga sering didapati ada pada laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian maka relasi gender sebagai akibat dari keberadaan gender tidak sama di setiap tempat, daerah, karena erat kaitannya dengan berbagai faktor, seperti faktor ekologi, budaya dan termasuk juga agama.
Seringkali terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang sangat merugikan, khususnya dialami oleh perempuan. Ketidakadilan ini mengakibatkan retaknya keharmonisan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Oleh kerena itu muncullah suatu reaksi yang diikuti tindakan struktural untuk menyusun kembali pola hubungan laki-laki dan perempuan agar mencapai keseimbangan, kesamaan status dan peran sosial guna menghilangkan ketimpangan gender di dalam masyarakat. Reaksi inilah yang sering dikenal dengan sebutan feminisme. Pandangan feminisme terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, sebagai berikut:
1.Feminisme Liberal
Dasar filosifis kelompok ini adalah liberalisme, yaitu bahwa semua manusia diciptakan sama, serasi dan seimbang. Baik laki-laki atau perempuan memiliki hak-hak yang sama, maka sudah seharus tidak ada penindasan antara satu sama lain.
Perempuan sudah semestinya mendapatkan peran diwilayah publik, baik sektor ekonomi, politik dan termasuk sektor militer. Maka tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih mendominiasi, karena organ reproduksi yang dimiliki perempuan bukan merupakan penghalang terhadap pembatasan peran perempuan.
2.Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berupaya menghapus struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Mereka berpendapat bahwa posisi inferior perempuan berkaitan erat dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut mengakibatkan hubungan antar suami dan istri seperti hubungan antara borjuis dan proletar. Sebagai solusi untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, maka perlu menghapus dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik. Hingga pada akhirnya terbentuknya suasana kolektif antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan publik dan domestik.
3.Feminisme Radikal
Aliran ini berpendapat bahwa terjadinya perbedaan gender yang merugikan perempuan bukan dikarenakan struktur social dan budaya, malainkan karena unsur biologisnya. Mereka lebih mengarahkan gerakannya dalam realitas seksual, bukan hanya berusaha menghapus hak-hak laki-laki, namun juga menghapus perbedaan seksual. Kelompok ini lebih radikal dari pada yang lain karena menuntuk persamaan dengan laki-laki dalam segala hal.
a.Relasi Gender Suami Istri dalam Keluarga
Keluarga terdiri dari dua kata, yaitu kula yang artinya abdi, hamba yang mengabdi untuk kepentingan bersama; dan warga yang artinya anggota, yang berhak ikut berbicara dan bertindak. Maka 'keluarga' mempunyai artian mengabdi, bertindak dan bertanggung jawab kepada kepentingan umum. Dari definisi itu bisa disimpulkan bahwa keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang berfungi untuk menciptakan rasa tentram, aman, damai dan sejahtera dalam kasih sayang antara satu sama yang lainnya.
Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluar yang terdiri dari suami dan istri, atau dengan adanya anak, memiliki peranan penting sebagai berikut:
1.Memberi perlindungan bagi anggotanya, baik ketentraman maupun ketertiban dalam wadah keluarga tersebut.
2.Memberi kebutuhan social-ekonomi secara materiil.
3.Menumbuhkan dasar-dasar kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4.Sebagai wadah sosialisasi awal untuk memahami nilai yang berlaku dimasyarakat.
Menambahkan dari yang di atas, keluarga sebagai sebuah institusi minimal harus memiliki enam fungsi, yaitu fungsi religius, fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi edukatif, fungsi protektif, fungsi rekreatif.
Adapun yang dimaksud dengan relasi mempunyai arti hubungan, pertalian dengan orang lain. Maka relasi gender bisa diartikan hubungan kemanusiaan (sosial) yang didasarkan pada pertimbangan aspek kesadaran gender. Menurut Nasaruddin Umar, relasi gender merupakan konsep dan realitas pembagiaan kerja social antara laki-laki dan perempuan yang tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normative serta terkategori biologis, melainkan kwalitas, skill, dan peran berdasarkan konvensi-konvensi social. Relasi gender dalam kajian ini dibatasi hanya pada relasi gender antara suami dan istri dalam rumah tanggal.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa merealisasikan relasi yang baik antara suami istri dalam sebuah rumah tangga memerlukan prinsip utama yaitu al-mu'asyarah bil ma'ruf, yang berdiri diatas landasan sikap saling memahami, saling mengenal, saling tanggung jawab dan bekerja sama, serta kesetiaan dan keluhuran cinta. Ada pula yang menambahkan harus ada penanaman nilai ketauhidan, saling menasehati, memperbanyak doa dan mengharap keberkahan dalam keluarga.
Konsep al-mu'asyarah bil ma'ruf tidak mudah untuk direalisasikan, terkait akan banyak faktor. Setiap manusia yang memilik keterbatasan satu sama lain, tingkatan yang berbeda-beda, maka wajar dalam hal-hal tertentu sering kali laki-laki diunggulkan dalam hubungan keluarga, sedangkan perempuan dalam kondisi sebaliknya. Menyikapi hal ini, ada beberapa teori berkaitan pembagian peran antara suami dan istri:
1.Fungsionalisme, perlu adanya pembagian peran fungsi antara laki-laki dan perempuan. Suami sebagai provider, perannya dilakukan diwilayah publik. Sedangkan peran istri adalah housekeeper, berada dalam wilayah domestik. Dipelopori oleh tokoh Talcott Parsons.
2.Feminisme, menuntut kesamaan hak secara total. Tidak perlu ada pembagian tugas dalam membangun rumah tangga. Dengan demikian tidak ada lagi peran yang lebih dominan dalam rumah tangga.
3.Teori crossed over yang diprakarsai oleh Janet Zollonger Giele. Menyepakati adanya pembagian tugas pokok, namun boleh bagi perempuan melakukan pekerjaan sebagaimana suami, dengan mengindahkan beberapa aspek, (1) atas izin suami, (2) menyesuaikan dengan kodrat yang dimiliki oleh perempuan dan (3) tanpa meninggalkan tanggung jawabnya dalam sekup rumah tanggal dan pengasuhan anak.
Di dalam al-Quran ada beberapa ayat yang menunjukkan peran yang sama perempuan dengan laki-laki sektor publik, sebagaimana perempuan juga berperan dalam sektor domestik. Kisah dua putri Nabi Syu'aib dan Musa AS (Q.S. Al-Qashash: 23), perempuan juga memainkan perannya dalam mewujudkan al amru bil ma'ruf wan nahyu 'anil munkar yang tidak hanya sebatas pada keluarga namun juga bermasyarakat (Q.S. An-Nahl: 97).
b.Konsep Keluarga Sakinah dalam Islam
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna ketenangan dan ketentraman. Di dalam al-Quran kata sakinah disebutkan sebanyak enam kali, yaitu Surat Al-Baqarah: 248, Surat At-Taubah: 26 dan 40, Surat Al-Fath: 4, 18 dan 26. Dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa sakinah itu pemberian Allah SWT. ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi ujian hidup. Maka bisa diartikan bahwa sakinah adalah suatuketenangan dan kepuasan hati.
Berdasarkan uraian di atas maka yang keluarga sakinah diperuntukkan bagi keluarga yang tenang, tentram, bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Suatu keluarga yang dibina atas dasar perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayat, dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
Islam mengajurkan pemeluknya untuk membentuk sorga dunianya berupa keluarga sakinah sebagaimana tercantum dalam Q.S. Ar-Rum: 21. Hal ini dikarenakan beberapa alasan diantaranya:
1.Adanya kewajiban menjaga diri dan keluarga dari neraka (Q.S. At-Tahrim: 6).
2.Tempat mendapatkan perlindungan, pendidikan dan pengakuan sosial.
3.Mayoritas manusia mengabiskan waktunya dalam keluarga.
4.Pondasi awal dalam membangun masyarakat Islami.
Maka tidak heran kalau agama Islam memberikan perhatian besar terhadap keluarga, sebagaimana sabda Rasulullah mengungkapkan "Bayti Jannati".
Menurut Khoiruddin Bashori menambahkan, ada beberapa ciri yang menjadikan keluarga sehat, harus memiliki beberapa hal diantaranya adalah:
1.Kekuasaan dan hubungan intim yang seimbang (power and intimacy).
2.Kejujuran dan kebebasan berpendapat (honesty and freedom of expression).
3.Kegembiraan dan humor hadir dalam keluarga (warmth, joy and humor).
4.Keterampilan organisasi dan negosiasi (organization and negotiating skill).
Al-Qur'an empat belas abad yang lalu telah memberi rumusan prinsip-prinsip dasar dalam keluarga, terletak pada Surat An-Nisa': 19, yaitu mu'asyarah bil al-ma'ruf atau berinteraksi dengan baik. Realisasinya adalah dengan menciptakan hubungan resiprokal atau timbal balik antara suami istri. Keduanya harus saling mendukung, saling memahami, dan saling melengkapi. Disamping itu juga harus memaksimalkan peran dan fungsi masing-masing dalam berkeluarga. Tidak luput pula bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban harus berdasarkan pada prinsip kesamaan, keseimbangan dan keadilan, dengan demikian habungan suami istri diletakkan atas dasar kesejajaran dan kebersamaan tanpa harus ada pemaksaan atau tindakan kekerasan dalam keluarga.
Dengan demikian, konsep hubungan suami istri dalam keluarga Islami bertumpu pada kemitrasejajaran atau hubungan yang setara dalam memainkan peran masing-masing, sebagaimana hal ini ditekankan dalam Qs. Al Baqarah: 187 dijelaskan bahwa istri adalah pakaian bagi suaminya, dan suami adalah pakaian bagi istrinya.
Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 17
Ibid., hlm. 65
Aisyah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu, 1969, hlm. 32.
Sri Mulyani, Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004, hlm. 39.
Soeerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm. 22
Nur Chozin Ar Rusyidhi, Rahasia Keluarga Sakinah, Yogyakarta:Sabda Media, 2008, 2008, hlm. 16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 943.
Nasaruddin Umar, Argumentasi… hlm. xx
Fathi Muhammad Ath Thahir, Beginilah Seharusnya Suami Istri Saling Mencintai, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006, hlm. 227.