[caption id="attachment_151013" align="alignleft" width="294" caption=""...Mengapa kau berjanji palsu? Seperti tukang sepatu, janji minggu jadi rabu ... " -- Harry Roesli: 1951-2004 (sumber:i203.photobucket.com)"] [/caption] NAMA LENGKAPNYA Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli. Kita lebih mengenalnya sebagai Harry Roesli—lengkap dengan penampilannya yang khas: berkumis, bercambang, berjanggut, berambut gondrong, dan yang penting selalu berpakaian serba hitam—[bisa jadi] sebagai simbol berduka atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Harry Roesli termasuk salah seorang musisi besar yang pernah dimiliki negeri ini [meninggal di Jakarta, 11 Desember 2004 lalu]. Ia telah melahirkan karya-karya seni bermutu tinggi—apalagi dia memang doktor luar negeri dibidangnya—dan selalu berisikan kritik sosial. Salah satu album fenomenal Harry Roesli adalah Rock Opera Ken Arok. Album ini dibuat tahun 1979(?). Saya sendiri baru mendengar lagu ini belakangan,—ketika dia sudah meninggal—didapat dari hasil googling di ranah maya. Dari sembilan(?) lagu yang ada di album itu, saya dapatkan 4 lagu: Ken Arok 1 sampai 4. Rock Opera Ken Arok lirik-liriknya menceritakan tentang kudeta militer berdarah yang dilakukan oleh Ken Arok terhadap Tunggul Ametung—Akuwu Tumapel. Tentu saja versinya Harry Roesli. Versi lain—disamping yang jamak dipahami selama ini—penggulingan kekuasaan ini (boleh baca: revolusi) ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarahnya Arok Dedes. Menurut Pram, penggulingan gaya Ken Arok ini juga dilakukan oleh Soeharto kepada Soekarno: —meminjam Iwan Fals—tikam dari belakang, lawan lengah ditendang, lalu sibuk mencari kambing hitam. Bagaimana peristiwa sejarah—yang sudah melegenda—Ken Arok kalau dinyanyikan oleh Harry Roesli? Menjadi lucu. Jauh dari kesan sakral tanpa pakem-pakem—kan ini kisah tentang sisilah raja-raja Jawa? Sarat humor. Juga penuh kritik sosial. Dalam Ken Arok II misalnya—dan yang paling menarik menurut saya: ketika Ken Arok meminta keris pesanannya pada Empu Gandring. Apa yang terjadi? Terjadi dialog sengit antara Ken Arok dan Empu Gandring. [caption id="attachment_151016" align="alignright" width="242" caption="Sampul kaset Rock Opera Ken Arok-nya Harry Roesli: penuh kritik sosial (sumber:gudangkasetlawas.blogspot.com)"][/caption] “Hei Empu Gandring, manakah kerisku yang telah kupesan dulu?” “Hai Ken Arok, anakku yang sakti, kerismu belum selesai” “Mengapa kau berjanji palsu, seperti tukang sepatu, janji minggu jadi rabu” “Hei jangan marah, dengarkan alasanku, tapi kita dansa dulu” “Apa alasanmu? Memang kau penipu. Menurut sejarah kerisku sudah selesai.” “Oh ya aku lupa itu ceritanya” “Kau tak berhak merubah sejarah, nanti dimarahi guru sekolah. Jadi aku harus bunuh kau sekarang!” “Ya...ya...ya..., asalkan pelan-pelan. Jangan sampai aku sakit, sampai aku mati, betulan” “Jangan engkau takut. Ini pisau karet. Kemarin kubeli dari sarinah.” “Huak!” “Menurut sejarah, kau akan kukutuk 7 turunan. Tapi kini jaman memang sudah edan, kuterima sogokan. Jika kau mau, kukurangi kutukanku.” “Seribu rupiah, enam turunan. Dua ribu rupiah, lima turunan. Tiga ribu rupiah, empat turunan. Empat ribu rupiah, tiga turunan. Lima ribu rupiah, dua turunan. Enam ribu rupiah, satu turunan” “Mana kortingnya?” “[oke] Nol turunan” “Ini baru lumayan, buat poya-poya kalau nanti di nirwana” “Bagaimana kalau kita jabat tangan untuk kontrak ini?” “Sebentar ne. Tambah enam ratus buat pajak pendapatan” “Aku mati” Dari episode ini saja Harry Rosli sudah menyindir berbagai macam hal yang terjadi di masyarakat. Soal suap-menyuap. Bahkan kalau bisa kutukan pun bisa dirubah kalau ada uangnya, apalagi cuma merubah hukuman dari “mati” menjadi “kurungan enam bulan”. Juga sifat ingkar janji yang sering terjadi: janji kampanye yang tak terpenuhi, yang kata Harry Roesli macam tukang sepatu: janji hari minggu jadi rabu. Walaupun lagu itu dibuat lebih dari 20 tahun yang lalu—dan Harry sudah tiada, tapi kritiknya masih relevan. Bagaimana kasus Gayus pegawai pajak yang dalam waktu sekejap kaya raya. Bagaimana Soesno. Atau kasus suap cetak uang lebih 10 tahun lalu—yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Dan siapa lagi? Yang kasusnya penuh dengan praktik-praktik suap-menyuap. Saya pikir begitulah seharusnya seniman. Seperti Harry Roesli alm. Selalu beroposisi dengan kekuasaan: tidak malah menjadi seniman corong kekuasaan. Tak bisa diam melihat kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Posisi yang sama juga mestinya diambil oleh intelektual, tak semestinya membebek dan menopang kekuasaan. Edward W. Said—seorang intelektual kelahiran palestina—pernah bilang: kekuasaan itu benar saja harus kita curigai, apalagi kalau menyimpang Harry Roesli Melawan dengan cara yang ia bisa—bernyanyi. Walaupun kekuatannya tak ada, tapi kritik-kritik itu bisa [turut] merobohkan [kekuasaan yang korup]—lagu adalah pemberontakannya. Melawan sebagai—mengutip Harry Roesli—nyamuk malaria: kecil namun mematikan. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H