Mendengar nama Van Der Wijk, benak kita biasanya tertuju pada kisah fiksi dalam novel terkenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Buya Hamka. Namun di  Kabupaten Lamongan – Jawa Timur, Kisah tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itu bukanlah fiksi karena memang benar-benar terjadi.
Ini terlihat dari adanya monumen di daerah kecamatan Brondong  - Lamongan.
Monumen itu dibangun oleh pihak Belanda untuk mengenang kisah tenggelamnya kapal itu di perairan Lamongan pada tahun…
Monumen itu juga untuk mengucapkan terima kasih dari pihak Negara Belanda kepada warga Lamongan yang pada saat musibah itu terjadi  telah memberikan bantuan dalam berbagai bentuk dan usaha.
Kapal Van Der Wijk adalah kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang saat ini merupakan cikal bakal Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) . Pada saat itu kapal itu melayani route pelayaran di kawasan perairan di Hindia Belanda .
Kapal Van der Wijk dibuat oleh Maatschappij Fijenoord, Rotterdam pada tahun 1921 dengan berat tonase 2.596 ton dan lebar kapal 13,5 meter. Kapal ini mendapat nama panggilan "de meeuw" atau "The Seagull", karena sosok dan penampilan kapal ini yang tampak sangat anggun dan tenang.
Saat pelayarannya yang terakhir, kapal Van der Wijk berangkat dari Bali ke Semarang dengan singgah terlebih dahulu di Surabaya.
Kapal  Van Der Wijk pada hari selasa tanggal 20 Oktober 1936 tenggelam ketika berlayar di perairan Lamongan, tepatnya 12 mil dari pantai Brondong.
Jumlah penumpang pada saat itu adalah 187 warga Pribumi dan 39 warga Eropa. Sedangkan jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK dari pribumi.
Menurut Wikipedia , musibah tenggelamnya kapal ini mengakibatkan 4 korban meninggal dunia dan 49 orang hilang ditelan ombak laut.Sedangkan menurut Theshiplist.com mengabarkan ada korban 58 orang yang meninggal. Koran De Telegraaf, 22 Oktober 1936, menulis 42 orang korban yang hilang.
Jumlah yang tidak pasti ini dikarenakan jumlah penumpang kapal tidak sesuai dengan manifest. Ada banyak kuli angkut pribumi yang tidak tercatat, kemungkinan merekalah yang banyak hilang.
Van Der Wijk itu sendiri adalah nama seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diangkat Ratu Emma van Waldeck-Pymont pada tanggal 15 Juni 1893. Ia mulai memerintah tahun 17 Oktober 1893 sampai 3 Oktober 1899. Nama panjangnya adalah Carel Herman Aart van der Wijk. Monumen Van Der Wijk ini berada di halaman kantor Perum Prasana Perikanan Samudra Cabang Brondong, yang berada di belakang gapura menuju Pelabuhan dan Tempat PeIelangan Ikan - Brondong.
Monumen itu berbentuk seperti pos pemantau kawasan pantai. Tinggginya sekitar 15 meter dengan dominasi warna biru dan kuning. Pada beberapa bagiannya tampak warna catnya sudah mulai kusam dan terkelupas.
Di Monumen Van Der  Wijk itu terdapat dua prasasti yang berada di dinding barat dan timur monumen. Prasasti itu terbuat dari pelat besi dan bertuliskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pada prasasti yang berada di sebelah timur tertulis :
Sedangkan prasasti pada sebelah barat tertulis : Tanda Peringatan Kepada Penoeloeng-Penoeloeng Waktu Tenggelamnya Kapal " VAN DER WIJCK "  DDO 19-20- october 1936 . "
Lokasi Monumen Van Der Wijk sebenarnya terletak tak jauh dari Jalan raya baik yang menuju ke pelabuhan dan TPI Borondong atau jalan raya Pantai Utara Lamongan. Namun karena tak adanya papan nama atau petunjuk tentang monumen Van Der Wijk, banyak orang awam yang menganggap monumen itu sebagai bagian dari bangunan kantor.
Apalagi di sekitar lokasi monumen juga terdapat bangunan menara atau tower yang terbuat dari besi. Banyaknya kendaraan yang parkir di sekitar monumen  juga menjadikannya  seolah semakin tenggelam keberadaannya.
Monumen Van Der Wijk ini menjadi saksi bisu tentang kisah yang mengharu- biru dari musibah tenggelamnya Kapal Van Der Wijk di perairan Lamongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya