Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lakon Carangan Dalam Wayang Jawa

20 Oktober 2015   20:56 Diperbarui: 21 Oktober 2015   15:00 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kisah pewayangan yang ada di Jawa dikenal adanya lakon carangan. Lakon carangan ini menunjuk pada judul cerita, jalan cerita pewayangan atau alur cerita dan tokoh yang dimunculkan. Baik judul, alur cerita maupun tokoh yang diciptakannya, semuanya tetap menginduk atau merujuk pada lakon yang asli atau “babon” Mahabharata atau Ramayana.

Lakon carangan ini adalah hasil karya para pujangga dan ahli pewayangan di tanah Jawa. Dalam kurun waktu yang sangat panjang, terjadi penambahan dan perubahan akan tokoh pewayangan dengan disesuaikan terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Munculnya tokoh Drupadi misalnya, telah diubah menjadi isteri Yudistira. Padahal dalam kisah Mahabharata yang versi India, Drupadi atau Pancali ini adalah isteri dari kelima Pandawa. Poliandri diubah menjadi monogami. Cerita wayang atau lakon Dewa Ruci, misalnya, juga merupakan karya asli dari Jawa.

Tokoh pewayangan yang muncul dan benar-benar merupakan asli produk orang Jawa adalah tokoh“punakawan”, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Juga tokoh seperti Togog dan Mbilung. Selain itu ada Dewa Ruci, Raden Wisanggeni (anak Arjuna) dan Raden Antareja (anak Bima).

Ada hal yang menarik dari munculnya tokoh-tokoh pewayangan buatan para pujangga atau ahli wayang Jawa ini. Jika kita lihat dari segi kesaktiannya. Wayang Semar misalnya, adalah wayang yang digambarklan memiliki kesaktian yang melampaui kesaktian para dewa. Sri Kresna yang notabene adalah titisan Betara Wisnu yang bertugas menjaga ketentraman dunia pun memanggilnya dengan hormat, dengan menyebut nya “Kakang Semar”, padahal  kedudukan Semar adalah sebagai abdi dan pemomong para satria Pandawa.

Begitu pula dengan Wisanggeni yang dalam cerita pewayangan mampu mengobrak-abrik Kahyangan Jonggring Salaka dimana para Dewa tinggal. Tak ada satupun dewa –dewa disana yang mampu menghadapi kesaktian Wisanggeni. Demikian pula dengan Antareja yang memiliki kesaktian yang tak kalah hebatnya.

Namun demikian, para pujangga dan ahli pewayangan dari Jawa ini tetap menghormati cerita asli yang bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Semua tokoh yang termasuk dalam lakon carangan ini dimasukkan kedalam kotak (tidak dimunculkan) seperti para Punakawan atau dimatikan seperti Wisanggeni dan Antareja, sebelum terjadinya perang Bharatayuda. Inilah bentuk kearifan budaya yang terdapat dalam lakon carangan, namun sekaligus bentuk perlawanan budaya terhadap budaya pewayangan India yang sudah mengakar kuat di masyarakat Jawa.

 

podjok pawon, Oktober 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun