Pemerintahan baru akan terbentuk resmi pada 20 Oktober 2014 dan Presiden terpilih Joko "Jokowi" Widodo akan mulai menakhodai Republik kita ini. Adapun pelayanan kesehatan gratis yang berpihak pada rakyat kecil adalah salah satu jargon utama Jokowi selain pendidikan gratis. Harapan besar memang diletakkan pada pundak Jokowi untuk membawa perubahan dan tentunya kesejahteraan rakyat Indonesia. Sedikit muluk memang, tapi sudah terlanjur tertanam dalam benak rakyat kecil bahwa Jokowi akan membawa perubahan besar bagi mereka maupun bangsa kita ini.
Untuk menjalankan program-programnya di bidang kesehatan, Jokowi menghadapi banyak tantangan besar. Dua tantangan utamanya seperti yang terurai di bawah ini:
1. Polemik Pendidikan Kedokteran
Pendidikan kedokteran terutama kedokteran umum, beberapa tahun terakhir mengalami gonjang-ganjing. Setelah para lulusan fakultas kedokteran umum terombang-ambing dalam "perang" otoritas antara Dikti Kemendikbud, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dimana masing-masing menganggap mempunyai "tulah" untuk menentukan seseorang berhak menyandang predikat dokter atau tidak, dengan "berantem" mengadakan ujian kompetensi atau apapun istilahnya secara sendiri-sendiri.
Pada akhirnya, terhitung sejak tanggal 16 Juni 2014 mereka menandatangani nota kesepahaman untuk peraturan baru yang berlaku selama tiga tahun. Pada aturan baru ini, mahasiswa yang lulus uji kompetensi mendapatkan surat tanda lulus (STL) dari panitia nasional penyelenggara ujian. Kemudian calon dokter itu bisa dilakukan sumpah dokter dan diwisuda. Berikutnya juga berhak mendapatkan sertifikat profesi yang diterbikan oleh perguruan tinggi sekaligus sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) IDI. Panitia nasional akan membentuk tim penguji. Tim penguji ini terdiri dari beberapa unsur, seperti dari perguruan tinggi pelaksana program kedokteran dan dari IDI sedangkan standar operasional prosedur (SOP) pelaksanaan uji kompetensi ini akan disusun oleh IDI.
Calon dokter yang lulus uji kompetensi nasional itu, akan mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh kampus dan sertifikat profesi oleh IDI. Melalui sistem satu ujian ini, calon dokter tidak perlu melalui banyak persyaratan untuk menjadi dokter. Untuk biaya, peserta dari kampus negeri sudah tidak ditarik biaya lagi, karena sudah diambilkan dari SPP yang dibayar setiap semester sedangkan yang berasal dari kampus swasta akan diatur kemudian oleh tim pelaksana sertifikasi. Akan tetapi hal ini belum menyelesaikan masalah, karena masih ada ribuan calon dokter yang terkatung-katung karena pada ujian sebelumnya belum lulus ataupun mereka yang sudah lulus tetapi masih diberi predikat "lulus pada masa transisi".
Mereka yang belum lulus tentunya tercampur masalahnya antara kualitas lulusan dan berubah-ubahnya aturan tentang profesi kedokteran tersebut. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena telah ada tiga buah undang-undang yang berhubungan dengan profesi dokter ini, yaitu UU Praktik Kedokteran, UU Pendidikan Kedokteran dan UU Rumah Sakit. Keadaan ini sempat membuat kesal Menkes Nafsiah Mboi, sehingga sempat mencetuskan akan menutup fakultas kedokteran yang "abal-abal".
Tak ada jalan lain bagi Jokowi selain untuk mengeluarkan aturan yang tetap dan tidak berubah-ubah untuk sistem pendidikan kedokteran. Caranya, dengan membuat aturan yang detil dan menyatukan berbagai perbedaan yang ada dari tiga buah produk undang-undang di atas tadi, dapat berupa Kepres ataupun merevisinya, karena ternyata Permendikbud yang mengatur hal tersebut masih dapat dipertentangkan. Pertentangan yang ada yaitu aturan profesi dalam UU Pratek Kedokteran adalah bukan otoritas Kemendikbud tetapi kolegium pendidikan profesi yang berada di bawah IDI. Selain itu segera melakukan pembenahan terhadap sekitar 75 fakultas kedokteran (FK) di Indonesia, dimana 35 diantaranya masih berakreditasi "C". Jangan ragu-ragu untuk memberikan berbagai bantuan agar supaya FK yang bagus makin bagus, sebaliknya jangan juga ragu untuk menutup FK yang tidak memenuhi syarat dan sulit untuk maju.
2. Bisnis Kesehatan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis kesehatan di Indonesia sangat menggiurkan. Frost & Sullivan memprediksi belanja kesehatan di Indonesia dapat mencapai US$ 60.6 miliar di tahun 2018, tumbuh 14.9% CAGR selama periode 2012-2018. Adapun di Indonesia, hampir 67% saham kepemilikan rumah sakit swasta dimiliki oleh investor asing. Sektor swasta semakin memperkokoh keberadaannya, terutama di kota-kota besar. Sebagian besar pembangunan dan transaksi properti rumah sakit swasta terjadi di Jakarta diikuti oleh kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Manado, Makassar, Tangerang, dan Bali, yang mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan investasi dalam pasar penyedia jasa layanan kesehatan di provinsi-provinsi utama di Indonesia.
Pada tahun 2012, terdapat sekitar 544 rumah sakit swasta di Indonesia dan jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi 731 di tahun 2018. Nitin Dixit, Senior Industry Analyst, Healthcare, Frost & Sullivan, mengatakan bahwa langkah selanjutnya yang harus diambil adalah mewujudkan visi pemanfaatan teknologi guna mendorong peningkatan layanan kesehatan, dimana target implementasi dari sistem informasi kesehatan di tingkat provinsi mencapai 100% dan 60% untuk daerah pedesaan/perkotaan di tahun 2014. Pemanfaatan teknologi juga akan mendukung proses pemerataan layanan kesehatan di seluruh penjuru Nusantara, karena saat ini sebagian besar dokter spesialis hanya tersedia di kota-kota besar dan jarak yang harus ditempuh untuk menjangkau layanan tersebut cukup jauh. "Sebagai gambaran, meningkatnya penggunaan sistem telemedika untuk konsultasi melalui video dan diagnosis jarak jauh, serta penggunaan internet sebagai sarana konsultasi kesehatan dengan dokter lokal tanpa harus datang langsung ke klinik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan," kata Nitin. "Hal tersebut menunjukkan bahwa proses untuk mewujudkan sektor kesehatan yang berdasarkan pada informasi ("information-based") niscaya akan segera tercapai dan pada akhirnya akan mendorong proses modernisasi sektor kesehatan di Indonesia, " tandasnya.
Untuk meredam tingginya biaya kesehatan akibat semakin "ganasnya" aktivitas swasta di bidang kedokteran, tak ada jalan lain selain mengefektifkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik berupa perbaikan kinerja dan cakupan BPJS Kesehatan ataupun memadukan dengan program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Selain itu juga harus didorong untuk segera menghapus kebijakan pengenaan pajak barang mewah terhadap impor alat-alat kesehatan, dimana pajaknya dapat sampai minimal 30% bahkan lebih. Bersamaan dengan itu harus terus memacu berdirinya pabrik-pabrik yang memproduksi alat-alat kesehatan di dalam negeri.
Demikianlah paparan dua permasalahan utama yang menjadi biang kerok rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang malah diimbangi dengan biaya kesehatan yang makin tinggi, suatu paradoks yang kontradiktif. Semoga Jokowi dan para pengambil keputusan serta "para pemain" di bidang kesehatan dapat mengambil peran yang seimbang, dalam hal ini dengan tidak selalu mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Namun, akan merumuskan suatu pemecahan yang merata bagi seluruh daerah baik di kota sampai di pelosok tanah air, dengan semangat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
James Allan Rarung
Praktisi Kesehatan Indonesia dan Aktivis Dokter Indonesia Bersatu (DIB)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI