"Hambatan terbesar bagi umat saat ini adalah menghadapi arus berpikir sempit dan tidak terbuka kepada perkembangan. Jumud. Statis."
Bagi saya, ada banyak alasan untuk kita sependapat dengan pandangan Wapres Ma'ruf Amin. Dalam pidato daringnya beberapa hari yang lalu itu, Ia menegaskan, mengapa kita tak boleh terjebak dalam arus berpikir yang sempit.
Pola pikir seperti ini hampir genap kita jumpai sehari-hari. Dari kejadian-kejadian nyata, layar kaca, hingga sosial media. Dampaknya pun tak bisa lagi dianggap sepele. Dengan teknologi, pola pikir ini seperti virus yang menyebar lewat udara. Cepat menular kepada siapa saja yang gelap mata.
Percaya pada teori-teori konspirasi, berkata-kata kasar di sosial media, bersikap anti-kritik, keras kepala, tertutup, mengotak-kotakkan diri pada kelompok tertentu, hingga menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah hanya sedikit dari banyak hal yang terjadi di sekitar kita. Disadari atau tidak, mungkin kita juga termasuk di antaranya.Â
Celakanya, pola pikir sempit ini tak memandang usia, agama, dan siapa. Semua orang bisa terjebak, dari yang berpendidikan hingga yang tak sekolah. Punya jabatan hingga rakyat biasa.
Ternyata, kecerdasan saintifik saja tidak cukup. Dalam sebuah perbincangan singkat akhir pekan lalu, mentor saya, Rhenald Kasali, berkomentar mengenai bentuk-bentuk kecerdasan lain yang perlu dimiliki untuk dapat keluar dari jebakan-jebakan ini.
Tujuh Kecerdasan Baru
Pertama, kecerdasan teknologi. Mengetahui, memanfaatkan, dan mengikuti perkembangan teknologi adalah fundamental dari kecerdasan ini. Reskilling dan upskilling masih menjadi agenda utama. Namun, kini kecerdasan teknologi tak hanya menjadi kewajiban bagi yang muda-muda saja, melainkan juga bagi tiap orang di lintas generasi. Karena terjebak dalam pola pikir sempit tak lagi memandang usia. Yang terlambat adalah mereka yang tersesat.
Kedua, kecerdasan sosial dan emosional. Teknologi dengan cepat mampu mengubah kebiasaan kita dalam berinteraksi satu sama lain. Terutama kepada generasi yang sejak kecil sudah menggunakan gadget.Â
Mereka cenderung tak memiliki kecerdasan untuk merespon orang-orang di sekitarnya yang memiliki beragam perilaku. Empati hilang dari permukaan. Dan akan banyak friksi sosial kita ke depan yang hulunya adalah kealpaan kita pada kecerdasan sosial dan emosional
Ketiga, kecerdasan kontekstual. Intensitas kita menggunakan teknologi dapat memengaruhi cara pandang kita terhadap dunia sekitar. Semakin tinggi intensitasnya, seseorang akan semakin kehilangan konteks di mana Ia berada.Â