Jika tidak ada aral melintang, tidak lama lagi RUU (Rancangan Undang-Undang) Pilkada akan disahkan oleh DPR. Hal krusial dan perubahan fundamental dalam RUU ini adalah soal tata cara pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota). Hingga saat ini mayoritas fraksi di DPR mengisyaratkan keinginannya agar kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD dan bukan dipilih langsung oleh rakyat. Pertimbangannya adalah masalah biaya pemilukada langsung yang sangat besar dan rawan konflik meskipun untuk alasan yang kedua ini belum ada penelitian mendalam yang menyatakan bahwa potensi konflik karena pemilukada langsung lebih besar dari pada pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau belum ada penelitian yang menyatakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menghilangkan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat. Alasan lainnya adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilukada langsung cenderung koruptif karena biaya yang dikeluarkan pada saat kampanye begitu besar jumlahnya. Untuk alasan perilaku koruptif ini, kita percayakan kepada KPK untuk menindak kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Apalagi ada statemen dari wakil ketua KPK yang menyatakan bahwa dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD justru korupsi di daerah akan semakin menjamur.
Kalau kita mencermati perkembangan politik sebelum dan sesudah pemilu presiden, bahwa beberapa partai besar di DPR awalnya setuju kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat karena disamping lebih demokratis (melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat dalam proses pemerintahan) juga merupakan pembelajaran politik dan berdemokrasi untuk seluruh rakyat. Rakyat diajarkan bagaimana cara memilih pemimpinnya dan berbeda dalam pilihan tetapi tetap bersatu. Rakyat menjadi tahu siapa sosok calon pemimpin di daerahnya. Tapi setelah KPU dan MK menetapkan pemenang dalam pemilihan presiden, maka fraksi-fraksi di DPR tersebut seakan berubah haluan 180 derajat. Dengan koalisi permanen yang dibentuk (meskipun dalam pelaksanaannya, apalagi di tingkat daerah, tidak dapat dijamin koalisi tetap permanen), mereka berusaha menguasai kepala daerah setelah gagal di pemilihan presiden. Lantas apakah ini bukan merupakan kemunduran demokrasi? Harus ada parameter yang jelas dan terukur untuk menentukan apakah demokrasi dalam suatu negara itu menjadi mundur atau maju karena tata cara pemilihannya. Jika ukurannya adalah partisipasi rakyat, jelas merupakan suatu kemunduran demokrasi. Namun tentu ada argumentasi yang juga kuat dari kelompok pendorong pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Misalnya untuk apa demokratis kalau berakhir anarkis atau untuk apa demokratis kalau pada akhirnya kepala daerah korupsi, dan seterusnya.
Pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya menghasilkan fenomena yang menarik. Kecuali provinsi DKI Jakarta, gubernur yang menjadi kepala daerah di tingkat provinsi seakan-akan tidak memiliki kuasa dalam mengatur dan mengendalikan bupati dan walikota yang menjadi kepala daerah di tingkat bawahnya. Otonomi khusus di tingkat pemerintah kabupaten/kota memberikan wewenang yang luas kepada bupati dan walikota untuk mengambil keputusan strategis tanpa meminta pertimbangan dari gubernur. Hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota tidak lagi vertikal sebagai atasan dan bawahan tapi cenderung administratif. Dalam rapat-rapat di tingkat provinsi dimana gubernur mengundang bupati/walikota sangat sering dijumpai bahwa alih-alih mendatangi rapat bersama gubernur, bupati/walikota malah menunjuk sekda untuk menghadiri rapat. Kebijakan pemerintah pusat untuk dilakukan di daerah juga sulit diimplementasikan karena hubungan yang kurang harmonis antara gubernur dan bupati/walikota. Gubernur seakan tidak berdaya menghadapi situasi ini, sekali lagi kecuali gubernur DKI Jakarta.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada dan fenomena yang terjadi maka penulis mengusulkan beberapa opsi untuk pemilihan kepada daerah. Pertama, tetap seperti sekarang ini dimana gubernur dan bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat. Namun untuk mengurangi biaya maka pemilukada gubernur dan bupati/walikota dilakukan secara serentak atau memanfaatkan TI (Teknologi Informasi) misalnya dengan e-voting. Dengan demikian biaya pemilukada bisa dikurangi namun masalah keharmonisan hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota belum teratasi. Kedua, pemilihan gubernur dilakukan secara langsung oleh rakyat, namun pemilihan bupati/walikota dilakukan oleh DPRD. Opsi ini tentu bisa menghemat anggaran cukup signifikan namun menghilangkan kesempatan calon independen untuk menjadi bupati/walikota serta mereduksi hak politik rakyat dalam menentukan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Opsi ketiga adalah opsi kompromistis dimana gubernur dipilih langsung oleh rakyat sedangkan pemilihan bupati/walikota dilakukan oleh DPRD bersama-sama gubernur dengan asas proporsionalitas. Artinya, suara DPRD dan suara gubernur masing-masing diberikan bobot/porsi 50%. Dengan demikian seorang gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat juga memberikan kontribusi 50% atas terpilihnya seorang bupati/walikota sehingga diharapkan seorang bupati/walikota memiliki tanggung jawab, setidaknya secara moral, kepada seorang gubernur. Bagaimana halnya dengan calon independen (non partai)? Calon independen juga tidak dihalangi karena seorang gubernur dapat saja mengusulkan PNS pejabat eselon II atau tokoh masyarakat lainnya untuk dicalonkan sebagai calon bupati/walikota. Partisipasi rakyat memang dikurangi namun tidak dihilangkan sama sekali karena pemilihan langung oleh rakyat masih berlaku untuk pemilihan presiden dan pemilihan gubernur. Dengan solusi kompromistis ini diharapkan masalah-masalah yang terjadi saat ini (biaya mahal, kepala daerah korupsi, rawan konflik, kekurang harmonisan hubungan gubernur dengan bupati/walikota, dll.) dapat diatasi atau setidaknya dikurangi. Selain UU (Undang-Undang) juga diperlukan PP (Peraturan Pemerintah) dan Permen (Peraturan Menteri) yang mengatur secara jelas dan detail tentang tata cara pemilihan kepala daerah agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Sengketa pemilukada langsung yang sudah tidak ditangani lagi oleh MK bisa saja diambil alih oleh MA atau lembaga ad-hoc khusus menangani sengketa pemilihan gubernur (hanya 34 gubernur di Indonesia). Sedangkan sengketa pemilihan bupati/walikota diharapkan tidak terjadi lagi karena bupati/walikota tidak dipilih langsung oleh rakyat. Semoga saja pilihan-pilihan di atas dapat dipertimbangkan oleh anggota dewan terhormat kita di Senayan. Semua ini untuk kepentingan kemajuan bangsa dan keadilan seluruh rakyat Indonesia. Semoga (ins.saputra).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H