Mohon tunggu...
Jajang Suryana
Jajang Suryana Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis beragam tulisan. Saya gurunya guru. Saya juga suka yang bau-bau komputer. Saya juga penyuka wayang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikmati Sisi Lain Tampilan Wayang

30 Maret 2010   23:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sungguh, banyak karya seni yang disikapi dengan cara penikmatan yang kurang proporsional. Salah satu di antaranya adalah seni wayang. Selama ini, istilah wayang cenderung diartikan sebagai cerita wayang dan pertunjukan cerita wayang. Sementara itu, wayang sebagai bentuk boneka (berbahan kulit maupun kayu bulat torak) dan gambar, belum ditempatkan sebagai karya seni rupa yang memerlukan cara penikmatan khusus. Bahkan, keberadaannya tidak lebih hanya sebagai pelengkap pertunjukan semata.

Seorang juru wayang, pembuat wayang, keberadaannya tidak pernah ada yang dianggap sebagai seniman. Jika orang menyebut wayang, yang akan tampil menyandang nama besar itu hanya cerita wayang atau dalang wayang. Juru wayang hanya dikenal oleh para dalang. Belum pernah ada juru wayang yang muncul sebagai seniman, atau terkenal sekadar sebagai kriyawan. Begitupun karyanya yang mengandung banyak makna. Wayang, sebagai boneka pertunjukan, cenderung dilebur ke dalam cerita, hanya sebagai pelengkap cerita. Boneka wayang belum menjadi karya seni rupa mandiri yang dinikmati utuh sebagai karya. Padahal, bentuk, warna-warni, postur, asesoris, dan segala macam yang melangkapi keberadaan boneka wayang, memilik arti yang sangat dalam. Semuanya adalah buah pemikiran yang mendalam dari sejumlah pemikir, pendisain, ataupun perupa bentuk wayang, jauh sejak masa Nusantara Lama.

Menyikapi boneka wayang secara proporsional, akan melahirkan objek penikmatan baru yang memperkaya khasanah karya seni rupa. Tegas sekali secara fisik, boneka wayang adalah jenis karya seni patung, seni ukir, maupun seni hias. Apapun bentuk fisiknya, rautnya, boneka wayang adalah karya seni rupa mandiri yang memerlukan cara penikmatan khusus. Cara panikmatan itu melalui cara-kaji rautnya yang menggambarkan karakter tokoh tertentu, warna-warninya yang simbolis, posturnya, maupun asesoris yang melengkapinya.

Wayang, sebagai karya seni rupa, paling tidak memiliki empat konsep bentuk dasar. Pertama, wayang berbentuk dasar relief (wayang relief)pada bangunan candi, yang dibuat dengan teknik seni pahat di atas batu padas yang menjadi dinding panel bangunan candi. Wayang ini tak bisa dialih-tempatkan. Ketika seseorang ingin menceritakan adegan dalam panel itu, pencerita harus ada di depan panel scene cerita. Oleh karena itu, sejalan dengan kebutuhan memperluas lingkup daerah pemirsa, para pewara cerita wayang mengajukan perubahan yang mendasar terhadap alat peraga cerita itu. Jadilah bentuk wayang kedua, wayang beber, wayang yang berupa gambar dua dimensional hitam-putih yang dibuat di atas media kertas, kain, dan sejenisnya, yang melibatkan kegiatan seni ilustrasi. Wayang beber yang pertama adalah jenis wayang yang digunakan sebagai alat peraga cerita lakon wayang yang berbentuk gambar gulungan, gambar bingkai-bingkai lakon wayang yang dibuat atas dasar peniruan gambar pada panel dinding candi. Dengan wayang beber seorang pencerita wayang bisa lebih mudah menyampaikan tuntunan --unsur lain dalam cerita wayang-- kepada pendengarnya. Dia bisa mendatangi para pendengar di mana pun pendengar berada.

Wayang ketiga, wayang kulit adalah wayang berbahan dasar kulit binatang, sapi dan kambing. Jenis wayang ketiga ini dikembangkan melibatkan kegiatan seni tatah, di samping seni lukis. Seni tatah kulit menjadi kegiatan utama dalam pembuatan wayang kulit. Kulit hasil samakan ditatah mengikuti pola bentuk tokoh cerita wayang yang akan dibuat. Pola-pola gambar hiasan yang memenuhi bentuk siluet tampak samping tokoh tersebut, dibentuk dengan cara menatahnya. Hiasan krawangan menjadi tampilan utama dalam pola bentuk wayang kulit. Untuk melengkapi tampilan nilai hiasan, disesuaikan dengan karakter tokoh, maka pola hias krawangan itu diberi warna. Pakem warna yang telah dirumuskan oleh para kipu (ahli, tukang) wayang, tampil menjadi penanda karakter masing-masing siluet tokoh dalam bidang kulit yang krawang. Kegiatan kriya tanduk melengkapi akhir pembuatan wayang kulit di kawasan Jawa Tengah, karena gagang dan tuding (penggerak bagian tangan wayang) terbuat dari bahan tanduk yang dipasang mengikuti lika-liku bentuk siluet wayang. Lain halnya dengan wayang kulit Bali, gagang dan tuding menggunakan bahan bambu yang dipasang tegak.

Wayang keempat, wayang golek, sebagai boneka wayang yang sebenarnya, lahir atas gagasan Bupati Bandung, Dalem Karang anyar, Wira Nata Koesoemah III, tahun 1840. Kipu wayang yang diminta untuk menggubah bentuk wayang golek adalah pembuat wayang kulit dari Pekalongan, Ki Darman. Wayang purwa baru usulan sang Bupati adalah jenis wayang yang terbuat dari bahan kayu bulat torak: wayang golek purwa. Ki Darman, terpengaruh oleh kebiasaannya dalam membuat wayang kulit, mencipta wayang golek baru ini berbentuk bulat gepeng. Golek pertama buatan Ki Darman tidak disetujui oleh Wiranata Koesoemah III. Dalem Karang Anyar ini ingin mendapatkan sebuah model boneka golek yang membulat. Oleh karena itu, Ki Darman yang telah lama menetap di kawasan Cibiru, Kabupaten Bandung ini, terus mencari bentuk lain yang lebih mendekati keinginan Bupati. Dari hasil perpaduan antara gagasan pengayom seni, Dalem Karang Anyar, dengan pekerja seni, Ki Darman, lahirlah bentuk boneka wayang baru dengan latar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata, yang bulat torak seperti bentuk boneka golek yang ada sekarang.

Banyak jenis dan bentuk wayang lainnya yang memerlukan cara penikmatan yang berbeda. Tetapi, pada dasarnya, semua bentuk (boneka) wayang, alat peraga cerita wayang, hingga kini belum diperlakukan sebagai bentuk hasil karya seni rupa mandiri. Padahal, pada semua bentuk wayang (termasuk pada wayang orang), begitu banyak nilai estetika kerupaan yang perlu mendapat kajian khusus. Apakah para leluhur kita, para penggubah wayang, tak pernah berpikir tentang nilai estetis ketika membuat wayang? Apakah mereka hanya membuat wayang sekadar untuk keperluan meragakan cerita semata?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun