Jangan Lagi Ada Supersemar
Â
Â
Dalam dunia pewayangan terdapat punokawan yang dikenal dengan nama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Kalau bercerita tentang punokawan tentu tak kan terlepas dari keempat nama tokoh tersebut. Setiap tokoh mempunyai ciri khasnya masing-masing, dan dalam berbagai kisah dan leluconnya selalu penuh makna, seperti kisah "Petruk dadi Ratu", dsb.
Dari keempat nama tokoh punokawan ini, yang terpopuler dan terhebat yaitu Semar. Apalagi kalau ditambah dengan kata "super" di depannya maka akan terbentuk menjadi kata "Supersemar".
Nah, kalau nama Semar dalam tokoh pewayangan dikenal sebagai orang yang sangat bijak, maka sebaliknya di dunia nyata di era orde baru nama Supersemar dikenal sebagai yayasan yang kaya raya.
Mengapa Supersemar kaya? Karena yayasan Supersemar "melegalkan" menerima dan mengelola dana yang dihimpun dari laba bersih BUMN sebesar 5 % dan disokong oleh penguasa masa itu.
Misi awal tujuan "supersemar" sebenarnya sangat mulia, seperti membantu pengembangan pendidikan dan beasiswa bagi pelajar / mahasiswa kurang mampu. Namun pada kenyataan, Â pengurusnya dalam mengelola keuangan yayasan menyimpang dari misi semula, karena menyimpan dan menyalurkan dananya untuk tujuan kepentingan kelompok tertentu, seperti Sempati, Kiani lestari, Bank Duta, dll.
Dalam berperkara dengan pemerintah, akhirnya diputuskan oleh pengadilan, bahwa Yayasan Supersemar harus mengganti kerugian negara sebesar Rp. 4,4 Triliun.Â
Uang ini nilainya sangat fantastis jika benar-benar dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pendidikan dan sumber daya manusia.
Inilah ironi nasib Yayasan Supersemar yang "ngemplang" uang negara triliunan rupiah. Mudah-mudahan kedepannya tidak ada lagi organisasi yang mengambil uang negara dengan cara membentuk yayasan model seperti ini.