[caption id="attachment_284137" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Beberapa hari yang lalu saya kaget dengan profile picture salah seorang dokter di blackberry. Di situ terpampang foto Menteri Kesehatan RI dengan sebuah pernyataan, “Kalau berkali-kali para dokter muda itu gagal ujian kompetensi lebih baik mereka jangan diberi kesempatan untuk pegang pasien, bisa-bisa pasien jadi mati. Lebih baik mereka menjadi pengusaha atau mencalonkan jadi bupati saja.”
Beberapa dokter bereaksi dengan pernyataan Menkes tersebut, ada yang mendukung tapi sepertinya lebih banyak yang tidak mendukung. Saya kira hal wajar banyak dokter yang tidak mendukung, pernyataan itu tentu akan lebih menyulitkan dokter-dokter muda ke depannya untuk punya lisensi melakukan praktik kedokteran.
Saya kemudian teringat dengan aksi yang dilakukan aliansi dokter muda indonesia (ADMIN) di sekretariat PB Ikatan Dokter Indonesia pada tanggal 16 Mei 2013 yang menuntut pelaksanaan UKDI distop. Mereka menuntut penyelamatan dokter-dokter yang belum lulus ujian kompetensi yang berjumlah hampir 2.000 orang. Ketua IDI, dr. Zaenal Abidin menanggapi tuntutan anggotanya dengan mempertemukan antara perwakilan dokter yang beraksi dengan KDPI yang kemudian menyepakati kesepakatan bahwa ujian kompetensi akan dikembalikan ke fakultas kedokteran masing-masing dalam bentuk exit exam.
Menteri Kesehatan tentu punya pertimbangan mengeluarkan statemen seperti di atas. Apakah beliau tidak peduli dengan nasib dokter yang terlantar tidak bisa berpraktik karena tidak punya STR? Memilah antara menyelamatkan nasib sebagian dokter dengan nyawa pasien tentu menjadi motif utama statemen tersebut. Orang yang berakal sehat tentu akan berstatemen sama bahwa menyelamatkan nyawa manusia tentu di atas dari segalanya apalagi hanya dibandingkan dengan menyelamatkan karir beberapa dokter Indonesia. Sebagai perbandingan saja, dokter di Jepang maksimal mengikuti ujian kompetensi tiga kali saja, jika dalam jangka tiga kali ujian tidak bisa lulus maka doktertersebut tidak diperkenankan ikut lagi ujian kompetensi yang bermakna dokter tersebut tidak bisa lagi melakukan praktik kedokteran.
Namun apakah sesimpel itu permasalahannya, hanya membandingkan antara nyawa pasien dan karier dokter. Kalau kita mau menengok ke daerah-daerah terpencil, kebutuhan dokter sangat tinggi. Pada saat yang lain Menteri Kesehatan pernah menyatakan masih ada sekitar 20% puskesmas di Indonesia yang belum memiliki dokter meskipun program dokter PTT sudah digalakkan. Sehingga di daerah tersebut kekosongan dokter biasanya diambil alih fungsinya oleh perawat atau bidan. Saya tidak mengatakan bahwa perawat/bidan kurang kompeten daripada dokter. Tetapi akan lebih realistis ketika seorang dokterlah yang mengambil fungsinya sebagai dokter dan paramedis seperti perawat/bidan tentu juga bekerja berdasarkan fungsi masing-masing.
Di beberapa daerah ditangani perawat atau bidan itu jauh lebih mending ketimbang praktik dilakukan oleh orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan kesehatan. saya ingat betul di lokasi PTT saya dulu ada seorang bapak yang sering mengobati pasien termasuk melakukan tindakan suntikan, saya cek riwayat pendidikannya, jangankan pernah mengenyam pendidikan kedokteran, ternyata Sekolah Rakyat saja tidak sempat.
Menkes sebaiknya lebih bijaksana melihat kondisi lapangan. Permasalahan kesehatan Indonesia sekarang itu yang utama adalah pemerataan dokter yang belum maksimal. Salah satu cara menyelesaikan ini dengan memperbanyak mengirim dokter ke daerah, bukan dengan membatasinya. Kita perlu melakukan kajian yang lebih dalam tentang pembedaan kompetensi dokter yang akan ditugaskan di daerah terpencil. Karena berdasarkan pengalaman saya yang sudah bekerja di daerah terpencil tiga tahun, ujian kompetensi dokter sedikit berbeda dengan kenyataan yang ditemukan dokter di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H