Mohon tunggu...
Hendra Rayana
Hendra Rayana Mohon Tunggu... -

Saya penggemar Musik Tradisional Indonesia terutama Gamelan Jawa dan Wayang Kulit, tetapi saya juga penggemar musik klasik barat, penggemar Beyonce, Charice, Whitney Houston, Tina Turner, The Beatles dan lain-lain. Saya punya prinsip, kalau kita ingin dihargai oleh orang lain atau negara lain, maka kita harus bisa menghargai orang lain atau negara lain. Dulu saya bekerja dibidang komputer mulai tahun 1969 - 1998 sebagai programmer dll, sekarang jadi m.c. saja (momong cucu) sambil ngotak-atik kompasiana, asyik lho... Profil saya selengkapnya dapat dilihat di : http://www.facebook.com/hrayana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang Kulit Purwa (2): Ruwatan - Bertujuan Memohon Keselamatan Lahir-batin, Terbebas dari Cengkeraman Setan/dosa

11 Januari 2010   12:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31 2662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wayang Kulit Purwa (2)

Ruwatan

Bertujuan agar peserta mendapatkan keselamatan lahir-batin, terbebas dari cengkeraman setan/dosa.

Dikisahkan bahwa Kehadiran Hyang Narada di padepokan Nguntaralaya bertemu dengan Wisnu dan Brahma. Dia memberitahu kepada mereka berdua, bahwa permintaan makanan Batara Kala, semua dikabulkan. “Sekarang anda berdua dengan saya, atas perintah Hyang Jagad Giri Nata harus turun ke dunia.” Ketiganya tidak menolak tugas itu, kemudian mereka turun ke dunia dengan berganti wujud, Batara Narada berubah menjadi seorang tukang kendang Kalunglungan. Batara Brahma berubah menjadi seorang perempuan bertugas sebagai tukang gender bernama Penggender Seruni. Hyang Wisnu berubah menjadi seorang dalang bernama Dalang Kandhabhuwana. Batara Wisnu yang tugas kesehariannya memelihara jagad atau memelihara dunia atau juga memelihara kehidupan, sangat tepat sekali bila dalam memantau kegiatan Batara Kala yang melambangkan setan/dosa, berwujud seorang dalang Pangruwatan. Batara Wisnu-lah yang memiliki kuasa dalam pengaturan khusus bagi peruwatan kehidupan sukerta dan diharapkan akan membuahkan keselamatan. Setiap ruwat bagi seorang manusia, Dalang Kandhabhuwana tidak lupa untuk sekaligus memberikan wejangan kepada orang itu, sehingga benar-benar manusia sukerta itu akan mendapatkan keselamatan lahir-batin. Dalang Kandhabhuwana-lah yang membebaskan dunia ini dari cengkeraman Batara Kala (setan/dosa). Ruwatan di Jawa, sampai kini masih berlaku. Ruwatan ini berupa sebuah upacara penghapusan dosa, penyakit, kotoran (sukerta) dan lain sebagainya dengan menggunakan medium wayang. Upacara ini melibatkan tiga unsusr yaitu:

Yang diruwat yaitu Janma Sukerta, Juru Ruwat yaitu Dalang Kandhabhuwana, Peralatan wayang, gamelan, saji-sajian. Dilandasi oleh niat untuk melestarikan dan mendokumentasikan Seni Budaya Tradisional Indonesia (Seni Musik, Seni Tari, Seni Sastra dan Seni Lukis) yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara, maka kami membuat artikel ini agar dapat dibaca dan dinikmati oleh pengunjung secara luas. Sama sekali tidak ada maksud komersial, artikel ini banyak mengutip dari website atau blog lain tanpa dirubah, melainkan ditambah dengan gambar, link, flash video atau MP3 agar lebih menarik. Seandainya ada yang keberatan karena website atau blog nya dikutip mohon diberitahukan kepada kami, kami bersedia untuk menghapus. Artikel dibawah ini dikutip dari Buku PEDALANGAN JILID 1 untuk SMK, karangan Supriyono, dkk dapat diunduh di:    JILID 1 JILID 2 Diterbitkan oleh: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Betara Guru 5.3.5 Ruwatan Ruwatan di Jawa, sampai kini masih berlaku. Ruwatan ini berupa sebuah upacara penghapusan dosa, penyakit, kotoran (sukerta) dan lain sebagainya dengan menggunakan medium wayang. Sebenarnya ruwatan merupakan hasil perubahan upacara tradisional keagamaan Jawa pada jaman Syamanisme. Upacara ini dilakukan sejak masyarakat Jawa mengenal faham Animisme dan Dinamisme sekitar tahun 1500 S. M. Kehadiran agama Hindu di Jawa sangat mempengaruhi budaya tradisional yang berbentuk upacara wayang di jaman Batu Muda (halus/Neolitikum), sedangkan wayangnya hanya satu terbuat dari batu dan dipimpin oleh seorang perantara yaitu Syaman. Kini upacara wayang batu itu telah berubah dan berkembang menjadi sebuah upacara wayang yang disebut Ruwatan, sedangkan alatnya masih tetap menggunakan wayang, namun bukan dari batu melainkan dari kulit hewan. Selain itu jumlah tokohnya pun juga berkembang bertambah banyak. Upacara wayang ruwatan yang masih berjalan sampai saat ini (di Jawa) dengan menggunakan cerita atau lakon Murwakala (menguasai setan/menguasai dosa). Maksud dan tujuan Murwakala yaitu keinginan akan sirnanya kala sukerta yang dimiliki setiap orang. Oleh karena itu melalui upacara Wayang Ruwatan ini ada beberapa materi yang harus dipersiapkan, yaitu

  • Janma Sukerta (yang diruwat),
  • Dalang Kandhabhuwana,
  • Peralatan wayang, gamelan, saji-sajian.

Bila ketiga-tiganya telah ada, tentu orang tua janma sukerta yaitu bapak dan ibu akan menentukan hari penyelenggaraan upacara wayang ruwatan, yang biasa dilaksanakan pada waktu siang hari oleh seorang dalang yang umumnya disebut dalang Kandhabhuwana atau juru ruwat. Sebelum upacara wayang ruwatan diuraikan lebih lanjut, terlebih dulu perlu diterangkan tentang ketiga materi di atas agar dapat dipahami.

Betara Guru
Betara Guru
Betara Guru, Kamajaya, Narada, Wisnu & Yamadipati 5.3.5.1 Juru Ruwat Sebagai materi yang kedua adalah seorang dalang memiliki sebutan Kandhabhuwana. Ia yang akan melakonkan atau menceritakan ruwatan sebagai apa yang dimaksud oleh si penanggap. Ia seorang dalang yang akan mengkandhakan tentang ruwatan agar para penanggap, anak yang diruwat beserta para penonton menjadi jelas dan gamblang dalam memahami lakon. Mengapa harus dalang Kandhabhuwana? Sebelum berlanjut, perlu dipahami dulu tentang arti daripada kata-kata Dalang, Kandha dan Bhuwana. Dalang adalah seorang empu, pakar, ahli lakon, Kandha berarti omong, crita (bertutur), Bhuwana berarti jagad/dunia. Jadi Dalang Kandhabhuwana adalah seorang empu atau pakar yang sangat ahli bertutur (ajaran) tentang dunia yaitu hakikat kehidupan. Jadi pertanyaanya “mengapa harus dalang Kandhabhuwana” sudah terjawab, sebab hanya dalang Kandhabhuwana-lah yang ahli bertutur tentang hakikat kehidupan. Namun demikian masih saja ada pertanyaan tentang siapa dalang Kandhabhuwana itu? Nama Kandhabhuwana memang sebuah nama yang tidak terang-terangan nama yang disembunyikan (Nami Singlon), Dikisahkan bahwa Kehadiran Hyang Narada di padepokan Nguntaralaya bertemu dengan Wisnu dan Brahma. Dia memberitahu kepada mereka berdua, bahwa permintaan makanan Batara Kala, semua dikabulkan. “Sekarang anda berdua dengan saya, atas perintah Hyang Jagad Giri Nata harus turun ke dunia.” Ketiganya tidak menolak tugas itu, kemudian mereka turun ke dunia dengan berganti wujud, Batara Narada berubah menjadi seorang tukang kendang Kalunglungan. Batara Brahma berubah menjadi seorang perempuan bertugas sebagai tukang gender bernama Penggender Seruni. Hyang Wisnu berubah menjadi seorang dalang bernama Dalang Kandhabhuwana. Batara Wisnu yang tugas kesehariannya memelihara jagad atau memelihara dunia atau juga memelihara kehidupan, sangat tepat sekali bila dalam memantau kegiatan Batara Kala, berwujud seorang dalang Pangruwatan. Batara Wisnu-lah yang memiliki kuasa dalam pengaturan khusus bagi peruwatan kehidupan sukerta dan diharapkan akan membuahkan keselamatan. Setiap ruwat bagi seorang manusia, Dalang Kandhabhuwana tidak lupa untuk sekaligus memberikan wejangan kepada orang itu, sehingga benar-benar manusia sukerta itu akan mendapatkan keselamatan lahir-batin. Dalang Kandhabhuwana-lah yang membebaskan dunia ini dari cengkeraman Batara Kala (setan/dosa). 5.3.5.2 Janma Sukerta Janma sukerta, merupakan unsur yang utama dalam upacara ruwatan ini. Ia adalah sasaran yang harus diruwat oleh seorang juru ruwat yaitu dibersihkan dari segala sukerta yang dideritanya. Bagi sang juru ruwat (dalang) janma sukerta adalah penderita. Banyak macamnya janma sukerta dalam ruwatan, yaitu:
  1. Ontang-anting yaitu anak tunggal lelaki tanpa saudara,
  2. Unting-unting yaitu anak tunggal perempuan,
  3. Uger-uger lawang yaitu dua anak lelaki semua,
  4. Kembang sepasang artinya dua anak putri semua
  5. Kedhana-kedhini artinya dua anak laki-perempuan,
  6. Kedhini kedhana artinya dua anak perempuan-laki-laki,
  7. Pandawa artinya lima anak laki semua,
  8. Pandhawi/ngayoni artinya lima anak perempuan semua,
  9. Sendhang kapit pancuran artinya tiga anak, puteri di tengah,
  10. Pancuran kapit sendhang artinya tiga anak, laki di tengah,
  11. Madangake artinya lima anak 4 laki satu putri,
  12. Apil-apil artinya lima anak 4 putri satu laki-laki,
  13. Bathang ngucap artinya bila ada seorang diri berjalan di siang hari bolong tanpa sumping daun-daunan dan tidak berbicara,
  14. Ontang-anting lumunting artinya lahir tanpa ari-ari atau lahir terbelit usus atau lahir bule atau lahir tidak seperti umumnya.

Ada syarat bagi Batara Kala dari Sang Batara Guru, yaitu bila Batara Kala makan mangsanya itu, maka mangsa itu harus dibunuh dengan senjata tajam (gaman) seperti pedang lebih dahulu, kemudian baru dimakan. Batara Penyarikan akan selalu mencatat semua manusia (janma) anak sukerta yang dimakan dan juga akan selalu mengikuti jejak Kala. Bila tidak sesuai dengan catatan Dewa Penyarikan, maka Kala akan mendapat marah besar dari Batara Guru dan akan sengsara hidupnya. Dengan ketentuan seperti itu, maka Batari Uma (isteri Guru) menambahkan, yaitu Anak tiba sampir, bila seorang anak lahir bersamaan seorang dalang sedang mendalang di sekitar itu dan peragaan lakonnya menggunakan cerita ruwatan Murwakala, dan anak yang baru lahir tersebut apabila tidak sungkem kepada dalang, maka anak itu juga akan menjadi jatahnya Batara Kala, kecuali anak itu dibawa kepada ki dalang dan diakui sebagai anaknya. Ada orang disebut Wong Mancah adalah orang yang dalam karyanya mendatangkan buah karya yang mengganggu perjalanan Batara Kala, maka wong mancah tadi menjadi makanan Batara Kala. Yang dimaksud dengan karya wong mancah itu misalnya orang menanam tanaman yang buahnya ada diatas tanah (pala kesimpar) tanpa di beri tututp atas di samping kranjang (anjang-anjang) maka bisa tersandung Kala, mendirikan rumah belum diberi tutup keyong, meninggalkan dandang saat menanak nasi, sehingga dandangnya terguling, dan sebagainya. Ini semua dianggap mengganggu perjalanan Batara Kala. Maka semua ini akan menjadi santapan Batara Kala. Hanya karena diakui sebagai saudara ki dalang Kandhabhuana barulah wong mancah terhindar dari ancaman dimakan Kala. Hyang Batara Guru memerintahkan kepada dewa Penyarikan agar semua yang titahkan itu dicatat dengan cermat dan Batara Penyarikan harus ikut menyaksikan, dan baru boleh meninggalkan tempat itu bila tidak ada yang salah. Karena usulan Narada bahwa makanan yang diberikan kepada Kala terlalu banyak, maka Batara Wisnu diperintahkan untuk memberikan berkat ke-pada setiap umat. Umat itulah yang tidak disantap Kala.

BATARA KALA
BATARA KALA
BATARA KALA 5.3.5.3 Cerita Ruwatan (Murwakala sebagai lakon bakunya). Memang cerita Ruwatan ini di dalamnya terdapat suatu komposisi lakon yang sangat unik dan tidak biasa ditemui pada lakon-lakon yang lainnya. Dalam lakon Murwakala terdapat dua bagian yang masing-masing sesungguhnya berdiri sendiri-sendiri, meskipun antara keduanya terdapat ada kaitannya yang saling mengasihi. Pada bagian pertama, dikisahkan oleh sang dalang bahwa pada suatu hari Sang Hyang Jagad Giri Nata sedang bersama dengan permaisuri Batari Uma berjalan-jalan dengan naik lembu kaswargan yaitu lembu Handini. Pada saat di angkasa ketika itu pula Sang Batara Guru melihat kemolekan Sang Uma sehingga timbullah nafsu birahinya. Namun apa mau dikata, nafsu birahinya yang sudah memuncak itu tak bisa tersalurkan, karena memang Sang Uma tidak mau melayani, sehingga kama Sang Batara Guru jatuh ke samudera. Kama Sang Batara Guru itu disebut kama salah karena memang sangat salah tingkah. Kama salah itu berada dalam samudera ternyata hidup yang mempengaruhi permukaan air samudera menjadi pasang meninggi hingga tumpah ke daratan. Kama salah kini menjadi besar, akibatnya daratan semakin tidak mampu menampung air dan banjirlan di daratan. Hanya ketika kama salah itu bangkit, baru air di daratan menjadi kering (asat). Banjir hilang tanah menjadi subur. Si kama salah langsung naik ke darat yang subur itu. Tanah yang diinjak terdesak ke bawah sampai dalam, akibatnya buminya menjadi berlubang-lubang sedalam sumur. Kama salah yang berupa raksasa tinggi besar tak ada yang menyamainya. Dia tinggi melebihi tinggi pepohonan. Dia besar sekali, tiga kali besar seekor gajah. Dia juga kuat dan sakti. Mulutnya besar dan lebar selebar pintu gua. Rambut kaku panjang gimbal sulit disisir. Sisir yang sebajak (segaru) sawah barulah mampu menyisir rambut si kama salah. Sekarang dia berjalan sambil teriak-teriak, secara alami menjadi omong atau bicara. “He… orang… jangan lari. Kenapa kamu lari!” Setiap manusia yang ketemu mesti lari karena takut dimakan (diuntal). Ucap kama salah semakin keras sampai menggugurkan daun dan buar pepohonan. “Heeee…… wong ndesa aja mlayu. Aku takon, aku iki sapa? Bapakku sapa? Aku tulung critanana.” Tak ada jawaban setiap pertanyaan maka semakin marah si kama salah. Setiap apa yang ada di depannya diinjak, ditendang dan yang terpegang tangannya di remas. Pepohonan yang dilewati ada yang dicabut (dibedol) dirobohkan. Demikian juga rumah-rumah penduduk diinjak, dirobohkan juga. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kama salah tidak pernah makan, lama kelamaan perjalanan si kama salah sampai di kaki sebuah gunung tempat bersemayamnya para dewa. Di situ si kama salah bertemu dengan para prajurit Dorandara. Dia disuruh kembali oleh para prajurit Dorandara. Karena tidak mau kembali, maka terjadilah selisih pendapat dan timbul perang mulut kemudian semakin memuncak sehingga menjadi perang fisik, adu jotos, adu kuat. Ternyata kama salah terlalu kuat, para prajurit Dorandara lari tunggang langgang. Kama salah yang berhadapan dengan para dewa senior dimana mereka pada adu sakti, ternyata dewa kalah sakti. Semua pusaka, ajian, kesaktian, gaib tak ada yang mempan dipukulkan, digebugkan pada tubuh kama salah yang tak dirasakan. Kama salah adalah kama Sang Jagad Nata yang berari tidak bisa dibuat sembrana. Dia kuat dan sangat-sangat sakti, tak ada yang mampu melawannya dengan cara apapun. Akhirnya terpaksa oleh Resi Narada si kama salah dihadapkan pada Sang Hyang Jagad Giri. Dengan kondisi yang serba harus, Batara Gurupun terpaksa menuruti keinginan si kama salah, meskipun Batara Guru tetap kurang senang atas kedatangannya yang harus diakui sebagai anaknya. Kemarahan sang Batara Guru belum reda karena masih ada pusakanya yang belum digunakan. Dengan diam-diam Sang Batara Guru membelalakkan mata ketiganya dengan di dorong oleh keempat tangannya, mata itu mengeluarkan sinar panas ditujukan pada kama salah, biarlah ia mati kepanasan. Ternyata si kama salah tidak terasa apa-apa. Justru Batara Tri Netra (Guru) berteriak-teriak bingung kepanasan. Sang kama salah tak mempan oleh semua pusaka dan ajian, sehingga para dewa tak bisa apa-apa kecuali memenuhi keinginannya. Akhirnya Batara Parameswara harus mengakui bahwa kama salah adalah anaknya sendiri. Dengan disaksikan oleh para dewa, sang kama salah diangkat sebagai Dewa Batara dan diberi nama Kala. Dewa Batara Kala sebelumnya telah diberi ijin oleh Sang Batara Rodrapati dalam permohonan makan sehari-hari yaitu manusia sukerta. Berangkatlah Kala untuk mencari makanan manusia sukerta. Oleh Batara Narada diperingatkan bahwa makanan yang diberikan kepada Batara Kala itu sangat banyak, tentu dunia ini akan kehabisan manusia. Batara Guru menjadi masygul hatinya. Dia kecewa atas pemberian ijin kepada Sang Kala tentang makanan manusia sukerta. Kekecewaan, bahkan timbul kekhawatiran bahwa manusia akan habis dimakan Kala, maka semua ini harus diserahkan kepada Sang Wisnu pemelihara jagad. Terserah dengan kebijaksanaan apa, Wisnulah yang mengatur. Batara Rodrapati memerintahkan kepada Batara Narada untuk bersama-sama dengan Batara Wisnu dan segenap dewa lain yang diperlukan. Ketika semua sudah siap, berangkatlah mereka turun ke dunia. Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa dalam rangka mengikuti jejak Kala, Batara Wisnu dan lainnya berganti wujud yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Batara Wisnu sebagai dalang Kandhabhuwana, Batara Narada sebagai pengendhang Kalunglungan, dan Batara Brahma sebagai penggender Seruni. Batara Ismaya yang kebetulan hadir di Kahyangan Nguntaralaya atau Nguntara segara ikut membicarakan kerusakan jagad dan ikut dalam rombongan. Ismaya menjadi pengrawit (panjak). Batara Cakra menabuh kethuk bernama Swuhbrastha, Batara Asmara menabuh gong kempul bernama Sirep, Batara Mahadewa menabuh kenong bernawa Ruwat. Sampai adegan inilah lakon ruwatan bagian pertama sudah selesai. Bahkan sejak kama salah diterima sebagai anak Batara Guru dan diberi nama Batara Kala, itu bisa dikatakan cerita bagian pertama sudah habis. Sedangkan keberangkatan Kala dan pembagian tugas para dewa dalam memantau Kala itu bisa dikatakan sebagai introduksi Ruwatan bagian ke-2, yang ciri tema-nya berlainan sekali. Adapun bagian kedua dimulai dari kisah seorang anak ontang anting yang di dalam pakeliran bernama Jatusmati. Ia lari terbirit-birit menghindar dari kejaran Batara Kala. Sangat kebetulan sekali pada waktu itu ada perhelatan dengan menanggap wayang dimana dalangnya adalah ki dalang Kandhabhuwana atau ada yang menyebut ki dalang sejati. Jatusmati menyelinap masuk di tempat para pengrawit menyatu dengan mereka. Akibat itu semua Batara Kala lalu berhenti di situ dan menanti keluarga Jatusmati sambil melihat tontonan wayang. Tentu saja para penonton lainnya takut ada raksasa yang tinggi dan besar ikut menontong wayang. Para penonton bubar lari meninggalkan tempat, sehingga di tempat pertunjukan wayang itu menjadi sunyi sepi tak ada penonton. Hanya ada satu orang penontong yaitu Batara Kala. Karena sepi itu maka sang Dalang Sejati Kandhabhuwana menoleh ke belakang sehingga tahu bahwa penyebab bubarnya penonton adalah Batara Kala. Terjadilah dialog antara sang dalang Kandhabhuwana dengan Batara Kala. Mereka berdua bagaikan terikat dalam satu ikatan bantah yang tak mau saling mengalah. Terutama ki dalang disuruh tampil maka akan dibayar oleh Batara Kala. Bantah masih berlanjut, Batara Kala bertanya, lebih tua mana antara Batara Kala dengan ki Dalang Kandhabhuwana. Tak lama kemudian Dalang Kandabhuwana merayu Batara Kala untuk menyerahkan pedhang (Bedhama). Singkatnya bantah mereka dimenangkan oleh ki Dalang Kandhabhuwana. Kecuali itu, Batara Kala tidak boleh memakan manusia sukerta yang sudah mendapat ruwat atau diruwat oleh Dalang Kandabhuwana. Demikianlah ikatan janji antara Batara Kala dengan ki Dalang Kandhabhuwana yang tidak bisa diingkari. Di samping itu ada beberapa tokoh yang disebutkan dalam Ruwatan ini demi terangkainya alur certita misalnya Randha Prihatin ibu Jatusmati yang diselamatkan oleh dalang Kandhabhuwana, Buyut Awengkeng diminta anak perempuannya Rara Primpen yang bersama suaminya yang jelek rupa Buyut Gadual (Joko Sondong) minta ditanggapkan wayang ruwatan pada ki Dalang Kandhabhuwana, Nyai randha Sumampir dari desa Mendhang Kawit yang semula miskin menjadi kaya. Desanya-pun menjadi ramai atas kehendak dewa Agung. Oleh ki Dalang Kandhabhuwana nama randha Sumampir diganti menjadi Randha Asem Sore. Dia diberi pegangngan sakit encok dan sebangsanya, artinya apabila ada orang menjemur kain panjang (jarit) sampai sore belum diangkat, bila ada orang makan beralaskan cobek (cowek) tanah cobek batu dengan sayur asem wayu, diberikan mereka sakit encok. Buyut Gadual yang datang di rumah randha Sumampir ingin bertemu dengan Ki Dalang Kandhabhuwana yang kebetulan berada di rumah ini untuk nanggap wayang ruwatan. Setelah disanggupi, maka jadilah wayangan di rumah Buyut Gadual di rumah mertuanya ki Buyut Tapa Wangkeng. Wayang Ruwatan ini bertujuan agar hubungan suami istri antara Buyut Gadual (Joko Sondong) dengan Rara Primpen menjadi rukun. Karena memang selalu selisih. Demikianlah secara singkat wayang Ruwatan. 5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan Peralatan tentang wayang-gamelan dalam penyelenggaraan upacara ruwatan dapat dipastikan akan beres. Sebab sudah jelas bahwa wayang-gamelan setiap dalang pasti memilikinya. Namun dapat dijelaskan tentang penggunaan gamelan dalam upcara ruwatan ini adalah laras slendro. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peralatan wayang-gamelan sudah tidak perlu dikhawatirkan. Sedangkan yang termasuk sebagai perlengkapan (ubarampe) atau alat yang tidak bisa ditinggalkan adalah saji-sajian (sajen). Menurut aslinya yang berasal dari Kraton Surakarta, Sumantoyo dalam tulisannya yang berjudul Budaya Ruwatan dalam Kehidupan dan Kepercayaan Orang Jawa, termuat dalam buku Ruwatan Murwakala dari Paguyuban Sutresna Wayang Rena Budaya, hal 5 menyebutkan daftar sajen peruwatan sebanyak 71 macam. Inilah sajian-sajian itu :
  1. Tuwuhan sapepake :gadhang, tebu, cengkir
  2. Pari rong (2) gedheng
  3. Cikal rong (2) iji
  4. Pitik rong (2) iji
  5. Tumpeng warni sanga:
  6. Megana isi jangan,
  7. Megana isi pitik,
  8. Pucuk endhog,
  9. Rajek edom,
  10. Pucuk lombok abang,
  11. Tutu,
  12. Kendhit,
  13. Lugas,
  14. Sembur.
  15. Kroso kalih sing siji sekul ulam digantung ing kelir sisih kiwa, sijine isi beras, pala kesimpar, pala kependhem, who-wohan digantung ing kelir sisih tengen
  16. Klasa anyar
  17. Bantal anyar
  18. Sinjang (kain) warni pitu, yaitu Poleng bang bintulu sadodod, Dringin songer, Tuluh watu, Bangun tulak, Pandhan binethot, Liwatan/lumpatan, Gandhung Mlathi, Kang rinuwat, yen wadon nangge sinjang pethak, kemben pethak, yen jales ngangge bebet pethak, iket pethak, yen sampun ki Dalang kang gadhah.
  19. Pangot waja kalih (2 ) iji
  20. Kropak sapakem
  21. Sega wuduk lawuh lembaran ayam pethak mulus lan cemeng mulus kalian tigan
  22. Jadah abang, jadah putih, jadah kuning, jadah ireng, jadah biru, jadah kendhit, jadah tutul.
  23. Ketan warna pitu kalebet wajib jenang
  24. Wajik
  25. Jenang
  26. Jenang warni pitu, kalebet jenang blowok wadhahe takir kalothekan gadebog, di antaranya adalah, Srabi warwa pitu, Srabi abang putih, Bikang abang putih, Ampang sapepake, Hawag hawug, Pondo: putih, biru, kuning, ireng, abang, wungu, ijo, Kupat lepet, Legondhoh, Pula gimbal, pula gringsing, dados sawadhah.
  27. Woh-wohan saanane
  28. Pangan remik-remikan
  29. Pangan wungkus-wungkusan
  30. Tukon pasar sapepake lan dhuwit rong uwang
  31. Rujak bakal sarwa mentah, rujak deplok, rujak crobo, rujak dulit, rujak legi, sawadhah
  32. Gecok bakal, lombok, uyah, trasi, iwak mentah, brambang, bawang, gecko dadi, gecko lele urip sajodho, tigan ayam sajodho.
  33. Klasa pacar
  34. Kayu sauntung
  35. Pala kapendhem mentah mateng, pala gumantung, pala kesimpar, empon-empon sapepake dados sawadhah
  36. Bumbu kang pepak
  37. Wolak walik
  38. Sega golong, pecel pitik, jangan menir
  39. Bendho
  40. Lading
  41. Jungkat
  42. Suri
  43. Kaca, paying, lan tukon pasar sapepake kabeh, salawe uwang
  44. Alang-alang, godhong dhadhap serep, godhong apa-apa
  45. Lenga sundhul langit
  46. Lawe saukel
  47. Ungker siji
  48. Sega asah-asahan nganggo punar
  49. Kayu walikukun saseta, 4 iji
  50. Kupat luwar 4 iji
  51. Beras sadangan
  52. Klapa gondhil den ubeti lawe wenang ubet tiga
  53. Lenga klentik secangkir jog-jogan blencong dhuwite telu theng
  54. Tetes saguci
  55. Badheg saguci
  56. Toya tempuran, dipun wor toya sumur pitu, sekar setaman, kobokan tiga theng
  57. Pangaron anyar, abahan pawon sapanunggalane kabeh
  58. Kendhi kebak
  59. Diyan murub
  60. Lenga kacang sagendul
  61. Dlingo bawang tindhite salawe dhuwit
  62. Gedhang ayu setangkep, suruh ayu saadune, gula krambil setangkep tindhite 60 uwang
  63. Dene jenang wau wijangipun: jenang blowok, jenang abang, jenang putih, jenang ireng, jenang kuning, jenang biru, jenang ijo, jenang lemu, jenang katul.
  64. Dene tuwuhan pari cikal tebu, kayu walikukun, lele gesang, saking ingkang gadhah damel.
  65. Sabibaring ngruwat kayu walikukun sekaran iji dipun pathokaken ing njawi griya pojok sekawan lan kupat luwar 4 iji nunggil pathok ginantung. Utawi lawe wenang dipun gawaraken njawi griya ubeng ngiwa ubet tiga.
  66. Toya tempuran kang wonteng pengaron anyar lan sekar setaman, dipun wor jembangan ageng, utawi ingkang dipun ruwat adus kaping pitu surame. Manawi anugelaken gandhik anggempalaken pipisan utawi angrebahaken dandang, wuwuh ingkang anyar, dandang gandhik pipisan (ingkang sampun cacad) padha linabuh
  67. Wanci ngajengaken surup (surya) anglujengaken jenang baro-baro 5 takir wonten pinggir sumur, ijabipun nundhung Kala Lumur, slawate 5 ketheng, dongane Tulak bilahi
  68. wekasan slamet.
  69. Lan patelesane kang dipun ruwat samorine, ki dalang kang gadhah
  70. Tigang jumungguh, memule sakuwasane, kang dipun memule ingkang cikal bakal ruwatan, utawi sengkala, bedewan luwuring ratu sapengadhap sapenginggil, kang samara bumi, lan luwure piyambak, saking jaler, saking istri, luwuring dhalng sak niyagane salumahing bumi sakurebing langit
  71. Dene ruwatan mau pepesthening tindhih yen tiyang satunggal 60 uwang, yen tiyang kalih utawi tiga 60 uang kaping kalih utawi kaping tiga, tebasan utawi boten tamtu tindhih saking ingkang gadhah damel.

Catatan : Sesudah ki dalang mendalang semalam suntuk (tanceb kayon ) terus paginya memeriksa sajen ruwat, dan yang akan diruwat berpakaian putih, ki dalang siap meruwat.

MP3 Wayang kulit performance by Late Ki Narto Sabdo - Lakon: WIRATA PARWA

Thanks to: Ki Nartosabdho : Wirata Parwa - Dunia Wayang Prabu 01 WIRATA PARWA.MP3 02 WIRATA PARWA.MP3 03 WIRATA PARWA.MP3 04 WIRATA PARWA.MP3 05 WIRATA PARWA.MP3 06 WIRATA PARWA.MP3 07 WIRATA PARWA.MP3 08 WIRATA PARWA.MP3 09 WIRATA PARWA.MP3 10 WIRATA PARWA.MP3 11 WIRATA PARWA.MP3 12 WIRATA PARWA.MP3 13 WIRATA PARWA.MP3 14 WIRATA PARWA.MP3 15 WIRATA PARWA.MP3 16 WIRATA PARWA.MP3

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun