Ada kesalahan berpikir yang cukup mendasar, yang dimiliki oleh "sebagian kecil" masyarakat Indonesia. Dan, Saya rasa kesalahan berpikir itu akibat dari jejak sejarah kolonialisme di Indonesia.Â
Tulisan kali ini masih akan bersinggungan dengan UU Omnibus Law, khususnya UU Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan dari masyarakat banyak.
Sebuah official akun di instagram membagikan berita tentang rencana pembukaan pabrik baterai, perusahaan milik Elon Musk, yaitu Tesla. Akun tersebut menyematkan headline "Gokil! Tesla Elon Musk bakal Bangun Pabrik di Batang Jateng."Â
Sekilas, tidak ada yang salah dengan headline itu, terlebih, masih sesuai dengan kode etik atau standar jurnalistik yang berlaku.Â
Ada dua hal yang saya soroti dari postingan itu. Pertama adalah makna tersirat dari headline yang menunjukan sikap bangga, seolah pembangunan pabrik di kawasan industri Batang merupakan sebuah prestasi. Yang kedua adalah respon dari netizen atas kabar "baik" itu.
Apakah kita patut bangga, ketika ada perusahaan dengan brand besar asal luar negeri yang akan membangun pabriknya di Indonesia?Â
Jawabannya adalah relatif. Namun akan lebih bijak jika kita biasa saja dalam menyikapi pemberitaan itu. Banyaknya perusahaan besar asal luar negeri yang bertengger di Indonesia, bukan sebuah kebanggaan.Â
Justru dengan banyaknya pabrik yang berdiri, akan semakin merusak ekosistem alam di negara ini. Bisa dengan terjadinya deforestasi yang menyebabkan banyak hewan kehilangan habitat. Bisa juga terjadi melalui reklamasi yang semakin memperparah abrasi, penurunan permukaan tanah, hingga potensi tsunami.
Di sanalah peran Amdal sangat diperlukan. Memang, Amdal masih ada, tetapi perannya diambil oleh pusat alias pemerintah. Perkara Amdal bukan perkara yang remeh temeh, tetapi perkara yang serius. Negara ini membutuhkan peran lembaga swasta, atau lembaga independen yang jauh dari kepentingan pemodal.Â
Gunanya apa? Untuk menjaga keseimbangan alam yang ada di Indonesia. Keputusan mengenai Amdal lewat pemerintah saja, tidaklah cukup. Diperlukan banyak campur tangan dari lembaga/orang yang berkapasitas guna melakukan riset, yang hasilnya tidak akan merugikan negara serta masyarakat sekitar.Â
Apa jadinya jika keputusan Amdal mutlak dipegang oleh pemerintah? Sedangkan seperti yang kita ketahui, politik praktis, suap-menyuap sudah menjadi bagian dari budaya politik di Indonesia. Keahlian menganalisis manajemen risiko mutlak diperlukan, jika tidak ingin negara ini selamanya menjadi negara "kacung".