Mohon tunggu...
Hendricus Widi
Hendricus Widi Mohon Tunggu... -

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang Orang Golek Menak, Karya Inspiratif HB IX Kembali Ditampilkan Dengan Sangat Menawan Dalam Tajuk Tribute to S. Kardjono

30 September 2013   16:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:11 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah melihat pertunjukan wayang golek kayu? Demikian indah dan hidup saat dimainkan oleh sang dhalang. Itu pula yang dirasakan pertama kali oleh Sri Sultan HB IX saat melihat pertunjukan wayang golek sekitar tahun 1940an. Muncul dalam benak beliau, rasanya akan sangat menarik jika dibawakan oleh orang sesungguhnya. Maka timbullah ide untuk mengadopsi gerak wayang golek ke dalam bentuk tari, terciptalah tari golek menak yang tetap berpegang pada pakem tari klasik gaya Yogyakarta atau joged Mataram.

Dalam perjalanannya, tari golek menak ini banyak mengalami perkembangan antara lain dengan dimasukkannya unsur gerak pencak silat. Dan untuk saat ini, peluang untuk menggarap tari golek menak ini masih sangat luas. Dengan melihat keunikan dari tarian ini, sangat disayangkan jika tidak dapat dinikmati oleh masyarakat pecinta seni. Dan pada hari Minggu, 22 September 2013, tersajikan pentas Drama Tari Golek Menak dengan judul "Pastha Anglari Pasthi" bertempat di Theater Kautaman, Gedung Pewayangan Taman Mini Indonesia Indah. Serasa dahaga akan tontonan seni tradisi terobati dengan pergelaran yang berkualitas. Dipersembahkan oleh Sanggar Surya Kirana dengan tajuk Tribute to S. Kardjono. S. Kardjono merupakan seniman tari klasik gaya Yogyakarta yang telah hijrah ke Jakarta, dan ingin mengembangkan Joged Mataram di ranah ibukota. Dengan tujuan demikian, beliau mendirikan sanggar tari Surya Kirana. Karya-karyanya seperti: Rara Mendut Pranacitra, Klono Panca Tunggal, Samgita Pancasona (1969), Semar Boyong (1969), Ngrenaswara (1972), Wayang Golek Menak “Kelaswara Palakrama” dan “Kelaswara Senapati” (1973), Langen Mandra Wanara : “Sugriwa Subali” (1975), Wiroguno (1976), Joko Penjaring (1977), Roro Jonggrang (1977), Ronggolawe (1979), Langen Mandra Wanara : “Änggisrono Teliksandi” (1990) dan Saijah dan Adinda. Selepas beliau mangkat pada tahun 2004, eksistensi Surya Kirana juga semakin tenggelam. Namun berkat perjuangan murid-muridnya, salah satunya Tatik Kartini Mustikahari, Surya Kirana dapat bangkit kembali. Dan pergelaran Drama Tari Golek Menak ini dijadikan sebagai tonggak kebangkitan sanggar Surya Kirana, maupun tari klasik gaya Yogyakarta secara umum. Drama tari ini mengisahkan tentang percintaan segitiga antara Prabu Jayengrana, seorang raja agung dari Kerajaan Koparman, dengan Kelaswara, putri kerajaan Kelan, dan Adaninggar, seorang putri dari negara Tartaripura di negeri Cina.

1380533218130217992
1380533218130217992
Kisah ini berawal saat Adaninggar memperoleh penglihatan, bahwa dirinya akan berjodoh dengan seorang raja agung bernama Jayengrana. Sedemikian hebat gelora asmara ini, hingga membuat tekad meninggalkan negeri Cina guna mencari sang pujaan hati. Siapakah Jayengrana, hingga seorang puteri cantik sanggup menyeberangi lautan demi mendapatkan cintanya? Ia merupakan seorang raja dari Kerajaan Koparman. Ketampanan, ketenangan dan pancaran kewibawaannya akan membuat wanita manapun bertekuk lutut di hadapannya. Singkat cerita bertemulah mereka di saat Adaninggar secara kebetulan menolong Jayengrana dari cengkeraman raksasa Jamum. Tak terelakkan Adaninggar diliputi suka cita telah bertemu dengan pujaan hatinya. Namun kenyataan bahwa Jayengrana telah memiliki dua orang istri sejenak membuat hati Adaninggar gundah. Tetapi hal itu tidaklah menyurutkan tekad untuk mengabdikan jiwa raganya kepada raja Koparman. Jayengrana pun menerima dengan senang hati, karena ia bermaksud menaklukkan Kerajaan Kelan yang dikenal sangat kuat prajurit wanitanya. Dan dengan Adaninggar bersamanya, bertambahlah kekuatan pasukan Koparman. Maka berangkatlah Jayengrana memimpin pasukannya untuk menaklukkan Kerajaan Kelan. [caption id="attachment_291687" align="aligncenter" width="300" caption="Kelaswara"]
1380533345204797013
1380533345204797013
[/caption] Kerajaan Kelan yang telah mendengar pasukan Koparman mendekati wilayahnya sedang mempersiapkan diri. Prabu Kelanjajali menunjuk putrinya, Kelaswara, menjadi senopati perang memimpin pasukan Kelan. Kelaswara, seorang putri nan cantik jelita namun sangat tangkas dalam olah kanuragan. Kedigdayaannya tak terbantahkan, dua ekor gajahpun sanggup ia angkat dengan kedua tangannya. Dan akhirnya pertempuranpun terjadi, pasukan Koparman terbantu dengan kehadiran Adaninggar yang memukul mundur prajurit wanita Kelan. Namun di sisi lain, prajurit Koparman dibuat kewalahan menghadapi keganasan Kelaswara sang senopati Kelan. Dikepung dari berbagai penjuru, Kelaswara dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Di saat Kelaswara sibuk menghadapi pasukan Koparman, datanglah Jayengrana dengan pancaran pesona kewibawaannya. Seketika itu luluh hati Kelaswara. Hilang sudah keberingasannya, tak sanggup rasanya menghadapi raja agung yang penuh pesona dalam ketenangannya. Yang tersisa hanyalah perasaan kagum dan cinta yang menyeruak, membuat Kelaswara menyerah dalam pelukan Jayengrana. [caption id="attachment_291688" align="aligncenter" width="300" caption="Jayengrana-Kelaswara"]
1380533453909116751
1380533453909116751
[/caption] Perang telah surut, namun sepasang manusia itu tetap berada dalam kobaran api. Bukan api dendam ataupun ingin membunuh, tetapi api asmara yang bergelora dalam hati masing-masing. Sepasang manusia itu tak lain adalah Jayengrana dan Kelaswara, tengah tenggelam dalam perasaan cinta mereka. Memadu kasih dengan demikian mesra, hingga tak menyadari ada sepasang mata dengan sinar amarah, benci dan sakit hati sedang mengamati. Sepasang mata itu milik Adaninggar. Hancur luluh lantak sudah hatinya menemui kenyataan yang sedang dilihat, bak sebuah bahtera yang hancur menerpa karang yang kokoh. Samudra telah sanggup ia arungi demi cinta dan telah diserahkan jiwa raganya untuk mengabdi pada sang pujaan hati, tapi inilah balasannya. Marah tak tertahan lagi, perempuan itu atau ia sendiri yang musnah itulah tekadnya. [caption id="attachment_291689" align="aligncenter" width="300" caption="Adaninggar marah, merasa Kelaswara telah merebut pujaan hatinya"]
1380533597665356214
1380533597665356214
[/caption] Akhirnya Adaninggar memisahkan Kelaswara dari Jayengrana dan mengajaknya bertempur untuk membuktikan siapa yang lebih pantas mendampingi Jayengrana. Kelaswara yang tidak mengenal Adaninggar semula bersikap lunak, namun begitu mengerti maksud Adaninggar untuk merebut Jayengrana dari sisinya, tak sungkan lagi ia meladeni tantangan itu. Pertempuran pun terjadi dengan dahsyatnya karena keduanya sangat mumpuni dalam olah kanuragan. Namun akhirnya keperkasaan Kelaswara tak dapat ditandingi, dan Adaninggar terkena tusukan tombak tepat di lambungnya. Pada saat itu datanglah Jayengrana menubruk tubuh Adaninggar sebelum terjatuh. Melihat Adaninggar bersimbah darah dalam pelukannya, marahlah Jayengrana pada Kelaswara. Tapi sebelum Jayengrana bertindak lebih jauh, Adaninggar telah mencegahnya meski dalam kondisi yang sekarat. Di dalam kondisi mendekati ajalnya, Adaninggar meminta agar Jayengrana dapat memaafkan Kelaswara dan bahwa ia telah dengan ikhlas menerima jika Kelaswara menjadi istri Jayengrana. Akhir cerita yang demikian haru divisualisasikan dengan begitu sempurna hingga membuat penonton terbawa emosinya ke dalam alur cerita. Kelaswara dan Adaninggar merupakan dua tokoh yang disentralkan dalam drama tari ini. Penokohan keduanya dibuat setara oleh sang sutradara, Tatik Kartini Mustikahari, dan dikemas dengan begitu apik. Sehingga penonton dipaksa untuk memilih apakah lebih condong kepada Kelaswara dengan ketangkasan dan kesaktiannya atau cenderung pada Adaninggar dengan perjuangan dalam mewujudkan cintanya. Pada pementasan kali ini sangat terasa terdapat banyak inovasi sang sutradara yang membuat drama tari menjadi semakin hidup. Mulai dari gerak tari, komposisi penari hingga dramatisasi dan tata panggung, sangat berbeda dengan pakem yang biasanya dianut dalam tari gaya Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tari klasik gaya Yogyakarta memiliki peluang yang sangat luas dalam pengembangannya, sehingga memberikan warna tersendiri dalam setiap kesempatan pementasan. Dengan tergelarnya Drama Tari Golek Menak “Pastha Anglari Pasthi” diharapkan dapat memacu perkembangan tari klasik gaya Yogyakarta dalam kancah seni budaya nusantara. Sungguh sangat ironis sebenarnya, melihat keindahan geraknya bahkan seni tari ini kalah pamor dibandingkan saudaranya dari Surakarta yang berkembang demikian pesat. Mungkin dikarenakan kultur budayanya yang masih kental dengan feodalisme hingga perkembangan seni ini tidak dapat menyebar hingga seluruh lapisan masyarakat. Benarkah seni tari gaya Yogyakarta hanya milik kaum bangsawan? Memang awal mula terciptanya kesenian ini muncul di lingkungan kraton, namun yakinlah jika penciptanya akan lebih bersyukur jika karya ciptaannya akan tetap lestari dan dapat dinikmati banyak orang daripada hanya diagung-agungkan dan dinikmati di lingkungan kraton saja. Pergelaran ini juga membuka harapan bahwa kesenian tradisional masih mendapat perhatian dari masyarakat, terbukti dengan kehadiran penonton yang nyaris memenuhi gedung pertunjukan. Melihat kenyataan ini semoga dapat membuka pihak-pihak yang peduli terhadap seni tradisi, untuk dapat membantu tumbuh kembangnya demi memberikan harmoni dalam seni pertunjukan yang telah didominasi oleh kesenian modern.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun