Mohon tunggu...
Happy Ferdian
Happy Ferdian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya adalah seseorang yang ingin aktif menulis, walaupun keterbatasan dalam hal-hal pendukung tulisan, saya berusaha untuk menulis dengan karakter saya. Insya Allah, secara perlahan saya akan belajar lebih baik dalam membuat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Wayang Orang di Tengah Urbanisme

26 Mei 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semangat urbanisme yang dinamis senantiasa menjurus kepada arah modernisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Peninggalan-peninggalan masa lalu yang harusnya tetap lestari hingga kini, perlahan kian hilang pamor dan atensinya. Budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang seyogyanya merupakan bentuk refleksi atas jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.

Di tengah jalan yang cukup pesimis ini, menarik disimak adalah sebuah fenomena bertahannya salah satu bentuk kebudayaan daerah, tepatnya kebudayaan Jawa, berupa seni pertunjukan wayang orang yang mampu mencuri atensi warga ibukota, khususnya mereka-mereka yang rindu akan eksistensi kebudayaan daerah. Wayang orang Bharata hadir dengan bentuk kekiniannya dengan tujuan agar dapat diterima dan terus eksis di tengah gempuran modernisasi. Menilik dari bergeliatnya kembali seni pertunjukan budaya Jawa ini, relevansi apakah yang ada di balik kebangkitannya? Apakah ini benar-benar bentuk eksistensi atau restorasi seiring perkembangan zaman?

Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai fenomena kebangkitan salah satu budaya daerah di tengah masyarakat urban yang dinamis yang akan difokuskan pada seni pertunjukan wayang orang. Membahas mengenai sejarah, perkembangan dan tantangan yang dihadapi sekarang dan di masa depan serta apresiasi publik terhadap hal ini.

Di tengah Jakarta yang bergeliat dengan modernitasnya, mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa kesenian tradisional mulai kehilangan pamornya. Hampir tidak ada ada lagi bentuk kesenian tradisonal yang mampu berdiri di tengah kehidupan ibu kota yang dinamis ini, mungkin dapat dikecualikan untuk sebuah gedung kecil di antara penuh sesaknya deretan gedung di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dimana di dalam gedung yang berpapan namakan Gedung Kesenian Bharata tersebut terdapat sekelompok penggiat seni pertunjukan Jawa yang mampu menghidupkan dan melestarikan salah satu kesenian tradisional dengan begitu kreatif. Wayang orang oleh tangan mereka diubah menjadi sebuah konsep teater kota layaknya teater Broadway di New York, Amerika Serikat, dimana wayang orang ditampilkan secara reguler setiap hari jumat dan sabtu dengan bentuk penampilan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi lebih terlihat kasual. Terbukti, semakin hari pertunjukan wayang orang di tempat ini semakin mendapatkan atensi dari masyarakat ibukota dan sekitarnya, bukan hanya para warga keturunan Jawa yang rindu kesenian daerah mereka saja yang menonton, melainkan beragam orang yang berbeda suku bahkan berbeda kewarganegaraan pun turut mengapresiasi seni pertunjukan ini.

Menilik dari sejarah seni pertunjukan budaya Jawa, mayoritas dipengaruhi oleh kisah Mahabharata dan Ramayana dari India yang telah berbaur dengan budaya lokal. Tetapi dari kedua sumber budaya ini, Mahabharatalah yang menjadi runutan hampir mayoritas seni pertunjukan Jawa seperti wayang purwa, wayang orang dan lain sebaginya. Mahabhrata memiliki inti cerita seputar konflik antara Pandawa dan Kurawa mengenai sengketa pemerintahan Negara Astiha yang puncaknya terjadi pada perang Bharatayudha. Mahabharata mulai populer di Jawa sekitar abad 10 masehi pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh ( 991-1016 M) dari Kediri. Lalu berkembang semakin populer dalam bentuk Kakawin atau bentuk puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa kuno. Pencipta kakawin yang paling terkenal adalah Mpu Sedah dalam karya Bharatayudha yang ditujukan sebagai persembahan kepada Prabu Jaya Baya diakhir pemerintahannya. Kisah Mahabharata ini mengilhami terciptanya beragam jenis kesenia daerah jawa seperti seni arsitektur yang terlihat pada candi, seni tari seni lukis, dan pertunjukan. Sumber-sumber Mahabharata diera kerajaan Jawa kuno banyak ditulis di daun lontar yang berisi tentang filosofi-filosofi kehidupan sosio-budaya-politik masyarakat Jawa.

Mengenai seni pertunjukan, akan dibahas tentang sejarah wayang orang dan perkembangannya hingga saat ini. Wayang orang pertama kali diciptakan oleh Kangjeng Adipati Arya Mangkunegara I ( 1757-1795 ), yang pada awalnya di mainkan oleh abdi dalem keraton dan bersifat tertutup. Wayang orang mulai memasyarakat ketika pemerintahan Mangkunegara V, namun masih terbatas ditujukan kepada kerabat dan pegawai karaton. Walaupun masih bersifat semi terbatas, ada usaha dari beberapa abdi dalem untuk memperkenalkan wayang orang kepada masyarakat sebagi media interaksi antara keraton dan rakyatnya. Akhirnya wayang orangpun dapat keluar dari tembok keraton ketika pemerintahan Mangkunegara VII ( 1916-1944 ), dengan pembangunantaman budaya Sri Wedari di Surakarta sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Setelahnya wayang orang terus berkembang secara komersial sejak tahun 1922.

Seiring perkembangan zaman dengan bertambahnya masukan pengaruh budaya-budaya dari luar, seni pertunjukan wayang orang mulai kehilangan pamornya di akhir dekade 90-an. Ketika itu wayang orang terkena imbas kisruh politik dan ekonomi yang melanda Indonesia yang menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk mengapresiasi bentuk-bentuk budaya karena harus berpikir untuk menyelamatkan kehidupan mereka di tenga krisis. Selain karena atensi masyarakat mulai berkurang, masalah klasik soal pendanaan juga menjadi masalah pelik kala itu hingga membuat seni pertunjukan ini menjadi pesimis untuk bangkit.

Kita patut berterima kasih kepada mereka-mereka yang masih mau melestarikan seni pertunjukan wayang orang ini dengan tulus walaupun tantangannya tidak bisa dibilang sepele. Salah satu penggiat yang melestarikan seni pertunjukan ini adalah kelompok Wayang Orang Bharata yang bermarkas di salah satu gedung di kawasan padat Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, dimana mereka berhasil menyajikan bentuk pelestarian yang dapat diterima dan eksis di lingkungan urban ibukota. Sebagaimana kita tahu, bentuk kesenian tradisional di Jakarta memang mulai menurun pamornya seiring dengan gempuran berbagai pengaruh modernisasi yang masuk, namun berkat kegigihan dan kreativitas mereka, akhirnya seni pertunjukan wayang orang ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Bentuk pertunjukan yang tadinya bersifat kurang terbuka dan cenderung konservatif dan sedikit mengandung improvisasi, diubah olehmereka menjadi lebih populer. Tema-tema yang diangkat memang masih berakar dari kisah Mahabharata dan Ramayana namun dengan sentuhan isu masa kini yang bersifat ringan sehingga cenderung menjadi lebih sebagai bentuk hiburan yang otentik dan kian minim filosofi.

Namun, keeksistensian wayang orang Bharata ini patut diapresiasi karena mampu kembali menggaet atensi masyarakat untuk menyimaknya. Mungkin inilah yang disebut sebagai bentuk hiburan alternatif di tengah hingar-bingar hiburan modern yang iu-itu saja, dan mungkin juga ini adalah bentuk penghapusan titik jenuh masyarakat urban akan kebutuhan hiburan. Dengan bentuk yang berbeda dengan mainstream hiburan saat ini, seni pertunjukan wayang orang Bharata menyajikan kisah epik budaya Jawa dalam visualisasi layaknya teater yang atraktif dan murah meriah. Memang pada umumnya yang menyaksikan wayang orang di gedung ini mayoritas adalah kalangan menengah yang bukan hanya berasal dari para keturunan Jawa yang rindu akan seni budaya leleuhurnya, melainkan juga apresiasi di luar etnis Jawa dan bahkan hingga orang asing yang menyebut bentuk kesenian sepeerti ini sebagai an extraordinary thing yang memiliki niilai otentik tinggi. Media juga turut berperan penting dalam memperkenalkan alternatif ‘hiburan’ ini kepada masyarakat luas, dan memang terbukti atensi masyarakat kian meningkat berkat pemberitaan tersebut.

Namun ada yang disayangkan dari kebangkitan kesenian wayang orang ini, karena beberapa aspek di dalamnya cenderung berubah menjadi minim filosofi dan pesan pembelajaran yang diberikan kepada para penonton. Seperti ketika pementasan Srikandi dan Larasati Kembar pada tanggal 7 Mei 2011 yang lalu, fakta ini terlihat jelas. Dikisahkan pusaka keris milik Arjuna hilang dicuri oleh dua orang yang menyamar sebagai Srikandi dan Larasati sehingga membuat dua perempuan yang tidak bersalah ini menjadi tertuduh atas peristiwa ini. Arjuna pun marah dan mengancam akan menceraikan Srikandi dan bahkan tak segan untuk membunuh mereka jika tidak segera mengembalikannya. Petualangan mereka yang diselingi dengan kemunculan dua kesatria muda, Gondang Jagat dan Gondang Dewa, yang ternyata merupakan anak kandung kesekian Arjuna hasil hubungannya dengan sekian banyak perempuan, kemunculan Punakawan yang walaupun berkarakter merakyat namun kurang menunjukkan fungsinya sebagai orang yang bijak (justru lebih banyak melawak) hingga tertangkapnya dua pencuri yang ternyata adalah sepasang saudara, Sriwati dan Sriweni (adik dari Kanjeng Prabu Witoko yang menjadi otak pencurian pusaka milik Arjuna tersebut) hingga kemunculan beberapa tokoh yang justru membingungkan alur cerita.

Di awal mungkin penonton banyak yang mengira bahwa jalan cerita akan bergulir pada perebutan kembali pusaka Arjuna yang dicuri tersebut dan menyampaikan pesan tentang filosofi kejahatan akan selalu dapat diberangus dengan kebaikan, namun yang didapat justru malah menjadi semacam humor, terutama di bagian-bagian mendekati akhir pertunjukan dan mayoritas lelucon yang dilontarkan juga minim makna sehingga menjadi agak rancu. Hingga akhir cerita pun, penonton masih menyimpan tanda tanya akan makna dari pertunjukan yang baru saja mereka saksikan. Mungkin ini dapat menjadi satu masukan penting bagi perkembangan wayang orang Bharata selanjutnya, supaya esensi dari seni pertunjukan ini tidak bergeeser dari nilai yang sebenarnya.

Diluar beberapa keluhan penonton yang diuraikan di atas, penulis sebagai salah satu penikmat seni pertunjukan ini turut mengapresiasi dengan positif akan keberadaan wayang orang Bharata di tengah urbanisme ibukota. Sebagai kelompok pelestari kebudayan Jawa yang independen (baca: minim dukungan pemerintah), usaha mereka pantas untuk mendapatkan acungan jempol karena berhasil membangun kembali reputasi pertunjukan wayang orang yang sempat terpuruk dan dengan kreatif mengolahnya menjadi sesuatu yang kekinian tanpa menghilangkan unsur keotentikannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun