Mohon tunggu...
Hafis Muaddab
Hafis Muaddab Mohon Tunggu... Penulis lepas, pendidik, dan relawan sosial -

Pembelajaran peradaban dan pejuang kemanusiaan www.hafismuaddab.com www.tebuirenginstitute.org

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Swasembada Gula: Manisnya Mimpi dan Pahitnya Kenyataan

23 Januari 2014   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390444288476488836

Sumber: http://commons.wikimedia.org/

Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Pada saat itu masih bernama Hindia Belanda pernah menjadi pengekspor gula terbesar didunia setelah Kuba pada kisaran tahun 1930-1940. Dengan jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000). Namun enam dekade berselang, saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor gula kedua terbanyak (Rusia sebagai peringkat pertama). Bahkan oleh Organisasi Gula Internasional (ISO) Indonesia diperkirakan akan menjadi negara importir gula mentah (raw sugar) terbesar di dunia pada periode 2012-2013 (www.tempo.co, 2012)

Industri gula merupakan salah satu agroindustri yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan karena posisinya sebagai salah satu komoditas stategis yang menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi dengan berbasis sumber daya nasional yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar internasional (Rindayanti, 2006).  Kebutuhan terhadap gula sebagai salah satu sumber kalori di dunia terus meningkat. Peningkatan ini dapat ditunjukkan dari pertumbuhan konsumsi gula dunia dengan laju 0,7 persen pada tahun 2005/2006. Konsumsi gula yang meningkat juga terjadi di Indonesia dengan pertumbuhan konsumsi mencapai 4,2 – 4,7 persen pada tahun 2009 (Roadmap Industri Gula, 2009).

Peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan dan perkembangan industri makanan dan minuman. Respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Akan tetapi, konsumsi gula mempunyai hubungan elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek (Susila, 2005). Sebagai contoh, jumlah penduduk tahun 2000 adalah 208.925 ribu orang mengkonsumsi gula sebanyak 2.507.100 ton dan pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah penduduk yaitu 220.982 ribu orang dengan konsumsi gula yang meningkat sebanyak 2.651.784 ton (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Hal ini menunjukkan perubahan jumlah penduduk menyebabkan perubahan konsumsi gula dalam jumlah yang besar terlebih berkaitan dengan posisi gula yang masih merupakan kebutuhan pokok.

Hasil-hasil studi seperti yang dilakukan oleh Kennedy (2001) dan Groombridge (2001) menyebutkan bahwa industri gula merupakan industri dengan tingkat distorsi tertinggi yang bersumber dari intervensi pemerintah.Berbagai negara utama melakukan berbagai intervensi kebijakan untuk melindungi industri gula masing-masing. Harus diakui berbeda dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia tidak cukup melakukan hal itu. Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai kebijakan untuk mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar 67% dari pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga subsidi atau price support yang didasarkan pada Farm Security and Rural Investment Act of 2002 (2002 Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan bantuan domestik (price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export subsidy), program re-ekspor (re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-in-kind. Sebagai contoh, kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor. TRQ merupakan kombinasi antara tarif dan kuota yang masih digunakan dalam kerangka liberalisasi perdagangan. Hal ini yang menyebabkan, harga gula di pasar domestik US jauh di atas harga gula dunia.

India yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap industri gulanya.  Salah satu landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential Commodities Acts of 1955.  Kebijakan pergulaan di India pada dasarnya ditekankan pada aspek produksi-harga dan distribusi-harga. Kebijakan produksi-harga yang diterapkan di India pada dasarnya mengacu pada konsep harga dasar.  Dengan kebijakan tersebut, pemerintah dengan berbagai lembaga pendukungnya menentukan semacam harga dasar gula untuk pabrik gula yang menjadi landasan untuk menentukan harga tebu petani (Pursell dan Gupta, 1997).

Industri gula Indonesia sekarang yang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Menyebabkan peningkatan volume impor, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun. Seiring penurunan areal tanam dan penurunan produktivitas (rendemen gula) dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999). Harga gula di pasar internasional yang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia.

Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia.  Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset  yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum, dan pemerintah. Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).

Langkah melakukan swasembada gula adalah keniscayaan yang harus penting untuk diwujudkan oleh pemerintah. Swasembada gula adalah mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional melalui produksi gula yang bersumber dari areal tebu rakyat (252.166 ha) dan areal tebu swasta (198.131 ha). Pada tahun 2002, program swasembada gula dirilis dan ditargetkan untuk menjadi dicapai pada tahun 2007, yang kemudian ditunda hingga 2008 dan lagi diperpanjang hingga 2009 dan sekrang dicanangkan hingga 2014. Target produksi 2,80 juta ton pada tahun 2009 meningkat menjadi 5,7 juta ton yang diharapkan dicapai pada tahun 2014. Data Kementerian Pertanian, produksi gula pada tahun 2011 mencapai 2.228.591 ton GKP, sedangkan perkiraan produksi gula pada tahun 2012 mencapai 2.683.709 ton.  Berdasarkan roadmap swasembada gula, estimasi kebutuhan gula nasional pada tahun 2014 sebesar 2.956.000 ton GKP (mediaperkebunan.net). Jangan sampai fenomena yang terjadi pada produk kedelai yang berprestasi tertunda dua kali (dari tahun 2008 hingga 2010-2015), terjadi pula pada produk gula nasional.

Sehingga wacana revitalisasi demi efisiensi pabrik gula milik negara, jangan hanya sebagai bagian dari pencitraan tanpa implementasi konkrit dan seakan ingin menunjukkan bahwa mereka telah berbuat sesuatu untuk industri ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin melakukan revitalisasi industri gula jika para pengimpor resmi komoditas ini adalah BUMN yang juga merupakan produsen gula dan pemilik perkebunan serta pabrik gula. Dengan disparitas harga antara produksi lokal dan impor, secara ekonomis akan lebih menguntungkan memasukkan gula impor dan mempertahankan status quo produksi gula sehingga harga bisa dijaga dan keuntungan besar tetap terjamin. BUMN yang di satu sisi diminta memberikan keuntungan, namun di sisi lain diminta menjalankan program-program pemerintah. Revitalisasi peran BUMN dalam hal perlu didukung  oleh peran pihak swasta yang selama ini tidak terlalu diperhatikan, yang terbukti mampu menjadi kekuatan dalam peta industri gula nasional. Efisiensi pengelolaan industri ini dengan sudah menerapkan penguatan hulu-hilir menjadi sinyal positif, bahwa industri gula nasional kita masih dapat bangkit. Semoga ditahun 2014 ini kita dapat menemukan harapan akan regulasi gula yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun