Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Televisi Corong Politik

27 Juni 2014   15:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:39 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Penulis teringat cerita sang kawan beberapa hari lalu. Gara-gara tayangan pemilu, dua orang tetangganya nyaris adu jotos. Kok bisa? Pemicunya ternyata berita televisi yang menyudutkan salah satu calon presiden (capres). Yang satu tidak terima, pihak lainnya malah bersuka cita. Terjadilah adu mulut yang hampir berakhir dengan adu tinju. Maklum, kedua pihak yang terlibat ketegangan itu masing-masing pendukung berat dua kontestan yang tengah bertarung pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Nah, Kalau sudah begini, siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Telunjuk rasanya pantas diarahkan kepada media (baca : televisi). Dalam liputan pemilu akhir-akhir ini, media seringkali mengabaikan prinsip cover both side (berita berimbang) dan konten beritanya cenderung provokatif.

Sebagai konsumen berita, kita tentunya prihatin dengan kondisi ini. Media seharusnya mematuhi prinsip-prinsip jurnalistik dengan menjaga independensinya. Tapi yang kita saksikan hari ini, media malah melibatkan diri di ranah politik.

Seiring dengan meningkatnya eskalasi pertarungan capres dan cawapres, media pun ikut meningkatkan intensitas beritanya. Berita yang jauh dari kata adil dan berimbang. Media sudah terang-terangan memihak kepada pasangan capres dan cawapres.

Bukan rahasia lagi jika sejumlah bos media di republik ini juga merupakan elit partai politik. Sebut saja Abu Rizal Bakri dan Hary Tanoesoedibjoyang masing-masing merupakan pemilik jaringan VIVANews dan MNC Group. Tokoh media lainnya yakni Surya Paloh si empunya Metro TV juga merupakan petinggi partai. Kita sama-sama tahu kalau para tokoh tersebut berdiri di kubu yang saling berseberangan pada Pilpres 2014 ini.

Sebelum menyoal lebih jauh ikhwal keberpihakan media, ada baiknya penulis mengajak pembaca untuk mendapat sedikit pemahaman mengenai peran strategis media. Salah satu kekuatan media massa adalah kepiawaiannya dalam mempengaruhi sikap dan perilaku orang/publik. Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu). Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat (Lindsey, 1994).

Begitu kuatnya peranan media, para politisi menjadikan kampanye di media sebagai prioritas utama. Kampanye politik di televisi dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan. Apalagi jika media mampu menangkap selera publik serta paham bagaimana menampilkan sang politisi di layar TV, maka semakin besar kemungkinan masyarakat akan bereaksi positif.

Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Nah, kekuatan media ini disadari betul oleh pemilik media yang notabene juga merupakan elit partai politik, sehingga secara sadar mereka mengatur isi pemberitaan yang senafas dengan agenda politiknya. Media menjadi mesin paling efektif untuk mendongrak citra kandidat presiden.Media akan “membantu” publik untuk memahami visi misi pasangan capres dan cawapres.

Sulit untuk tidak mengatakan jika media telah berafiliasi dengan kekuatan politik. Sesungguhnya kondisi ini sudah berlangsung sejak lama. Mari lihat sejarah. Di tahun 1968, Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon memenangkan nominasi partainya berkat liputan televisi. Banyak propaganda dilakukan demi agenda-agenda yang telah disusun sebelumnya.

Sangat disayangkan sebab kondisi ini terus berlanjut sampai hari ini. Di republik ini. Yang kita harapkan, media menyajikan berita yang steril dari agenda dan kepentingan politik tertentu. Tapi, yang kita saksikan media acapkali mengangkat berita bertema politik yang sangat tendensius. Sebagai contoh, jika ada kelompok tertentu yang berusaha melemahkan salah satu pasangan capres, maka media yang kepentingannya sejalan dengan suara yang memojokkan itu akan berusaha memfasilitasi. Soal benar atau salahnya berita, itu urusan belakang. Yang penting menayangkan beritanya dulu. Yang utama mempengaruhi publik dulu.

Effendi Gazali, pakar komunikasi, menyebut ada lima kebohongan media. Salah satunya, media sering membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkan data. Pendeknya, peristiwanya memang ada, cuma disajikan lebih besar, lebih dramatis, atau lebih kecil, atau dianggap tidak terlalu penting untuk diberitakan secara detail.

Media juga akan mewawancarai para pengamat guna melengkapi keyakinan publik bahwa media sedang tidak berbohong.Bahkan, kerap dibuat sebuah panggung yang seru, penuh dengan adu pendapat, tapi pada ujungnya diharapkan lahir suatu opini yang mengokohkan sikap suatu media yang perlu didukung.

Keberpihakan media makin kentara saja. Media televisi pendukung pasangan capres dan cawapres terus memborbardir kita dengan berita seputar figur yang dijagokannya. Melalui tim suksesnya, media berupaya memoles sang calon agar terlihat semenarik mungkin di mata rakyat. Apa yang dianggap sebagai kelebihan capres terus dibesar-besarkan, bahkan ditayangkan berulang-ulang. Ini dilakukan untuk mengunduh simpati rakyat demi menjaring suara. Sebaliknya, jika ada sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan atau kegagalan kandidat di masa lalu juga disiarkan secara berlebihan oleh media di kubu lawan.

Kita tentu masih ingat ketika salah satu kandidat dipanggil oleh otoritas pengawas pemilu terkait dugaan kampanye dini. Akibat tidak memenuhi panggilan pertama, televisi yang berada di kubu seberang menggunakan kata “mangkir” pada judul beritanya. Kata ini jelas ingin memunculkan kesan bahwa si kandidat abai atas panggilan tersebut. Beda dengan televisi lainnya yang berada di kubu sang kandidat. Judul beritanya lebih memilih kata : belum sempat hadir. Kata ini memang terdengar lebih halus. Media mencoba bermain bahasa untuk sebuah kepentingan tertentu.

Makin dekat 9 Juli 2014, porsi pemberitaan juga kian berat sebelah. Secara kasat mata kita saksikan bagaimana Metro TV memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak dan porsi durasi yang lebih panjang kepada pasangan calon Jokowi-JK dibandingkan dengan pasangan calon Prabowo-Hatta. Begitupun sebaliknya, TV One memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak dan porsi durasi yang lebih panjang kepada pasangan calon Prabowo-Hatta.

Seringkali media juga menyediakan panggung lalu menghadirkan pembicara yang suara dan pendapatnya lebih condong kepada kandidat yang dijagokan media tersebut. Keberpihakan media ini jelas ikut menambah panas tensi persaingan kampanye antara pasangan capres dan cawapres.

Cerdas Menyerap Berita

Sebagai konsumen berita kita dituntut lebih cerdas dalam menyerap berbagai informasi yang ditayangkan media televisi. Membangun kecerdesan bermedia dapat dengan cara selalu mempertanyakan dalam konteks apa, oleh siapa, dan untuk apa sebuah berita diturunkan.

Menurut Pakar ilmu komunikasi, Denis McQuail, secara teoritis, khalayak media massa dapat dibagi dalam dua golongan, yakni khalayak aktif dan khalayak pasif. Khalayak aktif mampu melakukan seleksi ketika mengonsumsi isi media massa. Pengaruh media bagi golongan masyarakat ini tidak perkasa. Namun, bagi masyarakat pasif, pengaruh media massa sangat kuat.

Publik seharusnya selektif memilih isi media dan kritis mengonsumsi konten berita jika mereka memiliki kemampuan media litercay (melek media). Jadi, dengan kemampuan melek media, publik akan menyeleksi tayangan televisi secara rasional dan cerdas, berdasarkan karakteristik tayangan.

Mengutip buku berjudul “Media Massa dan Masyarakat Modern” Edisi Kedua karya Theodore Peterson dan William L.Rivers-Jay W.Jensen, bagi masyarakat yang cerdas bermedia seringkali membangun kritik seperti ini :

“Media menggunakan kekuatan besarnya untuk mempromosikan kepentingan pemiliknya saja. Mereka bersiteguh pada pandangan-pandangan politik dan ekonominya sendiri. Mereka mengabaikan bahkan memberangus pendapat lain.”

“Media seringkali tidak akurat.”

“Media memberitakan lebih banyak daripada kejadian yang sebenarnya.”

Peran KPI

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga negara bersifat independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Peran KPI diatur dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 UU No.32/2002 tentang Penyiaran.

Dalam konteks peliputan pemilu, KPI harus mampu melindungi kepentingan publik dan netralitas isi program siaran jurnalistik. Contohnya, mengawasi siaran televisi mengenai jumlah durasi, jumlah frekuensi, dan pemberitaan yang harus adil dan berimbang. KPI harus menindak pengelola media yang tidak proporsional menggunakan siaran publik untuk kepentingan politik capres tertentu.

Mochamad Riyanto Rasyid, mantan ketua KPI Pusat (periode 2011-2013) melalui bukunya “Kekerasan di Layar Kaca,” mengatakan, tujuan dijatuhkannya sanksi pada hakikatnya untuk memelihara keseimbangan tatanan penyiaran dan melindungi kepentingan masyarakat (publik) yang terganggu oleh pelanggaran kaidah UU Penyiaran.

Media televisi berada di ranah publik. Karena itu, media seharusnya memposisikan diri di wilayah netral, menjaga integritas dalam melakukan peliputan dan menyajikan informasi. Konten siaran beritanya harus memberikan pencerahan pada masyarakat secara luas, bukannya mengkotak-kotakkan publik.

Sebagai konsumen berita tentu kita tidak mau menjadi korban kepentingan bos media dengan agenda politiknya. Jangan lagi ada korban seperti cerita kawan tadi. Yang kita harapkan, media kembali kepada tujuan awalnya, yakni memberikan informasi yang bernas dan bermanfaat dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalisme.

Wahyu Hidayat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun