Mohon tunggu...
Afridus Sonsi Sandru
Afridus Sonsi Sandru Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa yang suka menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peniadaan UN dan Bahaya Stigmatisasi

12 Mei 2020   10:51 Diperbarui: 12 Mei 2020   10:50 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peniadaan UN dan Bahaya Stigmatisasi

Beberpa pekan yang lalu pemerintah Indonesia menelorkan sebuah kebijakan yang tidak lazim dari biasanya. Pemerintah diketahui telah meniadakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2020 untuk jenjang SD, SMP, hingga SMA menyusul pandemi covid-19. 

Kebijakan ini dinilai sebagai sebuah langkah preventif untuk menekan laju penyebaran virus corona. Dalam surat edaran yang ditandatangani Nadiem Makarim 24 Maret 2020, peniadaan UN dikarenakan lebih mempertimbangkan kesehatan dan keamanan para siswa.

Dengan adanya kebijakan preventif ini penentuan kelulusan siswa SD, SMP, SMA/SMK sederajat pun diatur sedemikian rupa oleh pemerintah melalui departemen pendidikan. 

Tidak lagi berdasarkan perolehan hasil Ujian Nasional, melainkan berdasarkan kalkulasi nilai rapor pada semester-semester sebelumnya dan juga hasil ujian serta tugas selama menjalani pembelajaran daring.

Meskipun dinilai sebagai sebuah kebijakan yang protektif sekaligus solutif terhadap penyebaran virus corona, peniadaan UN tidak serta merta membawa efek positif terhadap para siswa lulusan dan keberlangsungan hidup masyarakat di tengah bahaya pandemi covid-19, tatapi menimbulkan sebuah problema baru yang tidak pernah disangka sebelumnya. 

Di masyarakat bertumbuh stigmatisasi terhadap para siswa lulusan tanpa UN. Stigma yang menyatakan bahwa anak sekolahan tahun 2020 adalah ‘angkatan corona’. Mereka lulus dari jalur give away, gratis, tanpa perjuangan.

Ada beragam komentar, cap, labeling, stereotip, serta ejekan dari warganet yang menyerang mereka setelah dinyatakan lulus sejak 2 Mei kemarin. Komentar-komentar negatif-destruktif  bertubi-tubi dialamatkan kepada mereka di medsos (seperti IG, FB, Twitter) bahkan di dunia nyata sekalipun. 

Perang kata-kata pun tak bisa dihindari dan ini menimbulkan chaos yang tak berujung. Stigma pun semakin mencuat di kala postingan, foto, status, vidio-vidio para siswa lulusan mengadakan euforia bersama.

Sesungguhnya bila dicermati, stigma serta labeling-labeling tersebut, hemat saya sangat tidak berdasar. Pemerintah telah menetapkan syarat-syarat kelulusan sesuai dengan UU Sidiknas (Sistem Pendidikan Nasional), bahwasannya evaluasi itu ada di tangan guru dan kelulusan ada di pihak instansi pendidikan yang bersangkutan dan keikutsertaan UN tidak menjadi syarat fundamen kelulusan ataupun syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kompas.com, 24/3/2020). Lantas mengapa dikatakan lulusan gratis?

Hemat penulis, terlepas dari pengaruh wabah covid-19, ada semacam penyakit sosial yang sedang mendera masyarakat kita saat ini, yakni sikap intolerant (dalam arti luas) yang berwujud pada tindakan menstigmatisasi orang lain (mencap atau melabeli).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun