[caption id="attachment_135247" align="aligncenter" width="640" caption="Mobil LANTAS Polda Jateng (dok. Ferry S)"][/caption]
Ada yang bilang harus jadi singa dulu biar tahu rasanya berburu ala singa dan menjadi rusa dulu biar tahu rasanya jadi buruan singa. Banyak tepatnya, oleh karena itu dalam penelitian ada yang disebut dengan observasi partisipan. Jika kita mengambil data dengan observasi saja, maka yang kita lakukan hanyalah mengamati subjek atau hal yang menjadi fokus kita, dalam artian kita berada di luar subjek atau hal yang kita teliti. Berbeda dengan tambahan embel-embel partisipan, maka kita dalam mengambil data turut serta dalam kegiatan, kehidupan subjek, atau apapun yang subjek lakukan, atau berada di dalam subjek atau hal/kondisi yang kita teliti. Paling tidak seperti itulah yang aku alami kira-kira 2 minggu ini, masuk ke dalam pusat markas besar kepolisian di Jawa Tengah, Polda Jateng membuat aku sedikit banyak tahu tentang polisi versi dalam. Ya, bagian psikologi memang merupakan bagian yang terbilang kecil dibandingkan dengan bagian-bagian lain di instansi pemerintah sebesar Polda, tapi menurutku cukup untuk mendeskripsikan sebenarnya seperti apa polisi itu. "Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat", mungkin slogan yang tidak terlalu asing bagi kita. Slogan ini biasa tertempel jelas di mobil-mobil LANTAS polisi. Tapi, apakah hal ini sudah benar-benar molisi lakukan?? Maka disinilah muncul banyak pertanyaan dan pergunjingan mengenai keberadaan polisi di tengah masyarakat, maka jawabannya biasanya akan terulang, hal-hal negatif yang selalu keluar.
Tapi sebenarnya, apakah memang benar polisi seburuk anggapan masyarakat selama ini? Mari kita coba lihat dari sudut polisi. Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa polisi dari DIT LANTAS (Direktorat Lalu Lintas), yang sering membuat masyarakat kecewa dan kesal, atau bahkan marah (biasanya karena proses tilang menilang) hanya 1/10 dari total seluruh anggota Polri dan polisi "nakal" ini sebanarnya hanya 1/10 nya lagi dari 1/10 tadi. Jadi bisa dibayangkan, hanya perbuatan sebagian kecil anggota Polri maka semua kena getahnya, dalam hal ini, media sangat berperan besar membangun citra buruk Polri. Pada akhirnya, ketika nama polisi saja disebut maka hal pertama yang kita bayangkan adalah sebuah profesi yang sarat dengan kekotoran, semena-sema, dan tak berperikemanusiaan. Sebagai tambahan juga, mungkin masyarakat tidak tahu banyak tentang undang-undang yang mengatur proses tilang menilang yang telah berlaku saat ini. Sebenarnya pemerintah sudah mendisainnya dengan sangat baik, sehingga dapat mengurangi tingkat kecurangan di lapangan. Jadi, setiap seorang polisi menilang seseorang, maka setiap catatannya akan terekam dengan jelas dipengadilan, mulai tanggal dan jumlahnya dan pada akhirnya nanti polisi yang bertugas tersebus akan medapat jatah beberapa persen dari total akumulasi dari pekerjaannya. Jadi hal ini memupus anggapan selama ini, jika polisi menilang seseorang maka uangnya akan langsung mengalir ke kantongnya sendiri utuh. Tak heran masyarakat kesal dan tidak terima kerena biaya tilang mahal malah masuk kantong polisi tersebut. Memang, dalam praktik di lapangan masih ada saja polisi yang "nakal", tapi mari kita lihat dari sisi yang positif, sudah ada usaha pemerintah untuk meluruskan hal itu. Mengenai kewibawaan polisi dan kepribadiannya yang kaku juga selalu bertentangan dengan masyarakat. Memang zaman dulu Polri selalu punya momok menakutkan dimasyarakat karena banyak yang menggunakan wewenang dan kekuasaanya untuk bertindak semena-mena. Pada akhirnya masyarakat malas ketika harus berhubungan dengan polisi. Yang lebih parah, dulu ketika kita, masyarakat melapor ke polisi biasanya akan dikenai charge atau biaya yang tentu membebani. Misalnya, ketika kita kehilangan motor dan lapor ke polisi, yang kita dapatkan apa? Apes, karena sudah rugi dan stres kehilangan motor, eh di kantor polisi melapor saja harus pake bayar segala, padahal kemungkinan motor kita kembali juga sangatlah kecil. Itulah yang membuat masyarakat malas melapor ke polisi jika terjadi sesuatu, kalau ga duit yang hilang, ya paling tidak akan diperlakukan layaknya tersangka. Tak heran kata polisi selalu membawa momok yang negatif.
[caption id="attachment_130391" align="aligncenter" width="663" caption="Suasana kantor Bagian Psikologi Polda Jateng ketika merayakan Lebaran Ketupat. Bapak yang duduk asik makan di ujung ruangan menghadap kamera adalah Kabag Psikologi AKBP Hary Prasetya M. Psi T (dok. Ferry S)"][/caption]
Tetapi dengan dilakukannya revolusi besar-besaran di tubuh Polri, hal seperti di atas tidak akan kita temui lagi sekarang. Ya, mungkin akan selalu ada polisi "nakal" atau "jahat" tetapi kita bisa ambil sisi positifnya. Di salah satu gedung bagian pelayanan masyarakat di Polda Jateng tertulis kata-kata seperti ini, "Kami tidak sempurna, tetapi kami berusaha." Mari kita lihat ini sebagai awal baru yang baik demi tumbuh kembangnya polisi di tengah masyarakat kita. Tentu kita rindu bisa bersahabat dengan sosok-sosok polisi, seperti orang Jepang yang menjadikan polisi seperti tetanggnya sendiri saking dekatnya. Jangan heran karena sebenarnya banyak polisi kita yang sangat ramah dan baik yang siap melayani kita selayaknya teman. Semoga bermanfaat ;)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI