Ngobrolin JKT48 emang ga bisa lepas dari fans JKT48 itu sendiri, selain popularitas idol group tersebut sangat berbanding lurus dengan basis para fans, ternyata ikatan diantara mereka memang begitu besar. Hari Senin lalu (05/08), ada satu hal yang menarik perhatian saya, twitter saat itu sedang rame-ramenya mengomentari pictwit seorang comic dengan salah satu member JKT48.
Komentar para fans beragam, tetapi yang muncul ke permukaan adalah perasaan mahfum akan hal tersebut, dan ada beberapa komentar fans yang malah memojokkan fans tertentu dengan komentar macam, “hati-hati bang, diancem sama wotalay”. Senada dengan hal tersebut, (sebut merk gapapa kali ye) pemilik akun @ernestprakasa juga ikut mengomentari, “si @kemalpalevi diancem segala macem cuma gara2 foto sama nabilah, kelakuan wota mirip FPI ye?”
Teman-teman sebagai fans ngeliatnya gimana? Cengir? Dongkol? Keki? Atau biasa aja? Fenomena model-model kayak gini tuh udah sering banget muncul, walaupun frekuensinya ngga sesering dulu. Jaman-jamannya JKT48 belum mainstream di layar kaca, fenomena yang berhubungan dengan fans ini udah sering dibahas, mulai dari mulut ke mulut, sampai pada tahap diskusi forum yang notabene isinya anak-anak berpendidikan semua.
Masih ingat ngga kalo jaman dulu para member JKT48 tuh masih boleh ngebales mention dari para fansnya? Sepele, tetapi ternyata dampaknya besar, katanya sih banyak fans-fans yang merasa cemburu tweet-nya ga dibales sama idolanya, sedangkan temen fansnya yang lain dibales. Dan tentunya dengan sangat menyesal, akhirnya JOT memutuskan untuk menghilangkan kebijakan bales-mention-fans tersebut sampe sekarang, sehingga akhirnya muncul istilah “no mention”, #kode, dan istilah-istilah lainnya.
Masih segar juga di ingatan saya, bagaimana fans juga sepertinya tega ngancem-ngancem para member, bahkan idolanya sendiri. Masalahnya sepele kaya di paragraf pertama, foto sama orang. Sepertinya fans tersebut ngga mau mikirin, orang tersebut siapanya member, bisa sodara atau temen deketnya kan? Buntutnya jelas, mulai dari tweet nyidir ala member sampai beberapa member yang sigap memberikan tweet klarifikasi, mungkin capek diteror oleh fansnya terus. Klarifikasi tersebut bukan hal yang sepele, itu pertanda ada major problem yang harus diluruskan kebenarannya, berarti mayoritas fans tentu ambil bagian dalam hal teror-meneror member tersebut. Alhasil, peraturan tentang upload foto diperketat, foto-foto yang “mengancam” dihapus, dan tentunya makin mengekang para member sebagai manusia yang bebas (susah ye jadi idol).
Apakah fenomena fans di Jepang juga kaya gini? Fans-fans AKB48 disana tuh kaya gimana sih? Saya juga bertanya-bertanya, tetapi melalui sedikit buku yang saya baca, sedikitnya saya mempunyai gambaran dan akan mencoba mendiskusikannya dengan teman-teman. Saya akan coba mengaitkannya dengan terminologi fandom di Jepang dengan pergeseran maknanya saat masuk ke Indonesia, mulai dari segi culture. Menarik ngga? Hehe.. Yuk kita lanjutkan.
Otaku-Idol: Terminologi dan Persepsi
Idol itu apaan sih? Menurut kamus Merriam-Webster, idol atau idola adalah, “a representation or symbol of an object of worship; a form or appearance visible but without substance”. Intinya, idol itu merepresentasikan sesuatu simbol yang ada tetapi secara substansi, tidak ada. Idol dalam terminologi japanese pop-idol juga sama-sama disembah, walaupun konteks penyembahannya berbeda. Hiroshi Aoyagi dalam tesisnya berpendapat, aidoru sebagai penyebutan jepang atas idol dilihat sebagai proyeksi persona publik sebagai objek konsumerisme masyarakat Jepang modern, dan tentu saja, idol secara sadar telah dibentuk dan didesain untuk tujuan konsumsi publik dengan profit-oriented (Aoyagi, 1999: 11).
Jadi sadar atau ngga sadar kita melihat idol sebagai bentuk yang kita imajinasikan masing-masing, karena, mereka secara substansi adalah kosong, imajinasi kitalah yang mengisinya, menjadikan bentuk idol sebagai obsesi yang lekat dalam hati tetapi sepertinya jauh dari jangkauan. Dalam hal ini, fans akan menganggap idol sebagai sebuah citra ketimbang realitas itu sendiri, dimana citra tersebut akan mengkonstruksikan sesuatu realitas, analoginya, walaupun kita tidak pernah merasakan kecelakaan mobil, melalui kecelakaan mobil yang diceritakan teman maupun media, kita membentuk persepsi kita sendiri tentang kecelakaan mobil tersebut, membentuknya menjadi realitas walaupun kita belum pernah merasakannya (Galbraith, 2012: 186).
Lebih lanjut lagi, penyebutan bagi orang-orang yang memiliki keantusiasan yang berlebih terhadap suatu hal, termasuk fans disebut otaku, seperti yang teman-teman tahu, otaku atau wota memiliki konotasi negatif dalam persepsi masyarakat, keantusiasan mereka diartikan sebagai indikasi geek atau “orang aneh”. Padahal menurut Saito Tamaki dalam Galbraith (2012), otaku itu didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap hal-hal yang secara konstekstual berbentuk fiksi (kyok¯o no kontekusuto) (Hal. 187).
Otaku diidentifikasikan memiliki objek “menyimpang” (pervert) tentang citra yang dibangun untuk idolanya, pervert dalam hal ini tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin atau sex belaka. Objek “menyimpang” tersebut lebih berbentuk hubungan intim yang fans tersebut bangun terhadap citra idolanya yang mereka bentuk, hal itu membentuk hasrat yang akan mengarah pada perilaku masyarakat konsumerisme dalam aspek kapitalis.
Setelah lebih paham tentang terminologi otaku dan persepsi mereka tentang idol, mungkin teman-teman sudah mempunyai gambaran, orang-orang seperti apa yang mendalami hobi idoling ini di Jepang. Teman-teman sudah pernah melihat LOD atau konser-konser AKB48? Teman-teman memperhatikan fans-fans yang menonton konsert tersebut? Walaupun hal ini belum bisa menjadi patokan, saya berpendapat jika mayoritas orang-orang yang mendalami hobi idoling ini memiliki range umur 21 tahun keatas, dan itu adalah target audiens yang mereka sasar.
21 tahun adalah proses dimana tahap adolescent sudah selesai, artinya tahap dimana kedewasaan sudah mulai muncul. Tahap tersebut membentuk pemahaman mereka tentang idol sebagai objek konsumerisme semata, mereka menyadari jika mereka ikut terlibat dalam mengkonsumsi citra muda, amatir, dan personal yang secara komersil telah dibentuk untuk para idol mereka.
Fans di Indonesia: Sebuah Grand Theory
Tepat dua tahun yang lalu, Yasushi Akimoto mengekspansi Asia dengan overseas project 48-nya, tidak tanggung-tanggung Indonesia menjadi negara pertama yang kebagian projek “mewah” tersebut. Voila, JKT48 pun hadir di Indonesia, lengkap dengan segala sistem kompleks yang meliputinya, mulai dari konsep idol group yang buat masyarakat Indonesia keblinger, penggunaan lightstick, sampai pada penggunaan chant/mix yang notabene masih asing dalam budaya sing along-nya masyarakat Indonesia.
Sistem-sistem kompleks kiriman Jepang tersebut secara masif telah dipakai oleh masyarakat Indonesia, sadar maupun tidak sadar, teman-teman menelannya mentah-mentah. Layaknya culture shock, dibandingkan individu yang masuk dalam lingkungan berbudaya baru, hal ini lebih kepada sebuah subkultur yang masuk dalam lingkungan sosial yang ruang lingkupnya luas.
Jepang secara detil memang mengkonstruksikan sistem budaya mereka tentang japanese pop-idol, maka dari itu aroma Jepang sangat terasa saat mendalami konsep ini, lalu bagaimana dengan lingkungan masyarakat Indonesia? Apakah konsep idol group ini akan memberi imbasnya dalam mengubah atau membentuk suatu fenomena baru di Indonesia?
Terlalu cepat saya bisa mengatakan, terlalu dini saya menyimpulkan, penelitian yang berkaitan dengan hal ini belum ada yang mengatakan secara spesifik apa imbas dari munculnya JKT48 sebagai induk semang dari Japanese pop-idol terhadap fondasi kehidupan mayoritas remaja di Indonesia. Menurut saya, ada pergeseran makna dalam mengartikan suatu konsep tentang idol antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Indonesia. Indikasinya muncul saat dibedakannya tiket antara pelajar dan pekerja didalam teater JKT48, disaat tiket pekerja ditaksir mencapai Rp 100.000,00 tiket untuk pelajar hanya mencapai setengahnya, range pelajar dalam hal ini adalah SD, SMP, dan SMA, sedangkan mahasiswa tidak masuk dalam hitungan.
Hal itu menandakan ada pergeseran dalam hal target audiens, Yasushi Akimoto mungkin menyadarinya, masyarakat Indonesia umur 10-17 tahun merupakan subjek dengan penghasil keuntungan yang besar di Indonesia. Kuncinya mungkin ada pada perbedaan persepsi fans Indonesia dan Jepang tentang gender wanita. Target audiens Jepang yang menganggap jika japanese pop idol hanya sebagai objek fantasi yang mempengaruhi perilaku konsumerisme, agak sedikit berbeda dengan di Indonesia, walaupun sama-sama memunculkan objek fantasi, masyarakat Indonesia agaknya kurang mahfum dengan konsep perilaku masyarakat konsumer juga japanese pop idol.
Ditambah lagi target audiens JKT48 yang mayoritas belum menginjak kedewasaan makin menggeser makna tentang konsep ini, terlebih lagi objek fantasi yang mereka munculkan mengkonstruksi realitas tentang hubungan intim yang bersifat pacaran, bukan hubungan intim yang bersifat maternal.
Sejatinya, hobi idoling pantas dilakukan bila individu-individu terkait memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, tidak serta merta mengambil keputusan prematur atas segala hal yang muncul di permukaan. Idol secara substansial memang merepresentasikan hal yang “tidak ada”, segala imajinasi atau citra yang membentuk mereka bisa dipandang sahih atau legal. Walaupun begitu, citra imajiner mereka dibangun beralaskan seonggok daging yang disebut “manusia”, mereka manusia bebas yang memiliki kemauan tidak terbatas, jika imajinasi teman-teman dalam idoling merusak eksistensi member sebagai manusia yang “bebas”, mungkin teman-teman harus berpikir ulang, mampu atau tidaknya kah teman-teman dalam berkecimpung di dunia per-idol-an?
Mengutip lagu JKT48 dari setlist Matahari Milikku, Aidoru Nante Yobanaide (Jangan Panggil Aku Idol) memang cocok mewakili keluh kesah para member, atau setidaknya teman-teman yang sudah mengerti akan dunia ini, “Seorang Idol juga punya cinta, Suatu saat kan sama, Dengan semua orang”. (MFA)
Sumber:
Aoyagi, Hiroshi. Islands of Eight Million Smiles. Vancouver: The University of British Columbia, 1999.
Galbraith, Patrice W. Idols: The Image of Desire in Japanese Consumer Capitalism. New York: Palgrave Macmillan, 2012.
Shimizu, Hidetada. Japanese Frames of Mind. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/idol
http://id.wikipedia.org/wiki/JKT48
http://aii48sza.blogspot.com/2013/05/lyrics-jkt48-idol-nante-yobenaide.html
Catatan Kaki:
Penulisan tentang fans Indonesia diatas masih berdasarkan ilmu mengira-ngira karangan penulis, penelitian yang tepat belum pernah atau sempat dilakukan. Penulis sangat menerima kritik dan saran, sumpah serapah maupun pujian. Penulis juga sangat menghargai jika ada orang yang tertarik untuk lebih mendiskusikan hal ini dengan penulis, melalui komentar dibawah ataupun melalui twitter (bisa dengan menfollow @xpajonx, penulis juga pengen eksis HAHA). Credit buat aii48sza.blogspot.com yang insya Allah mengizinkan saya copas lirik diatas, terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H