Mohon tunggu...
Muhammad Nurul Fajri
Muhammad Nurul Fajri Mohon Tunggu... -

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pagelaran Wayang Golek dan Penjual Obat

9 Juni 2014   21:17 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada hal yang menggelitik ketika saya pergi ke Pandapa Kuningan untuk menonton pagelaran wayang golek dalam rangka HUT Dispenda Kabupaten Kuningan beberapa waktu lalu. Bagaimana tidak, bukan pertunjukan wayangnya yang membikin saya tertarik untuk memperhatikan dan menikmati tiap detik permainan seorang dalang bernama Dadan Sunandar Sunarya yang kala itu menggantikan ayahnya, dalang tersohor Asep Sunandar Sunarya yang telah mangkat beberapa bulan sebelum hari pagelaran, akan tetapi pertunjukan para pedagang obat yang mampu menyedot hampir sebagian besar pengunjung yang datang kesana. Dalam menarik perhatian pengunjung, tukang obat tersebut mendemonstrasikan beberapa gerakan-gerakan yang sangat aneh dan terkesan mistik. Gerakan tubuh bak seorang dukun dengan segala macam yang berbau mistik dari mulai pakaian yang dia kenakan, hingga pernak-pernik macam ular sanca yang dikeringkan, kemenyan dan segala asesoris penunjang lainnya. Padahal produk obat yang dia jual hanyalah obat oles yang dia klaim mampu menyembuhkan berbagai penyakit kronis dan tentu saja penyakit-penyakit yang kerap kali mengusik keharmonisan rumah tangga.
Memang, demonstrasi penjual obat tersebut dipertunjukkan sebelum pagelaran wayang golek dimulai. Namun setidaknya cukuplah menjadi semacam intermezzo sebelum acara inti dimulai. Dari mulai anak kecil sampai yang berumur senja larut dalam setiap gerak mata sang dukun yang melirik kesana-kemari, mulut yang berkomat-kamit membaca mantra, dan tangan yang meliuk-liuk seraya menunjukkan produk obat olesnya kepada setiap mata yang memandang kearahnya. Semua orang yang berkumpul mengelilingi penjual obat tersebut seolah tersihir oleh pertunjukannya yang seakan memiliki daya magis yang mengikat siapapun yang menonton orasinya.
Menurut keterangan yang saya dapatkan dari seorang pengunjung, dalam setiap pagelaran wayang selalu saja diikuti oleh pertunjukan pedagang obat. Seperti telah terjalin simbiosis komensalisme dimana orang-orang yang terlibat dalam pagelaran wayang merasa tidak merasa untung dan tidak rugi atas kehadiran para pedagang dan justru sebaliknya, para pedagang obat merasa diuntungkan oleh adanya pagelaran wayang yang selalu menghadirkan jumlah massa manusia yang besar.
Saya tidak akan terlalu panjang membicarakan tentang bagaimana bentuk-bentuk demonstrasi si penjual obat dalam mengenalkan produknya atau pun hubungannya dengan para pelaku pagelaran wayang golek karena saya pun tidak terlalu memperhatikan pertunjukkannya dari awal sampai akhir. Akan tetapi tentang bagaimana fenomena ketertarikan yang begitu dari masyarakat terhadap hal-hal yang berbau klenik. Hal-hal yang bersifat ritus, dan segala hal yang berbau mistis dan magis.

Komoditas klenik
Klenik dalam hal ini mengacu kepada ritual-ritual adat yang difalsifikasi ke dalam kegiatan-kegiatan peribadatan purba yang identik dengan mitologi kuno tentang konsepsi ketuhanan. Atau yang dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti juga segala aktivitas perdukunan. Pertanyannya adalah: Mengapa hal-hal seperti itu begitu menarik perhatian masyarakat? Salah satu tak lain karena peran media massa juga lah penyebabnya. Tingginya intensitas penyiaran acara-acara televisi yang bertema hal-hal metafisik, ghaib, mistik, dan lain sebagainya menjadi semacam kode bahwa acara-acara tersebut memiliki nilai komersil yang menggiurkan. Coba kita hitung berapa kali dalam semingu siaran tv nasional kita menayangkan acara reality show yang berhubungan dengan dunia ghaib atau metafisik.
Proses produksi yang tidak seimbang akan melahirkan masyarakat dengan tingkat konsumsi tinggi yang oleh Theodore Adorno disebut masyarakat komoditas. Semakin dinamisnya komoditas selalu diiringi dengan apa yang dinamakan komodifikasi oleh culture studies atau kajian mengenai budaya. Maka tak melulu uji nyali yang dikedepankan, tetapi adapula kegiatan paranormal yang selalu mencari masalah dengan mendatangkan mahluk-mahluk ghaib semisal ifrit dan kolega-koleganya untuk berinteraksi dengan dalih menggali sejarah suatu tempat. Hal tersebut tak ayal membentuk sebuah tatanan masyarakat masa kini yang yang berjiwa masa kuno.
Kembali kepada permasalahan pertunjukkan si tukang obat, meskipun tidak ada latar belakang tempat yang menyeramkan ataupun fenomena orang kesurupan, namun dalam kenyataannya dinikmati para penonton dengan pembermaknaannya masing-masing. Jadi, mereka sebagai penonton sudah menjadi produsen makna itu sendiri. Mereka telah menghidupkan dunia ghaib ini dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sebenarnya gejala ekonomi budaya seperti inilah yang membuat tontonan “jelek” di televisi ini bertahan, karena “jelek” bagi yang satu bisa menjadi sangat bermakna bagi yang lain. Artinya, kategori “jelek” atau “bagus” melalui takaran akademik misalnya memang tak produktif, sebab yang “jelek” akan berarti jelek seterusnya karena tidak sesuai literatur (baca: buku) yang mereka pergunakan. Sedangkan pembermaknaan yang menyukai acara “jelek” tersebut, yang telah membuat diri mereka produktif dengan menggunakannya bagi kehidupan mereka sendiri, hampir selalu menjadi bahan cemoohan karena dianggap berada diluar wacana estetik atau penonton yang “berselera rendah”. Namun disinilah letak keadilan sebuah teori; bahwa penonton berselera rendah tadi tetap masuk dalam perbincangan dengan derajat yang sama tingginya.

Inikah masyarakat modern?
Kalau boleh saya mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer yang bunyinya; "di zaman modern ini yang berubah hanya peralatan dan cara hidupnya saja, jiwa manusia tetap tidak berubah dari masa ke masa". Mungkin saya setuju dengan ucapan sastrawan legendaris Indonesia yang satu ini mengenai cara pandangnya mengenai peradaban modern yang terjadi di negeri ini. Setidaknya hal inilah yang menggambarkan bagaimana potret masyarakat kita saat ini. Masyarakat yang hanya mampu membeli sebuah produk, tanpa mampu mengembangkan fungsinya.
Tanpa adanya sebuah kontrol media yang ketat dimulai dari diri sendiri dan keluarga maka sudah bisa dipastikan masyarakat kita hanya akan tenggelam dalam bentuk masyarakat periode pra-sejarah. Kita tidak perlu terlalu mengandalkan pemerintah dalam proses tersebut. Karena biar bagaimana pun dominasi modal bisa menaklukan segala dimensi kehidupan, bukan hanya kita sebagai rakyat biasa, bahkan pemerintah pun seolah tidak berkutik dan bertekuk-lutut dihadapannya. Selamat..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun