“Tampaknya pembelajaran kita semakin memihak dengan sumber teks yang kering. Minimnya teks hijau sebagai inspirasi dalam pembelajaran tak lagi menghiasi sumber belajar di bangku sekolahan. Mungkinkah ini petanda bahwa pesan pembelajaran kita semakin memberi jarak antara manusia dengan beningnya air kita? Mungkinkah juga ini menjadi tanda bahwa pesan pembelajaran kita semakin membangun jurang pemisah antara manusia dengan keasrian bumi kita?”
Secara struktur, sistem pendidikan kita cenderung ter-arah pada penggunaan teks-teks pembelajaran yang kering. Tersebut sejak dalam UU No 2 tahun 1989 yang hanya menekankan pada kajian ilmu bumi. Sedangkan kajian tentang tentang ilmu air dan kekayaan alam kita, tidak termaktub dalam kurikulum, tepatnya pada pasal 39.
Masih dalam struktur kebijakan pendidikan nasional kita, pengenaan teks-teks berdaun kering semangkin kentara. Hadirnya UU No 20 tahun 2009, telah semakin berani menghilangkan diktum kajian ilmu bumi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 36 dan 37, yang lagi-lagi tetap konsisten dengan peniadaan kajian ilmu air dan kajian ilmu kekayaan alam dari kaidah-kaidah sistem pendidikan pendahulunya.
Berangkat dari kebijakan struktur inilah, teks sumber belajar di bangku sekolah, semakin terkebiri dengan sentuhan teks sumber belajar yang mengkaji tentang bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Dan hal ini dapat ditafsirkan lebih jauh, tampaknya ada rekayasa, bahwa sistem pendidikan kita telah memutus keterhubungan dengan pasal 33 dan pasal 34 UUD 1954. Jika pasal 33 dan 34 merupakan konsekwensi dari tujuan didirikannya negara Indonesia, seharusnya, sistem pendidikan kita harus lekat dengan teks sumber belajar tentang bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang ada didalamnya.
Berdasar dari cara berfikir di atas, maka wajar, jika hasil lulusan sekolah kita, cenderung tidak memahami hakikat kebermanfaatan keilmuannya. Ilmu yang di dapat dari bangku sekolah, cenderung tidak menyuburkan tanah air kita. Dan wajar, jika lulusan-lulusan sekolah kita, cenderung mengeksploitasi kekayaan alam, tanpa berlandasan terhadap pasal 33 dan pasal 34. Artinya, yang penting mereka kerja dan dapat uang. Adapun tanggung jawab sosial terhadap fakir miskin adan anak yatim yang harus sejahtera bersama-sama, lepas begitu saja.
Untuk itu perlu ditawarkan model pembelajaran teks hijau. Pembelajaran teks hijau yang dimaksud adalah pembelajaran yang menekankan pada kegiatan membaca literatur ilmu bumi, ilmu air, ilmu udara, dan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang kekayaan alam kita yang ada didalamnya. Proses pembelajaran model pembelajaran teks hijau dapat dilakukan dengan cara model kunjungan. Sudah saatnya para Guru mengajak para muridnya ke atas gunung untuk memahami bumi. Sudah saatnya guru-guru kita membawa ke tengah laut dan ke sumber mata air, agar para siswa kita memahami air. Bawalah muridmu ke atas awan agar mereka memahami makna udara. Dan juga, para guru sudah saatnya mengajak anak didiknya untuk mengidentifikasi kekayaan alam kita yang mewah anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Lantas ke arah mana pesan dari model pembelajaran teks hijau? Model pembelajaran teks hijau harus dan berpangkal pada kebermanfaatan ilmu untuk kesejahteraan bersama. Pangkal pesan pembelajaran teks hijau juga, harus menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap fakir miskis dan anak terlantar. Bukan sebaliknya, lulusan-lulusan sekolah kita hanya mengejar dan menumpuk kekayaan, karena adanya kehawatiran yang terlalu dalam ketika negara tidak mampu menanggung kesejahteraan dirinya dan keluarga dekatnya.
Mari kita bersama-sama meneguhkan kembali bahwa tujuan pendidikan kita adalah untuk mencerdaskan bangsa Indonesia yang mampu menciptakan dan menjaga keadilan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H