[caption id="attachment_167592" align="aligncenter" width="468" caption="Ilustrasi: Google Image"][/caption]
Teringat perbincangan dengan rekan saya, Astri beberapa waktu yang lalu. Saat menunggu pesanan makanan datang, Astri sibuk mengutak-atik BB nya. Saya tanya kepada Astri, mengapa ia sibuk sekali dengan BB nya. Ia bilang, sedang menyortir pertemanannya di Facebook.
Menyortir pertemanan? Tanya saya. Astri menjelaskan ia memang sengaja memilih mana teman-teman Facebook-nya yang akan ia remove. Alasannya, begitu banyak teman Facebooknya yang hanya 'mengotori' berandanya dengan status-status tak penting yang isinya keluhan seperti "lagi pusing nih, lagi ngantuk, lagi bete, sebel, lagi males atau lagi bengong, lagi bokek! Belum lagi yang isinya umpatan/makian. Menurut Astri apa pentingnya status seperti itu dimasukan ke Facebook?
Saya sempat tertawa dengan 'action extrem' Astri itu. Saya pun berkomentar, apa perlunya me-remove mereka? Biarkan saja mereka membuat status sesuka hati mereka. Ternyata Astri tak sependapat. Ia benar-benar tak menyukai jika ada teman Facebook yang tak begitu ia kenal membuat status yang isinya hanya keluhan, status lebay, apalagi soal konflik rumah tangga.
Waduh! Status lebay? Saya banget dong! Pikir saya. Kemudian saya tanyakan lagi, apa saya termasuk salah satu yang akan ia remove? Mendadak ia tertawa sambil berceloteh "ngawur! Loe kan temen baik gue, bu! Masa sih gue tega remove loe!" Hati saya langsung lega. Jujur saja, saya pun termasuk orang yang suka sekali membuat status alay plus lebay hanya untuk ber-haha-hihi.
Astri kemudian menceritakan bahwa ia sering melihat teman-teman Facebook-nya mengumbar masalah rumah tangga mereka di Facebook. Kata Astri, "apa perlunya sih mereka curhat soal 'dapur' mereka ke media sosial? sumpah, gue koq malah jadi hilang simpatik ya sama orang yang seperti itu. Ini gak laki, gak perempuan! Malah pernah ada sepasang suami istri, keduanya gue kenal baik, mereka itu saling "perang" status. Isi statusnya bisa loe bayangin sendiri deh, gimana orang yang lagi kesal, kecewa, marah. Ya ampuun, bacanya aja gue sampe muak!"
Saya terbengong-bengong mendengar penuturan Astri. Suami istri "perang" status di Facebook? "Wah, seru banget tuh!" Sahut saya. Astri malah cemberut. Ia bilang, "Apanya yang seru, bu? Itu sama aja mereka membuka aib mereka sendiri! Apa mereka itu tidak malu status mereka dibaca oleh ratusan bahkan ribuan teman mereka. Belum lagi jika kebetulan tetangga atau kerabat dekat mereka ikut membacanya. Apa kata orang-orang itu nanti?"
Saya juga pernah melihat beberapa status curhat dari seorang istri di Facebook. Mereka rata-rata mengeluhkan soal pasangannya. Kemudian saya tercenung dengan kata-kata Astri tadi. Benar juga pendapatnya. Mengumbar masalah rumah tangga di media sosial sungguh perbuatan konyol dan memalukan.
Mungkin saja orang-orang itu menganggap status mereka sekedar meluapkan kekesalan terhadap pasangan dan berharap akan mendapat simpati dari orang lain yang membacanya. Namun mereka lupa satu hal, bahwa tak semua orang suka membaca status yang demikian. Bahkan penilaian terhadap rumah tangga mereka yang sedang bermasalah pun melekat pada mereka.
Perlu pula kita ingat, masalah rumah tangga kita bukanlah untuk dikonsumsi publik. Cukuplah antara kita dan pasangan saja yang tahu. Sedapat mungkin kita meminimalisir keingintahuan orang lain tentang gejolak yang terjadi dalam rumah tangga kita.
Sekesal dan semarah apapun kita terhadap pasangan, curhat di media sosial bukanlah pilihan yang tepat. Tak ada manfaat pula masalah kita diketahui publik. Bukankah kita tak ingin orang lain mencibir negatif perilaku kita? Jika kita memiliki masalah, sebaiknya mencari seseorang yang kita percaya untuk mendengar keluh kesah kita.