Mohon tunggu...
EGA JULAEHA JULAEHA
EGA JULAEHA JULAEHA Mohon Tunggu... -

ketika bercermin, mendapati dirinya sedang tersenyum. mensyukurikah? semoga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Sich Maiyah?

12 Oktober 2010   05:17 Diperbarui: 4 April 2017   17:42 3932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam teori, maiyah berasal dari kata ma’a, yang artinya bersama, beserta Ma’iyyatullaah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyyyah itu kebersamaan, Ma’anaa bersama kita. Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan (Andsisko dalam artikel “maiyah adalah.. (tafsir bebas)).

Mengutip Wikipedia, Maiyah berarti kebersamaan, pertama, melakukan apa saja bersama Allah. Kedua, bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan ekonomi. Maiyah sendiri secara “kata” muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, dengan menyebut beberapa kalimat : “Inna ma’iya rabbi”, menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. “La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma’ana”, Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar.

Dalam pemahaman, menurut Pudji Asmanto, maiyah itu adalah kita sebagai manusia, belajar menjadi penduduk surga, bersama-sama menghadirkan surga di Dunia. Diyakini surga di akhirat sana adalah tempat tinggal makhluk-makhluk pilihan Allah yang sudah barang tentu adalah yang telah “teruji” keimanannya. Di Surga sana sudah tidak lagi ditemui apa yg kita sebut penyakit hati di antara penghuninya, tidak ada iri, dengki, sombong, tamak, egois, “kuasa”, dan apapun itu yang merupakan wujud sifat syetan. Nah maiyah itu ya belajar menjadi penduduk surga, bersama-sama hidup harmonis dalam keberagaman, meminimalisir penyakit hati dalam persinggungannya berinteraksi dengan sesama mahkluk ciptaan Allah di dunia.

Tantangannya ke depan adalah bagaimana jujur ke dalam diri sendiri sebagai individu, dalam berinteraksi dengan individu lain sebagai makhluk social, sudahkah kita punyai kerendahan hati?. Kunci bermaiyah menurut saya adalah punyai kerendahan hati, tidak pandang bulu terhadap apapun dan siapapun, tidak timpang dalam memperlakukan apapun terhadap siapapun, bersama menghadirkan kebaikan. Kenapa kerendahan hati sebagai prasyarat utama? karena dengan kerendahan hati, setiap individu mampu menjaga diri dari lisan dan laku yang menyakiti hati orang lain. Bahkan, mengutip Juman Rofafif dalam artikelnya “Menjaga Perasaan”, Rasulullah SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati. Cak Nun pun pernah menguraikan bahwa seorang mukmin adalah, seseorang yang keber”ADA”annya tidak mengancam nyawa/jiwa, harta, dan harkat martabat orang lain.

Dari pemaparan di atas, dipahami bahwa, melalui kerendahan hati setiap individu mampu menjaga diri dari lisan dan laku yang dapat menyakiti perasaan orang lain. Dengan kerendahan hati, maiyah akan menemukan bentuknya yang ideal. Namun pertanyaannya kemudian, sudahkah kita benar-benar bermaiyah? sudahkah kita mampu menjaga perasaan orang lain? Atau jangan-jangan, maiyah dilakoni hanya sebatas pemahaman saja? berhenti hanya sampai hajatan-hajatan ritual saja?. Dalam interaksi social kadang “kotak-kotak” itu tak sungguh-sungguh terlihat, tak disadari makin mengkotak, tak lain karena setiap individu pada dasarnya dalam persinggungan sosial, sering kali dihadapkan pada “ketidaksukaan” akan sesuatu hal, manusiawi memang. Namun justru di situ tantangannya, apakah kita mampu bermaiyah dengan sesuatu hal yang tidak kita sukai, tidak cocok, tidak sepaham, berbeda, atau apapun itu. Mari ke arah sana, bermaiyah dalam perbedaan, jadikan perbedaan sebagai input dalam proses bermaiyah, Jangan malah menjadikan perbedaan itu hal yang dapat menjauhkan kita dari konsep maiyah yang sesungguhnya.

Mari kita mengaplikasikan konsep maiyah yang ideal ini ke dalam ranah praktek, dimana maiyah tidak disikapi hanya sebagai “label”, tetapi meresap ke dalam hati, dipahami, digali, dan diaplikasikan, terutama untuk kita-kita yang sering meneriakkan konsep maiyah itu sendiri. Dengan cara bagaimana? tentu ini tak mudah dituliskan, namun akan lebih mengena jika dilakoni. Mari bersama-sama berlatih menjadi penduduk surga, hadirkan surga di dunia melalui kebersamaan, mari bermaiyah. **ega**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun