Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dangdut Mengangkat Popularitas Wayang

7 Mei 2013   01:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:59 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13678627741635782764

[caption id="attachment_252536" align="aligncenter" width="528" caption="Penyanyi Nevi saat membawakan sebuah lagu dangdut dalam pagelaran wayang kulit (6/5/2013)"][/caption]

Malam itu dengan mengenakan kebaya putih, kain batik panjang dan rambut yang disanggul membuat penampilan Nevi sangat elegan. Menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan suara merdunya, penyanyi cantik dari daerah Karangdowo, Klaten ini seakan membantah anggapan sebagian orang kalau wayang adalah pertunjukan untuk kaum tua-tua saja. Tampil dalam pertunjukan wayang kulit, Nevi dan penyanyi lainnya berhasil membuat penonton khususnya kaum muda untuk datang menyaksikan wayang.

Tidak bisa dipungkiri kalau pertunjukan wayang kulit di masa sekarang kalah popular dengan campursari organ tunggal ataupun dangdut. Faktor biaya dan properti yang ringkes menjadi salah satu penyebab mengapa organ tunggal menjadi pilihan utama sebagai seni penghibur saat acara pernikahan, lahiran serta acara-acara lain yang ada di masyarakat. Sebagai alat musik modern, keybord bisa memainkan berbagai genre musik dari tembang-tembang Jawa klasik, langgam, campursari maupun dangdut. Kelebihan dalam variasi musik inilah yang menjadi alasan banyak orang kalau pertunjukan organ tunggal atau electone lebih ramai daripada wayang. Stigma dangdut sebagai musik yang merakyat menjadi faktor pendorong yang luar biasa kuatnya untuk menggeser wayang kulit sebagai pilihan hiburan pada masyarakat.

Fenomena inilah yang ditangkap para dalang dalam satu dasawarsa terakhir, dimana mereka mencoba menggabungkan dangdut dengan pertunjukan wayang kulit. Banyak dalang yang membawa organ tunggal dalam rombongan mereka menjadi pemandangan yang biasa di masa sekarang. Dengan memainkan musik dangdut dalam beberapa segmen pertunjukannya, wayang bukan lagi murni sebagai media pitutur tentang kearifan dari setiap jalan ceritanya melainkan berubahmenjadi media seni yang akhirnya bersifat hiburan semata. Hal ini disebabkan ada beberapa dalang yang dengan sengaja mengabaikan esensi cerita ataupun pakem pakeliran dengan hanya menonjolkan kehebohan penyanyi dan musik serta lagu-lagu campursari atau dangdut dalam pertunjukannya. Dan terbukti ini cukup ampuh untuk mendongkrak popularitas dari sang dalang tersebut. Dangdut inilah yang secara tidak langsung telah mempromosikan sang dalang pada khalayak luas sehingga mereka akan mengundangnya kembali untuk pentas di acara-acara lainnya.

Limbukan dan Goro-goro adalah segmen pertunjukan wayang kulit yang paling dinanti penonton karena dibagian itulah sering dipakai untuk menampilkan dangdut. Interaksi wayang dengan penonton menjadi lebih hidup dengan banyaknya permintaan lagu bahkan kadang kala terjadi antrian dari beberapa penonton yang ingin menyumbangkan suara dengan bernyanyi solo atau sekedar ingin tampil duet bersama biduan-biduannya yang cantik. Kelompok penontonpun juga didominasi para kawula muda. Animo yang begitu besar pada saat musik dangdut ditampilkan menjadikan porsi waktu yang lebih pada kedua segmen tersebut yang tentu saja mengurangi jatah waktu pada segmen cerita lainnya. Jalan cerita yang meloncat-loncat, inti cerita yang kabur adalah konsekwensi yang harus diterima bagi penikmat cerita wayang, apalagi durasi pertunjukan wayang sekarang semakin pendek karena rata-rata berakhir pukul setengah empat pagi. Sebagai catatan, disaat saya kecil masih sering menjumpai pagelaran wayang kulit yang berakhir pukul enam bahkan ada yang sampai pukul tujuh pagi.

Ada pergeseran trend bagian kemenarikan wayang jaman dulu dan jaman sekarang. Saya memang tidak mengalami era keemasan dalang kondang Ki Nartosabdo akan tetapi saya selalu terkagum-kagum pada beliau ketika sering kali orang-orang tua di daerah saya bercerita bagaimana mereka rela berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk menyaksikan pertunjukannya. Inti cerita yang utuh dengan dialog yang penuh emosional antar karakter wayang, itulah yang ingin dinikmati pada waktu itu. Bahkan ibu saya menangis ketika menyaksikan Ki Nartosabdo mementaskan cerita Samba Juwing. Walaupun sekarang hanya lewat rekaman kaset atau dari siaran radio, paling tidak saya juga bisa mengikuti kehebatan Ki Nartosabdo. Saya teringat ketika kecil dulu setiap kali dikampung saya ada pertunjukan wayang, saya selalu berpesan untuk dibangunkan saat perang kembang yakni segmen setelah goro-goro. Sebab dulu Limbukan atau Goro-goro bukan bagian yang paling dinantikan. Pada waktu itu penonton selalu ramai saat perang gagal dan perang kembang bahkan sampai tancep kayon karena ingin melihat sabetan sang dalang saat memerangkan wayang.

Tidak semua dalang jaman sekarang memasukkan musik dangdut dalam pertunjukannya, ada beberapa yang bertahan dengan ciri klasiknya. Biasanya mereka adalah dalang-dalang kondang yang sudah mempunyai reputasi tinggi dalam mewayang sehingga tidak lagi memerlukan media lain untuk mendongkrak popularitasnya kalaupun terpaksa memakai dangdut lebih banyak karena permintaan dari tuan rumah. Bahkan beberapa dalang yang genius berhasil mengawinkan nada-nada klasik dari gamelan dengan nada-nada yang dihasilkan dari alat-alat musik modern. Meski demikian, dalang-dalang kondang ini tetap saja berhasil membuat penonton selalu membludak walaupun tidak membawa serta rombongan organ tunggal ataupun dangdut. Sayangnya, mereka yang sudah berlabel dalang kondang ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan tentu saja hanya golongan orang mampu saja yang bisa mengundangnya untuk pentas karena berita yang tersiar di masyarakat bahwa honor mereka sudah mencapai angka di atas dua puluh juta rupiah. Tentu saja ini berbanding terbalik dengan para dalang di pedesaan yang di satu sisi bertarif minim tapi harus bisa tampil all out guna menarik penonton sekaligus promosi untuk karir mereka nantinya.

Beberapa kali saya menyaksikan pertunjukan wayang yang dibawakan dalang yang belum kondang akan sepi penonton bila mereka bergaya klasik tetapi penonton akan ramai luar biasa bila mereka memasukkan dangdut dalam pertunjukannya. Dan sampai saat ini keberadaan dangdut dalam rangkaian pertunjukan wayang telah menjadi pro kontra bagi sebagian pencinta pagelaran wayang kulit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun