[caption id="attachment_118229" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] PULANG kampung ke rumah mbah Kung selalu saja ada cerita. Setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman (termasuk halamannya pak Kampung) selalu ada kenangan yang tiba-tiba ikut terjaga dari tidurnya. Juga rumpun bambu yang masih saja rimbun di utara rumah mbah Kung ini. Suara berjuta daunnya yang saling bergesek karena keanginan, melahirkan desis yang melankolis.
Selebihnya, rumah tua itu tetapkan sama; di depan musholla ada berderet kembang 'kuping gajah', 'sri rejeki' sampai 'beras kutah'. Ia adalah sekadar nama bunga, walau yang mbah Kung suka hanyalah daunnya. Kuping gajah; berdaun hijau tua dengan garis-garis seperti sungai mengalir ke segala arah. Sri rejeki; lebih ramping penampilannya, rupanya dietnya berhasil. Beras kutah; agak ramping juga, dengan taburan warna putih di sekujur daunnya. Laksana beras tumpah.
( Foto saya yang nempel di raport SD)
Apalah arti sebuah nama. Lengkapnya lagi; apalah arti nama bunga. Karena ketika gemuruh 'gelombang cinta' yang beberapa waktu lalu melanda, saya selalu gagal menumbuhkan benih cinta kepada bunga. Kecuali satu saja; bunga turi. Yang saya tanam di depan rumah di Surabaya, yang benihnya juga saya impor langsung dari halaman samping rumah mbah Kung ini.
Masuk kedalam rumah, ada kesetiaan menempel di dinding di atas opening yang tembus keruang tengah. Foto presiden dan wakilnya. Bukti mbah Kung mencintai pemimpinnya. Hampir selesai dua periode kepemimpinan pak SBY, mbah Kung tetap saja setia memajang foto Gus Dur dan mbak Mega.
Masuk lebih ke dalam lagi, kamar. Disitu, di sebuah lemari tersimpan bertumpak kertas yang tanpa saya pesan apa-apa ke mbah Kung, bertahun-tahun tetap bahagia di tempatnya. Entahlah, kenapa mbah Kung tak tergoda untuk memusnahkannya. Paling tidak kertas-kertas itu bisa ditukar bumbu dapur ke warung sebelah. Karena ia bisa menjelma menjadi bungkus terasi, bawang putih dan semacamnya. Kertas-kertas itu adalah tulisan saya saat SMP dulu.
Dan membacanya lagi, jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya saya nulis begitu. Menulis surat cinta (monyet) yang beraroma salam Rexona. Juga kok bisa-bisanya saya menulis sebagai 'aku' yang selalu berselimut cinta dalam setiap cerita. Mengapa? Kemengapaan itu jawabnya satu; saya terbawa arus Anita Cemerlang yang selalu rakus saya santap. Lalu saya menjadi seakan-akan (me-nyeakankan diri?) pengarang kondang masa itu. Duh.
Masih di kamar itu, di kolong dipan juga tersimpan peralatan tempur mbah Kung. Aneka 'senjata' tersimpan dalam kotak. Maklum, mbah Kung adalah seorang purnawirawan. Ya, purnawirawan tukang kayu.
Saya masih asyik memelototi selembar demi selembar tulisan tangan yang selalu saya tanggali. Lengkap dengan bulan dan tahun menulisnya. Karenanya saya jadi gampang mengingat 'asbabun nuzul' tulisan saya. Pada tumpukan berikutnya saya menemukan buku kecil bersampul kuning.
Aha!, ini buku raport saat saya SD. Membuka halaman pertama, saya langsung terpesona. Ada foto saya, ukuran tiga kali empat. Ah, ini satu-satunya foto masa kecil yang berhasil saya temukan. Sudah usang memang, karena foto itu hasil jepretan lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
Saya pulang ke Surabaya membawa beberapa tulisan yang layak saya selamatkan sebagai kenangan. Ranking terpenting adalah, saya membawa foto usang dari raport saya. Saya ingin mengabadikannya. Saya ingin mencetak ulangnya.