Mohon tunggu...
Dedy Permadi
Dedy Permadi Mohon Tunggu... -

Dosen UGM dan Penggemar Agkringan Jogja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Prof. Rhenald Kasali, Istilah “Sharing Economy” Sepertinya Kurang Pas!

23 Maret 2016   19:15 Diperbarui: 24 Maret 2016   10:53 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Prof. Rhenald Kasali, Sumber: Tribunnews Aceh"][/caption]Saya selalu menikmati tulisan Prof. Rhenald Kasali yang bisa dipastikan tajam, kekinian, dan menggugah. Meski demikian, kali ini saya memberanikan diri untuk merespon tulisan beliau di Kolom Kompas.com kemarin, 22 Maret 2016, yang berjudul "Demo Sopir Taksi dan Fenomena Sharing Economy". Semoga dapat sedikit memperkaya diskusi kita tentang isu yang sedang menghangat ini. 

Pertama, saya kurang sepakat dengan penggunaan istilah “sharing economy”. Saya lebih nyaman dengan istilah “digital collaborative consumption”, yang selanjutnya saya singkat DCC.

Kedua, DCC  merupakan bagian kecil dari satu perkembangan yang lebih besar, yakni kemunculan “digital society”. Memahaminya dalam konteks yang lebih besar sangat membantu kita untuk mereproduksi solusi yang lebih komprehensif.

Ketiga, dalam logika yang lebih fundamental, fenomena-fenomena ini dapat lebih mudah dipahami sebagai konsekuensi dari penguatan “digital society” yang mendorong “perfect information” dan berujung pada “efisiensi”.

Mari kita diskusikan satu per satu. Sharing economy sendiri bukan merupakan istilah baru dan memang banyak digunakan untuk menggambarkan fenomena seperti yang dipaparkan Prof. Rhenald. Tulisan di Forbes, misalnya, pernah menggunakan istilah “share economy” untuk menggambarkan Airbnb; sedangkan artikel di Fortune juga menggunakan istilah “sharing economy” untuk menjelaskan Uber. Semuanya berasumsi bahwa istilah ini mampu mewakili aktivitas ekonomi yang bersifat “peer-to-peer-based sharing” dalam mengakses barang dan jasa baik secara konvensional maupun secara digital.

Bagi saya, jika aktivitas ekonomi itu melibatkan produsen dan konsumen yang terfasilitasi atau termediasi untuk melakukan proses jual-beli baik secara konvensional maupun digital, itu bukan “sharing” akan tetapi “selling/buying”. Konteks yang disebutkan Prof. Rhenald sebagai “tradisi orang tua kita yang hidup dalam sistem berbagi” memang lebih dekat dengan konsep “sharing”. Akan tetapi penggunaan aplikasi-aplikasi modern ini lebih dekat dengan konsep “selling/buying”.

Dalam hal ini saya lebih sepakat dengan tulisan di Harvard Business Review yang juga mengkritik penggunaan istilah “sharing economy”. Bedanya, mereka menawarkan istilah “access economy”, sedangkan saya mengusulkan istilah yang lebih spesifik yakni DCC. Sepertinya juga semakin banyak pengamat yang mengoreksi penggunaan istilah ini, seperti John Nughton yang sempat menuangkan kritikannya di the Guardian.

DCC saya pilih karena lebih mewakili fenomena riil di lapangan bahwa fenomena ini lebih sebagai proses “konsumsi” barang/jasa yang sifatnya “kolaboratif” dan “digital”. Dengan kata lain, ada kolaborasi antara 3 kelompok yakni sekumpulan penjual, fasilitator digital, dan pembeli yang bersebaran.  Nah, DCC, atau dalam istilah Prof. Rhenald “sharing economy” ini mampu menjelaskan fenomena Airbnb, Gojek, Bukalapak, igrow, dan sejenisnya, tapi belum mampu menjelaskan konteks yang lebih besar dan jenis aplikasi digital yang lebih beragam.

[caption caption="Digital Collaborative Consumption dalam Masyarakat Digital"]

[/caption]

Digital Society sebagai Konteks yang Lebih Luas
Suka tidak suka, kita sedang memasuki tatanan sosial baru yang bernama digital society. Meminjam GSMA Intelligence, digital society mencakup tiga pilar, yakni digital citizenship, digital lifestyle, dan digital commerce.

Digital citizenship menggeliat cepat, mewarnai dinamika hubungan negara dan warga negara. Tidak heran kalau Kemendagri disibukkan dengan pengembangan digital identity atau lebih familiar dengan istilah e-KTP. KemPAN-RB dan Kemenkominfo juga tidak ketinggalan dengan penyusunan roadmap e-governance. Sedangkan daerah-daerah berlomba-lomba menjadi jawara pengembangan e-services seperti e-health, e-rapor, dan sebagainya. Helen Margetts menyebutnya dengan istilah Digital Era Governance (DEG), yang menggeser kejayaan New Public Management (NPM) dalam dunia administrasi dan kebijakan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun