Prolog
Bicara tentang keadilan, semua orang pasti sepakat keadilan itu hanya memihak kebenaran. Bahkan, Keadilan dianggap sebagai satu-satunya prinsip hukum yang paling diutamakan di antara 2 prinsip hukum lain yakni kemnafaatan dan kepastian. Adil berarti mendudukkan sebagai mana mestinya (sesuai porsinya) suatu perkara. Sikap adil memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Hakim ibarat ‘wakil’ tangan Tuhan di muka bumi, dalam mengadili suatu perkara wajib mengedepankan prinsip keadilan. Namun bagaimana realitas pengadilan di Indonesia? Tengoklah kasus remaja pencuri sandal buntut yang terancam hukuman 5 tahun penjara! Dikutip dari suaramerdeka.com, AAL remaja berusia 15 tahun tak pernah menyangka jika sepasang sandal jepit butut warna putih kusam yang ditemukannya di pinggir Jalan Zebra, Kota Palu, akan menyeretnya ke meja hijau. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. links: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/02/105802/Ironis-Pencuri-Sandal-Jepit-Dihukum-Lebih-Berat-dari-Koruptor Lalu bagaimana dengan para koruptor yang telah mencuri uang milyaran rupiah? Sebut saja beberpa pelaku korupsi macam dengan terdakwa Budi Mulya dalam kasus korupsi pemberian FPJP Bank Century yang telah merugikan negara Rp 7 triliun dengan hanya vonis 10 tahun, terdakwa Indar Atmanto dalam kasus korupsi penggunaan jaringan telekomunikasi yang telah merugikan negara Rp 1,3 triliun dengan hanya vonis 8 tahun, atau mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq bersama rekannya Ahmad Fathanah yang menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama dalam kasus korupsi impor sapi yang hanya dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 milliar. Memang baik kasus pencurian maupun korupsi sama-sama mempunyai kesamaan yakni sama-sama mengambil barang milik orang lain yang artinya kedua perbuatan tersebut adalah “terlarang”. Namun adakah keduanya sama persis? Apakah sama hasil curian sandal yang harganya tidak lebih dari Rp 50rb yang hanya merugikan satu orang saja dibandingkan dengan hasil korupsi milyaran rupiah yang telah menyengsarakan lebih dari 200 juta penduduk di Negeri ini? Marilah kita tengok kembali!
Anda penah belajar “perbandingan senilai” dalam matimatika? Coba kita hitung kedua kasus tersebut dengan menggunakan perbandingan senilai. Jika pencuri sandal yang seharga Rp 50rb dihukum 5 tahun penjara, maka berapa lama seharusnya mantan presiden PKS Luhfi Hasan Ishaq yang menerima suap Rp 1,3 milyar dihukum penjara?
- Rp 50.000 = 5 tahun penjara, berarti Rp 10.000 = 1 tahun penjara.
- Rp 1.300.000.000 = 130.000*Rp 10.000, Itu artinya hukuman penjara LHI seharusnya “130.000 tahun penjara”, wow lama banget tuh. Kita ambil umur rata-rata warga Indonesia adalah 60 tahun, maka 130.000 tahun dibagi 60 tahun = 2.166,6. Artinya sebanyak 2.166,6 anak-cucu-cicit-dst dari keturunan Lufhi Hasan Ishaq harus menanggung dosanya. Wow benar-benar gila.
Hal ini belum termasuk implikasi sosial hasil dari perbuatan korupsi tersebut. Dan cobalah hitung, berapa Banyak rakyat Indonesia yang disenggarakan karena ulah LHI? Seribu rakyat, sejuta rakyat, 250 juta rakyat? Siapa yang tahu berapa pastinya? Jika unsur implikasi sosial tersebut dimasukkan berapa lama LHI harus dipenjara? Mungkin benar apa yang dikatakan oleh beberapa ahli hukum “idealis” yang menyatakan bahwa dosa hasil tindak pidana korupsi itu sampai 7 keturunan pun niscaya tidak akan habis mengingat korupsi adalah tindakan kejahatan “L-U-A-R B-I-A-S-A” destruktif. Lalu berapa lama penjara yang seharusnya Budi Mulya dan Indar Atmanto dihukum penjara? Dan faktanya, ICW mencatat bahwa mayoritas koruptor dihukum ringan hanya 1-2 tahun penjara. Links: http://news.detik.com/read/2015/03/16/171207/2860215/10/icw-mayoritas-koruptor-divonis-ringan-hanya-1-2-tahun-penjara
Seandainya hukum di Indonesia menerapkan asas hukum keadilan ini dengan sebenar-benarnya, maka tanpa menerapkan hukuman mati pada pelaku tindak pidana korupsi sekalipun niscaya para calon-calon koruptor itu akan ketakutan dibuat oleh hukum yang demikian. Andai hal itu nyata bukan sekedar mimpi belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H