Bukan mustahil bila diperkirakan ada puluhan juta bahkan mungkin ratusan juta pasang mata rakyat Indonesia telah menonton dan menyaksikan acara talkshow dalam program ILC di sebuah stasiun televisi swasta nasional tadi malam, bak pertandingan final sepak bola piala dunia saja, yang dihadiri oleh sejumlah tokoh dan pemimpin terkemuka Republik ini, di antaranya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantio, Aa Gym, Buya Syafii Maarif, Yeni Wahid, perwakilan MUI dan beberapa tokoh lainnya. Menyimak berbagai pendapat yang diutarakan para pembicara dalam pertemuan tersebut yang terkadang kelihatan sedikit memanas, telah menyisakan sejumlah pertanyaan dan persoalan yang patut diberikan catatan sebagai berikut:
- Sejumlah pemimpin nasional yang tampil saat ini, seperti Presiden Jokowi dan kedua Jenderal yang mewakili di forum tersebut hampir dapat dipastikan bahwa mereka menganggap dan memambayangkan serta harus menerima kenyataan (taken for granted) bahwa Lembaga Swadaya Msyarakat (LSM) yang bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah organisasi besar yang mewakili seluruh umat Islam, dan sesuai dengan namanya menjadi wadah bagi sebagian kaum ulama dan cendekiawan muslim. Apalagai pasca demo damai 411 tampak jelas bahwa MUI sebagai sebuah LSM “official” (karena dibiayai Pemerintah alias uang rakyat, tentu saja dari semua kalangan agama) telah berubah menjadi sebuah kekuatan raksasa --untuk tidak mengatakan “monster” atau meminjam istilah SBY menilai KPK sebagai “super body”-- yang “menakutkan”, jika ditilik dari sejarah atau riwayat kelahirannya.
- Ya, barangkali banyak orang, terutama para pucuk pemimpin nasional tersebut karena kesibukan mereka tak sempat membuka khazanah sejarah, tidak mengetahui atau lupa bahwa organisasi yang bernama MUI tersebut berdiri atau lebih tepat didirikan oleh (era) Gubernur DKI Ali Sadikin, sosok dan tokoh pemimpin fenomenal dengan salah satu gagasannya yang terkenal legalisasi judi, yang merupakan cikal bakal MUI (http://gitajaya77.blogspot.co.id/ ), bersama sekelompok ulama DKI di bawah pimpinan KH Abdullah Syafi’I, seorang kiai asal kampung Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan yang cukup ternama ketika itu, guna memuluskan (melegitimasi) atas rencana Gubernur DKI untuk memindahkan (kata lain mengusur) pekuburan Arab di Tanah Abang ke pinggiran kota, karena dinggap tidak efisien. Sedangkan masalah legalisasi perjudian yang oleh sang Gubernur dijadikan sumber penerimaan utama untuk membiayai pembangunan hampir tak tersentuh, satu dan lain hal karena seorang tokoh Islamdan diplomat senior Mr Moh Roem menyatakan “dapat memahami tentang kebijakan Gubernur tersebut.
- Dalam perkembangannya, sebagaimana diketahui bahwa eksistensi, fungsi dan peran MUI didayagunakan untuk menyukseskan program Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan secara massif dengan biaya yang cukup fantastis di zaman Orde Baru guna mengendalikan laju pertambahan penduduk di tengah pandangan dan anggapan masyarakat Indonesia bahwa program KB itu menyalahi kodrat Tuhan. Sejak saat itu si “anak macam” cikal bakal MUI yang semula lingkupnya provinsi DKI dan mengurusi orang mati dan judi, tiba-tiba tumbuh menjadi seekor macan dewasa dengan kekuatan raksasa yang sangat menentukan masa depan kehidupan bangsa, bahkan kesannya melebihi kekuatan NU yang didirikan ulama penjuang besar KH Hasyim Asy'ari dan konon juga merupakan ormas terbesar di negeri ini. Kendati harus diakui bahwa erkembangan tersebut adalah sebuah prestasi, namun para pembela NKRI patut mewaspadai secara lebih cermat, cerdas dan hati-hati, jangan sampai seperti kata peribahasa “seperti memelihara anak harimau”, setelah dewasa menerkam dan memangsa si pemelihara sendiri.
(2). Perdebatan kecil yang sempat muncul antara dua orang ulama, KH Ahmad AlKaff (?) dan Buya Syafii Ma’arif, lebih mempertontonkan ekspresi perasaan dua orang kakek yang sedang galau, terutama sang Kiai, dari pada suatu diskusi atau debat yang cerdas dan mencerahkan. Bagaimana tidak? Sang Kiai menyebutkan bahwa MUI merupakan satu-satunya perwakilan yang sah bagi kaum muslimin di Indonesia, terutama dalam penafsiran agama.
Sebuah statement “jumawa” (seperti memonopoli kebenaran yang justru sangat dihindari oleh ulama sekaliber Imam Syafi’i sekalipun) dan sikap “lupa kacang akan kulitnya, yang oleh sang Buya kemudian ditanggapi secara tepat sebagai “tidak memiliki landasan teologi yang kokoh”. Namun dalam waktu bersamaan sang Buya yang memang sudah mulai lamban rupanya kurang tangkas menjawab tepisan sang Kiai yang tidak terima dikatakan fatwa MUI memiliki kebenaran pasti, padahal pernyataannya tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan konsistensi.
(3). Aa Gym menyebutkan seraya menegaskan, tak heran kalau bersesuaian dengan bidang ilmunya, bahwa demo 411 kemarin merupakan “ungkapan rasa” .Jadi sesuai dengan sebutannya “unjuk rasa”, bukan unjuk akal atau rasio. Oleh karenanya, tepatlah ketika pakar hukum tata Negara Rafli Harun mendapat giliran bersuara antara lain sempat menyebut sekaligus mengingat soal sikap akademis yang seyogianya dimiliki oleh para cerdik pandai tak terkecuali kaum ulama agar lebih mengedepankan akal sehat dari pada rasa atau emosi dengan derajat yang lebih rendah, kecuali bila perasaan itu dikelola secara cerdas hingga mencapai tingkat kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (baca artikel: “Unjuk Rasa ala Nabi Muhammad SAW” di situs ini juga dan Agama dan Logika).
Sungguh ironi dan berbeda seperti bumi dan langit ketika MUI di bawah pimpinan Ketuanya yang pertama Buya HAMKA yang lebih memilih untuk melepaskan atau mengundurkan diri dari jabatan yang sangat mulia tersebut seraya mencabut satu fatwa mengenai hubungan umat Muslim dan umat Nasrani yang "terlanjur" (konon bocor) dipublikasikan demi keutuhan negara dan bangsa, dibandingkan dengan sikap dan langkah yang diambil MUI pada era sekarang ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI