Mohon tunggu...
Dini Ehom
Dini Ehom Mohon Tunggu... -

Mahasiswa ramah tamah, bukan remeh temeh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang Orang

20 Oktober 2014   15:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senin- 03.30 buta Ratih terjaga dari tidurnya. Sudah saatnya ia berpamit pada bantal dan selimut. Langkahnya beringsut keluar dari sebuah ruangan yang kepemilikannya atas nama orang lain. Ia pun masuk dengan sehelai handuk dan baju ganti ke kamar mandi, bukan kamar milik si mandi, bukan pula miliknya. Tak lebih dari lima putaran jarum terpanjang pada jam, ia sudah selesai mandi sekaligus berpakaian. Ia sadar benar, waktu bukan miliknya, jadi tak pantas rasanya disia-siakan.

Orang bilang hari Senin adalah hari yang sibuk. Baginya, setiap hari sama sibuknya. Hari-hari dalam satu pekan, hari ulang tahun, hari libur, hari kelulusan, hari pernikahan, Hari Tanoesudibjo, dan seluruh hari di antero dunia setara baginya. Tak terkecuali hari ketika ia tak lagi bermimpi. Itulah kenapa ia tak perlu berpamit pada mimpi tiap kali bangun tidur. Premisnya, ia tak pernah mencoba meng-anak-emaskan hari apa pun.  Alasannya sederhana, ia bukan pemilik hari.

Setelah merapikan dua ruangan: ruang makan dan ruang tamu, dalam rumah yang telah menjadi persemayamannya sejak 14 bulan lalu itu, ia menyiapkan sarapan. Di dapur, ia mulai sibuk mengiris satu siung bawang putih, memotong sosis, lalu menuang susu ke dalam 2 gelas tinggi satu per satu. Sibuk, hati dan pikirannya sangat sibuk. Sampai-sampai ia tidak menyadari sepasang tangan bergelayut di pinggangnya, dan seketika seseorang mengecup pipinya dari belakang. “Selamat pagi, sayang”. Itu yang dikeluarkan bibir tadi setelah melakukan aksi kecup dadakan. Lalu, sang suami beranjak tanpa menunggu kalimat balasan dari istrinya. Ia tahu betul, istrinya paling-paling hanya tersenyum tanpa kata atau pun basa-basi. Ya, istrinya memang tersenyum tapi bukan untuk sang suami, melainkan untuk fantasi yang sedang ia putar dalam ingatannya, layaknya film dokumenter.

***

“Aku ingin jadi pilot, Bu. Pasti menyenangkan bisa keliling dunia dan gratis”

“Sayang, pilot itu laki-laki. Mana bisa kamu jadi pilot”

“Lalu jadi apa, Bu? Aku ingin keliling dunia”

“Hmm.. mungkin pramugari”

“Apa itu?”

“Perempuan cantik, tinggi, langsing, kulitnya mulus tak bergores sedikit pun. Ia ada di kapal terbang, melayani penumpang, memberi tahu cara duduk yang baik, atau menawarkan makanan”

“Waw! Aku jadi pramugari saja ya, Bu.”

“Nah, lihat lututmu, Tih. Mana bisa jadi pramugari kalau seperti itu, hahaha”

Gadis 5 tahunan itu melirik sepasang kakinya. Ada banyak bekas luka disana. Bekas jatuh dari sepeda, terkena knalpot,  terantuk batu, dan tergores ranting ketika memanjat pohon.

“Huh. Tapi bekas luka ini akan hilang saat aku besar nanti”

Ia memprotes.

“Haha, iya Ratih sayaang,” sang Bunda pun mengalah.

***



Orang benar tentang usia remaja. Tentang masa yang paling indah, tentang kisah kasih di sekolah, tentang masa yang berapi-api. Itu 98% benar menurutku. Setidaknya aku merasakan juga dulu, di mana mimpi seperti tak terkendali. Ya, dulu aku bebas bermimpi tanpa tahu rasanya sakit ketika jatuh dari angan setinggi itu. Hanya mimpi-mimpi yang membuatku semangat berlari, mengejar apa saja yang mereka anggap tak pasti ujungnya. Sampai suatu hari, kutemukan jiwaku, gairahku, obsesiku, ya, cita-citaku. Aku tergila-gila pada Fotografi. Aku ingin menjadi fotografer seperti om Darwis Triadi. Ia keren, menurutku. Kendati orang tak akan tahu nasibnya akan semujur sekarang. Aku sih tak peduli, tapi Ibu peduli.

“Mau sampai kapan hatimu terpaut disitu? Itu bukan duniamu, bukan dunia familimu,” ujar Ibu di telepon, tetap dengan suara yang lembut.

Tadinya kupikir perkembangan zaman sepesat kini akan membuka mata pribumi hindia, termasuk Ibu, bahwa kebenaran pepatah klasik tentang dunia yang tidak selebar daun kelor, patut diyakini. Dunia ini luas, sangat luas. Ada banyak cara untuk bisa berkeliling negeri. Ada banyak jalan menuju kesuksesan, dan ada banyak definisi untuk kata sukses itu sendiri. Setiap jiwa telah merdeka. Kita bebas berpendapat, mengkritisi, memilih jalan hidup, atau bahkan memilih jalan mati. Ah, rasanya, darah pengecut terlanjur diwariskan kepada Ibu, dan Ibu kepadaku.

“Ibu tahu sampai kapan hatiku terpaut di sini,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Ya, Ibu tahu aku akan berhenti saat ia melarangku. Hei mimpi, mereka bilang kau bukan duniaku, bukan dunia moyangku, dan aku cukup tahu diri atas segala perkara yang bukan milikku. Nah, sekarang bersiaplah. Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri. Sekarang, bersisa jiwaku yang terlanjur berpautan denganmu.

***

Tiga bulan menjelang pengumuman kelulusan, para siswa sudah mendapat kursi di perguruan tinggi pilihan masing-masing. Beberapa diantaranya bahkan mengadakan syukuran kecil di sekolah sambil membagikan amplop untuk para guru yang dianggap telah berjasa banyak. Semuanya semringah. Aku sendiri heran, bagaimana mereka bisa semringah padahal belum juga tentu dinyatakan lulus. Setelah lulus dan kuliah di Universitas bonafit, belum juga tentu mendapat penghidupan yang layak. Kalau pun beruntung mendapat penghidupan layak, belum juga tentu mereka bahagia. Dan jika memang bahagia, bisa saja terpaksa. Jadi pilih jadi pecundang sekarang atau terkecundang esok? Hahaha hidup ini cuma wayangan, Kawan! Kita berlakon sesuka dalang! Semua wayang milik dalang!

Kububuhkan banyak tanda seru di penutup tulisanku kali ini. Dengan satu “klik” pada tombol publish, paragraf-paragraf itu legal dibaca siapa pun: pengunjung blog ku. Ya, aku memang tidak banyak bicara, tapi aku suka bercerita. Aku mulai mengenal blog dan keranjingan meluapkan emosi-positif-negatif disini. Aku tidak punya banyak teman di sekolah, tapi diam-diam aku punya pembaca setia. Itulah salah satu sifat istimewa media dalam dunia maya: menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Tak heran jika tulisanku di blog banyak dikomentari oleh orang-orang yang sama sekali belum pernah kujumpai. Juga pada postingan kali ini, sepertinya beberapa pembaca antusias sekali membahas topiknya. Sedikit kukutip komentar mereka untukmu:

Aburijal Banci mengatakan:

Hahaha ane jadi inget lagunye Nike Ardila, dunia ini panggung sandiwara.. Kalo dipikir, emang iye kita idup udah ade yg ngatur. Nggak ade yg jamin kite sukses, gagal, bahagia atau merana. Kite cuma pelakon, persis Wayang! Ane blogwalker gan, kapan2 mampir yee..

Dewi Athena mengatakan:

Cara berpikir teman-temanmu pincang. Mereka idealis tapi tidak realistis. Saya mahasiswi semester akhir di Universitas yg sama sekali tidak bonafit, tapi saya sudah diterima bekerja di Media Indonesia. Pada akhirnya nasib yang menuntun kita, salam kenal :)

Pencari Ilmu mengatakan:

Nice Post!! Jempol banget! Temen2 gue sama. Baru keterima di ITB aja acara syukurannya nyampe 7 hari berturut-turut. Padahal, bisa masuk belum tentu bisa keluar wkwk :D

Semesta ruangku mengatakan:

Aku suka hidup dianalogikan dengan kata “Wayangan”. Belakangan baru tau artinya pertunjukan wayang >,< Terus menulis, Wayang Orang !! Btw, lu cewe apa cowo sih?

Cinderellaaaa mengatakan:

Jadi pecundang sekarang atau terkecundang esok? Sama aja kali -___-

***

Siapa mengira aku bisa duduk di sini bersama ratusan manusia yang sebentar lagi bergelar sarjana kedokteran. Ya, siapa mengira? Dalam mimpi pun aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang dokter. Aku hanya ingin berpetualang bersama kotak hitam bernama kamera. Mengabadikan setiap momen dengan lensanya. Tapi, ya.. kau tahu, tak ada angan yang terwujud begitu saja. Aku tidak pernah mendaftarkan namaku ke fakultas fotografi mana pun, sebaliknya aku membiarkan berkas nilaiku dialamatkan ke fakultas Kedokteran UI – hasil persekongkolan pihak Sekolah dan Ibu. Aku tidak menanam apa-apa, maka aku tak akan menuai apa-apa. Kini, aku sudah memakai kostum yang belakangan kusadari lebih mirip jubah Harry Potter ketimbang busana wisuda. Aku lulus dengan nilai yang hampir berada di garis rata-rata. Persetan dengan predikat kelulusan, keluar dari sini saja cukup bagiku dan bagi kematian jiwaku. Jiwa yang merindukan mendiang mimpinya, kini menyusul mati.

Suasana haru semakin membiru ketika namaku dipanggil. Ibu mencium keningku sebelum melepasku beranjak untuk segera menuju pusat segala pandang: panggung. Aku berjalan menuruni satu per satu anak tangga pada tribun yang cukup jauh dari panggung, ya disitulah tempat para pecundang seperti ku. Aku berjalan telanjang tanpa jati diri. Secuil demi secuil idealismeku rontok, meranggas habis ketika sampai di panggung. Beginikah rasanya gagal memperjuangkan mimpi? Tukang potret - aku malas menyebutnya fotografer - di sudut kiri panggung memberi isyarat agar aku melebarkan senyum. Ya, aku menurut. Aku telah kalah, sebab itu aku menyerah. Mulai hari ini aku bukan pemilik senyumku sendiri.

***

“Tante, nanti pulang sekolah kita mainan boneka wayang lagi yuk!” seru seorang gadis yang kalau tidak salah usianya baru menginjak tujuh tahun.

“Panggil Mamih dong, Nada sayang. Jangan Tante,” ujar sang Ayah merevisi.

“Masa aku punya dua mamih, Pih? Lagian Mamih di surga nanti ikutan nyahut kalo aku panggil tante Ratih, Mamih,” timpal gadis itu memprotes.

Perdebatan kecil ini sungguh mengusik wanita yang sejak tadi asyik berfantasi. Wanita yang sejak setahun lalu menjadi istri seorang duda beranak satu. Wanita yang belakangan kusebut Aku.

“Sudaah,” kataku lembut seraya menarik lengan kecil sang gadis yang telah berseragam rapi.

“Nada, boleh panggil tante apa saja,” bisikku pelan tentu dibarengi senyum andalan.

“Aku panggil wayang aja ah, hihi” kata gadis itu sambil tertawa polos. Aku bersumpah, tawanya benar-benar polos. Ia bahkan tak tahu sakralnya kata wayang dalam hidupku, dalam wayanganku. Tatapan polosnya merefleksikan seberkas harapan. Akankah ia yang nantinya membebaskanku dari kemelut ini? Kemelut pernikahan dengan seorang lelaki kaya raya pilihan Ibu, yang sama sekali tidak mengizinkanku berpraktik sebagaimana dokter lainnya. Atau gadis inilah yang justru akan menjadi dalang baru dalam hidupku? Sedetik kemudian, kusadari bahwa selamanya aku hanyalah sebilah wayang orang. Hidup dengan bayang-bayang asa yang kian hari kian kabur.

Maka, cepat-cepat ku abaikan pikiran bodohku tentang wayang. “Memangnya tante mirip wayang?” tanyaku tanpa bermaksud mengalihkan tema pembicaraan.

“Engga sih, tante cantik. Mirip mamih. Aku panggil Mamih aja ya?”

Dan aku tersenyum. Aku tahu penawarannya barusan bukan bentuk negosiasi. Tak ada yang dapat kuungkap selain kalimat persetujuan. “Iyaa sayaaang,” ujarku, lalu kucium pipinya seperti seorang ibu ketika hendak melepas putrinya pergi ke sekolah.

***

Mentari naik sepenggalah. Rumah mewah itu kini tampak sepi ditinggal pemiliknya pergi bekerja. Putri mahkota sedang menuntut nilai di Sekolah Dasar. Satu-satunya makhluk berwujud manusia yang bersisa di sana adalah aku. Ku tahu inilah waktuku. Aku berjalan menuju pintu yang seolah bertuliskan: Pintu Kehidupan. Di bawah tulisan tadi dengan ukuran huruf yang lebih kecil seperti tertulis peringatan: Dalang dan Wayang Dilarang!. Setelah semua tak menjadi milikku lagi, kamar ini satu-satunya yang kuakui sebagai hakku. Aku membuka pintu, masuk ke sebuah kamar kosong di lantai tiga itu, lalu kututup kembali pintunya. Aku kehilangan diriku, atau justru menjadi sebenar-benarnya Aku.

Disini lah aku bertahta

Menjadi ratu, melakukan apa yang kumau

Menjelma Tuhan, bila perlu

Di sini lah tempatku

Tempat dimana ragaku hanyalah milikku

Tak ada dalang, tak berwujud wayang

Hanya aku.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun