Filosofi Kopi
Judul: Filosofi Kopi, Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis: Dee
Penerbit: Truedee Books, GagasMedia
Cetakan: Keempat, April 2006
Genre: Fiksi Cerpen
Filosofi Kopi adalah buku kedua Dee yang saya baca setelah Perahu Kertas . Dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya, gaya Dee bertutur masih tetap indah dan mengalir. Sederhana. Ketika seorang Goenawan Mohamad berkata, Jika ada yang memikat pada Dee adalah cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus bukan hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona, maka saya sangat setuju dengannya. Meskipun tak semua ide cerita di buku ini bisa saya sukai, tapi gaya Dee tetap saja nikmat, senikmat menyesap susu coklat di senja hari.
Buku ini versi sampul lama yang masih berwarna hitam. Buku ini berisi 18 kumpulan cerita dan prosa Dee selama satu dekade tahun 1995 sampai 2005. Cerita yang paling saya suka sudah pasti adalah Filosofi Kopi yang berkisah tentang dua sahabat karib, Ben dan Jody, bersama suka dukanya mengelola kedai kopi yang unik. Tentu saja unik, sebab setiap pelanggan bisa menemukan dirinya sendiri di sana berdasarkan filosofi kopi yang mereka pesan. Itulah mengapa kedai mereka diberi nama Filosofi Kopi.
Ben adalah seorang barista andal yang sangat mencintai kopi. Ia bahkan berkeliling dunia untuk menyicipi kopi-kopi terenak yang pernah ada. Ia selalu senang mengajak pengunjung kedainya ngobrol seputar kopi, menunjukkan cara minum kopi yang nikmat, lalu dengan keajaiban kopinya, setiap pengunjung akan dibuat takjub setelah menyesap kopi-kopi mereka. Sedangkan Jody adalah pria dengan kemampuan manajerial dan akuntansi yang andal. Jadilah mereka dua sejoli yang saling melengkapi.
Suatu hari, Ben merasa tertantang oleh tawaran seorang pengunjung kedainya untuk membuat kopi yang sempurna. Berhari-hari ia tak peduli akan banyak hal kecuali percobaan demi percobaan racikan kopinya. Dan suatu hari, perjuangannya itu terbayar. Ben Perfecto akhirnya lahir dan menjadi kopi paling enak di kedainya, bahkan di dunia seperti pengakuan Ben. Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup, begitulah arti kopinya.
Tapi tampaknya peribahasa, Di atas langit masih ada langit, itu berlaku pula pada kopi Ben. Ada kopi lain yang lebih enak dari Bens Perfecto. Namanya kopi Tiwus, yang diracik oleh seorang bapak di sebuah desa nun jauh dari Jakarta. Ben merasa kalah dan nyaris saja menutup kedai kopinya. Lalu apa yang terjadi kemudian? Tak ada yang sempurna di dunia ini.