Berkaca pada rangkaian pelaksanaan pemilu 2014 lalu, sejumlah pelanggaran kampanye menemukan pola baru yakni dengan menggunakan media dunia maya. Kampanye pemilu lazim digencarkan melalui serangan darat dan udara. Serangan darat adalah metode kampanye konvensional tetapi diyakini optimal dengan komunikasi langsung. Serangan udara menjadi metode kontemporer dengan memanfaatkan berbagai media. Salah satu bentuk media yang paling mutakhir digunakan adalah media virtual, seperti website dan media sosial. Kementerian Kominfo RI mencatat pada tahun 2013 pengguna internet mencapai 71,19 juta orang, Facebook 65 juta orang, dan Twitter 19,5 juta orang di Indonesia.
Direktur Lembaga Analis Politica Wave, Yose Rizal mengatakan di dunia maya segalanya bisa dilakukan secara terselubung dengan jual beli follower untuk menambah daya tawar akun politik yang bersangkutan. Black campaign juga rawan digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Sejalan dengan hal tersebut Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Juri Ardiantoro mengatakan KPU tidak mungkin mengontrol kampanye di dunia maya karena keterbatasan tenaga. Apalagi, banyak akun palsu yang dibuat khusus untuk menghindari jerat hukum. Inilah mengapa kampanye melalui udara atau disebut dunia maya sangat kuat. Hingga saat ini belum ada peraturan yang membatasi soal hal tersebut.
Regulasi kepemiluan juga telah melegalkan strategi kampanye media virtual. Peraturan KPU No 01 Tahun 2013 Pasal 20 menegaskan bahwa kampanye pemilu salah satunya dapat berbentuk layanan pesan singkat dan jejaring sosial melalui Facebook, Twitter, email, website dan lainnya. Namun demikian regulasi yang membatasi pemanfaatan media sebagai sarana kampanye parpol masih sangat tidak memadai, sehingga potensi terhadap pelanggaran kampanye damai akan besar.
Dinamika politik di dunia maya umumnya terdiri dari tiga bentuk, yaitu pencitraan, serangan politik, dan melawan serangan. Pencitraan bersifat positif sebagai bagian pendidikan politik dan penyeimbangan informasi publik. Mengingat pelaksanaan rangkaian Pemilu sudah hampir berakhir, serangan politik diperkirakan akan tetap terjadi utamanya terjadi antara kubu pemerintah yang berkuasa dan opisisi. Meskipun demikian, serangan politik ke lawan politik sebaiknya dihindari. Selain sebagai etika politik, juga rawan memancing reaksi ekstrim lawan. Serangan-serangan yang serampangan justru bisa kontra produktif dan berdampak negatif bagi pendidikan politik masyarakat. Hal tersebut tentunya berdampak buruk bagi pembangunan demokrasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H