Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salatiga, Nostalgia Masa Lalu Bersama Bangunan Tua

6 Maret 2012   03:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:27 10054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salatiga, sebuah kota persinggahan saat melintas dari arah Semarang atau Solo. Dengan hawa sejuk karena berada di kaki Gunung Merbabu sisi Timur laut, menjadikannya sebagai kota yang nyaman dari segi cuaca. Sebagai kota pendidikan, karena ada salah satu Universitas yang terkenal dengan miniaturnya Indonesia, yakni Universitas Kristen Satya Wacana. Hadir dengan sejarang yang panjang dan penuh dengan cerita, layak Salatiga dijadikan kota sejarah. Berbagai peninggalan kolonial masih ada dan masih bisa dinikmati, bahkan hingga saat ini masih ada yang digunakan sebagai hunian dan perkantoran. Menguak sejarak Kota Salatiga dari awal berdiri, kolonial dan masa kini.

Sejarah Salatiga di mulai dari Prasasti Plumpungan, sebuah batu dengan ukuran 170x150cm dengan diameter 5m. Di permukaan batu tersebut tertulis sebuah ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Status tersebut penting artinya karena daerah perdikan bebas pajak dan memiliki kekhususan tertentu. Prasasti yang ditulis dengan huruf jawa kuno dengan bahasa sansekerta tertera "Srir Astu Swasti Prajabhyah", yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian", ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi. Penamaan Kota kecil ini dengan Salatiga, tak lepas dari peran Ki Ageng Pandanaran II yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Semarang. Dikisahakan Ki Pandanarang mengundurkan diri dari jabatannya dan mengasingkan diri menuju selatan. Saat sampai di daerah perdikan, Ki Pandanarang II berserta keluarganya di rampok oleh 3 orang. 3 perampok akhirnya dapat dikalahkan dan menjadi pengikutnya, dan dari kejadian tersebut dinamailan Salatiga yang berasal dari Salat tiga. Kata Salat Tiga dari kisah "Kangmas, Tulung! Wonten Tyang, salat telu! Kangmas, tolong! Ada Tiga orangutan penyamun". Versi lain mengatakan Saltiga berasa dari kata Sela/Selo (batu) dan Tigo (tiga). 3 batu tersebut dari sebuah candi yang menurut legenda terletak di samping aliran sungai Kali Taman, Benoyo. Pada masa kolonial Belanda, Salatiga pernah mencatat sejarah sebagai tempat ditandatanganinya Perjanjian Salatiga antara Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta dan VOC pada 17 Maret 1757. Perjanjian ini menyepakati berdirinya Kadipaten Mangkunegaran dan Pangeran Sambernyawa berhak memakai gelar Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I. Gelar yang sama berhak dipakai keturunan Pangeran Sambernyawa.
Photobucket
Photobucket
Kota kecil yang menghubungkan Semarang dan Solo dan masuk dalam segitiga emas Joglosemar "Jogja, Solo, Semarang" menjadikan Salatiga sebagai tempat yang strategis. Berketinggian 600-850 dengan iklim sejuk, maka pada jaman pemerintahan Belanda sempat memperoleh julukan "kota terindah di Jawa Tengah". Pada pertengahan abad 19 hingga memasuki abad 20, Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi para pejabat pemerintah kolonial maupun orang-orang Eropa. Tidak mengherankan jika Salatiga waktu itu menjadi tempat hunian bagi orang-orang Eropa, terbukti dari peta kuno yang menjelaskan perkampungan Eropo disertai peninggalannya.
Photobucket
Photobucket
Beberapa bangunan bersejarah peninggalan Eropa masih kokoh berdiri, namun tidak sedikit yang kini tinggal kenangan saja. ada sebuah bangunan di pusat pemerintahan pada waktu itu, yakni rumah Bupati. Baron van der Schoot-of Heeckeren yang "bangunan datar" bernama karena atap datar,(Gedung Papak) masih digunakan sebagai kantor walikota pemerintah kota Salatiga. Halaman yang asri dengan pohon-pohon besar seolah tak mengubah suasana masa lalu.
Photobucket
Photobucket
Djoen Eng Mercury (1859-1935), pengusaha sukses dari Taiwan. Di salatiga ia membuat bangunan rumah mewah berarsitektur Cina yang didalamnya dipenuhi marmer dan hiasan porselen. Terletak di lereng Gunung Bunder, bangunan ini sangat megah pada masa itu. Pada tahun 1930, Djoeng Eng terkena krisis dan bangkrut dan beberapa aset disita. Bangunan ini kemudian di invasi oleh penjahah dan akhirnya di beli oleh Gereja Katolik. Bangunan yang kian lama kian lapuk sehingga di pugar terutama pada atapnya.
Photobucket
Photobucket
Kini bangunan tersebut menjadi Institut Roncali yang di gunakan sebagai salah satu pusat spriritual di Indonesia. Selain sebagai pusat spiritual, institut Roncali juga digunakan sebagai rumah retreat, ibadah dan pengobatan. Arsitektur eksterior dan interior masih tetap dipertahankan, Hanya beberapa bagian yang ditambah untuk menyesuaikan dengan keadaan. Halaman yang luas, asri dan sejuk serta suasana yang tenang memang sangat tepat sebagai tenpat untuk mengaktualisasi diri dengan Sang Khalik.
Photobucket
Photobucket
Dipusat kota ada sebuah bangunan kuno yang terhimpit beton-beton kontruksi modern. sebuah Gereja yang didirikan pada tahun 1823 masih kokoh berdiri. Gereja yang kini bernama GPIB Taman Sari yang seangkatan dengan gereja Blenduk di Semarang masih kokoh berdiri dan masih digunakan sebagai tempat Ibadah. Didekat gereja tersebut ada sebuah bangunan berupa rumah tinggal, yang terkenal dengan kisah cinta Sang Proklamator. Bangunan yang kini berdiri di samping apotik vitra adalah ruma ibu Hartini, yang pada waktu itu mampu memikat hati Soekarno yang tinggal di rumah dinas walikota.
Photobucket
Photobucket
Bangunan kuno tak lepas dari Militer, karena semua aset peninggalan Belanda jatuh di tangan TNI pada waktu perebutan. Ada 3 bangunan yang kini menjadi saksi bisu dari sejarah masa lalu. Bangunan yang kini menjadi rumah dinas Dandim dulu pernah di Pakai sebagai rumah dinas Soeharto. Kantor Polantas Salatiga dulu adalah sebuah bangunan dan benteng yang kokoh. Yang Menarik adalah bangunan "Kubah Kembar". Bangunan yang mirip dengan Lawang Sewu, karena ada Kubah di sisi kanan kiri yang di gunakan sebagai tempat pasokan air. Bangunan ini dibangun bersamaan dengan Djoeng Eng yang kini diperuntukan sebagai Detasemen Perhubungan Korem 073 (Denhubrem 073). Berdiri di atas bukit, dari balkon atas mata bisa luas memandang Gunung Merbabu, telomoyo dan Ungaran. Bangunan kuno yang kini masuk dalam Benda Cagar Budaya, kiranya masih terus dapat dipertahankan. Bangunan-bangunan tua tersebut adalah bukti bahwa Salatiga pernah menjadi kota terindah di Jawa Tengah pada tahun 1900. Bukti kemajuan waktu itu yang kini semakin lapuk oleh perubahan. Butuh keseriusan semua pihak untuk menjaga warisan tak ternilai tersebut. Salatiga Srir Astu Swasti Prajabhyah. foto lengkap silahkan klik disini Sumber www.salatiga.nl

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun