Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menikmati Dawet Ayu di Museum Wayang

26 November 2013   09:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_304398" align="alignnone" width="620" caption="Semar dan gareng menjadi simbol dawet ayu Banjarnegara, tokoh punakawan lain juga jadi nama di beberepa tok emas (dok.pri)."][/caption] Siang yang panas, saat peluh keringat bercucuran membasahi tubuh. Gerangan apa yang membuat tubuh ini gerah, ternyata 2 sosok Punokawan yakni Gareng dan Semar. 2 sosok ini menjadi simbol dan harapan agar cuaca panas dimusim "mareng" (kemarau). Semar dan garenglah yang membuat mareng tersebut. Itulah simbol dari segarnya dawet ayu Banjarnegara. Tubuhpun dingin dan terasa segar kembali usai menenggak segelas dawet mareng tersebut. Mengapa menggunakan simbol Semar dan Gareng untuk merujuk kata "mareng"?. Saya yakin ini bukan simbol sembarang simbol. namun memiliki makna filososfi yang dalam selain kata mareng. Punokawan adalah sosok yang merakyat, konon dawet ini adalah kuliner yang merakyat dan semua bia menikmati. Dari pedagang di pinggir jalan hingga mereka yang membuka lapak di mall-malam besar bahkan ke mancanegara. Simbol punokawan tidak berhenti pada produk minuman saja, namun banyak bertebaran di pertokoan-pertokoan. Toko emas, kebanyakan memberi nama tokonya dengan nama punokawan, biasanyanya; Semar dan Bagong. Mengapa wayang begitu kuat dan melekat, sebab dari dawet hingga toko emas memakai nama wayang, jangan-jangan suatu saat nama maskapai penerbangan memakai nama wayang, selain nama pesawat "Tetuko". Akhirnya saya melangkah di sebuah museum di Kota Tua, jakarta. Arloji di tangan kanan saya menunjuk angka 14.30, sedang papan pengumuman menuliskan jam kunjungan hinggapukul 15.00. Saya kira waktu 30 menit sudah cukup untuk mencari tanda tanya besar tentang sejarah wayang hingga perkembangannya saat ini. [caption id="attachment_304399" align="alignnone" width="620" caption="Inilah mengapa disebut wayang, karena bayangan yang ditimbulkan sorotan blencong (dok.pri0."]

13854314761765660890
13854314761765660890
[/caption] Wayang dari kata ayang-ayang atau bayangan, begitu jika diterjemahkan saat merujuk pada siluet wayang di balik layar yang disorot blencong (lampu berbahan bakar minyak kelapa sebagai lampu sorot layar, mirip proyektor). Begitu masuk pada ruangan pertama mata saya dikejutkan oleh sesosok ondel-ondel yang mirip ogoh-ogoh, apakah itu juga termasuk wayang. [caption id="attachment_304400" align="alignnone" width="620" caption="Salah satu sudut di Museum Wayang, seorang pengunjung bergegas pergi karena waktu berkunjung sudah habis (dok.pri)."]
13854315521379039303
13854315521379039303
[/caption] Tiap langkah, kaki ini semakin memahami apa makna dari sebuah wayang. Orang barat bilang, wayang itu puppet atau boneka yang digerakan. Tiba-tiba saya teringat akan beberapa tayangan di Kompas TV, World of Wayang. Pengetahuan saya tentang wayang, yang sebatas wayang kulit, wayang orang dan wayang golek seperti yang di ajarkan sewaktu Sekolah Dasar tiba-tiba bergeser semakin luas. [caption id="attachment_304401" align="alignnone" width="620" caption="Boneka ini juga wayang, yang mengubah pandangan dan pemahaman saya tentang wayang (dok.pri)."]
1385431619747974728
1385431619747974728
[/caption] Wayang ternyata memiliki banyak versi, tidak hanya sebatas apa yang di dongengkan dalam buku sejarah tentang syiar agam Islam oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga dengan media wayang kulit. "Unyil, usrok, pak ogah, si komo, ulil, dompu, lala, juga termasuk wayang juga" dalam benak saya saat melihat boneka-boneka dijajarkan. Semakin kedalam, misteri wayang semakin terungkap. Wayang potehi asal negeri tirau bambu, wayang rumput dari daerah Hunung Kidul bisa ditemukan, bahkan ada wayang dari lempengan kayu. Wayang membuat saya semakin terkagung akan bentuk fisiknya, namun kekaguman saya sirna saat ada suara petuga "museum akan segera tutup". [caption id="attachment_304402" align="alignnone" width="620" caption="Topeng ini juga bagian dari wayang (dok.pri)"]
1385431680137016571
1385431680137016571
[/caption] Sambil beranjak keluar, saya bersama seorang turis asing yang sedari tadi tidak beranjak dari tempat dia berdiri. Dia mengamati detail wayang kulit. Bentuk pahatan, warna cat, hingga ukuran dan karakter wajah lengkap dengan penciri khas dari tokoh seperti pakaian, senajata dan bentuk tubuhnya benar-benar dia amati. Saya hanya berkomentar "it's just a few, a dalang has hundreds in the box wayang and all the different", dia hanya mengenggelang. Bersamaan itulah kita pergi meninggalkan museum wayang. [caption id="attachment_304403" align="alignnone" width="620" caption="Sudut museum yang memamerkan perlengkapan pertunjukan wayang, termasuk gamelannya (dok.pri)."]
1385431720359944776
1385431720359944776
[/caption] Pikiran saya kembali terbawa pada ruangan-ruangan di dalam museum. Aneh, pengungjung museum wayang kenapa sedikit, malah saya terasa orang asing di museum ini. Ada sepasang anak muda yang di dalam hanya berfoto-foto saja, sepertinya tak mengerti akan wayang. Lantas saya bertanya "anda tahu Anom Suroto, Narto Sabdo atau Mantep Sudarsono..?", mereka tak ada yang kenal. Bagi orang-orang tua di pedesaan, mungkin mereka lebih mengenal 3 orang tersebut walau dari suara radio yang diputar semalam suntuk daripada suara presidennya sekarang. [caption id="attachment_304405" align="alignnone" width="620" caption="Durasi pemutaran wayang yang semalam suntuk serta keterbatasan bahsa, mungkin salah satu kendala mengapa wayang kulit kadang kurang mendapat tempat di generasi muda saat ini (dok.pri)."]
1385431797859631721
1385431797859631721
[/caption] Mengapa wayang begitu tidak banyak diminati oleh generasi saat ini, walau tidak semuanya. Sejak kecil saya biasa diajak "nglurug" (tandang) untuk menonton wayang di desa sebelah. Pukul 10 malam wayang di mulai, jam 24 mulai goro-goro dan tutup kotak menjelang subuh. Mata ini berat, namun menikmati adegan dan cerita, dengan bahasa yang putus nyambung untuk dimengerti. Sebelum ngluruk, saya mendapat bocoran cerita dari Simbah akan lakon yang dimainkan dalang. Saat pementasan, seperti melihat film laskar pelangi yang di angkat dari novel, mengalir saja. Wayang terlalu singkat untuk di ceritakan kisah dan sejarahnya. Dalang butuh semalam suntuk untuk menyelesaikan satu lakon dari kisah mahabarata atau ramayana. Museum ini mewakili, namun masih butuh banyak generasi muda untuk mengapresiasinya. Kota tua yang terik kala itu, saya mendambakan kehadiran semar dan gareng dalam segelas dawet ayu, sambil menikmati goyangan boneka yang diiringi musik dangdut "buka sitik joss..". [caption id="attachment_304406" align="alignnone" width="620" caption="Apakah ini juga termasuk wayang...? (dok.pri)."]
13854319111716131509
13854319111716131509
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun